Ibarat sebuah pertandingan sepakbola, peluit panjang tanda pertandingan usai telah ditiup wasit. Skornya pun telah muncul dan pemenangnya sudah nampak jelas. Namun seperti biasa, meskipun telah berakhir, masih ada saja yang tetap menarik untuk jadi bahan perbincangan. Apakah itu berkenaan dengan rasa tidak puas, ataupun berkaitan dengan peluang- peluang yang tidak menghasilkan apa-apa. Apalagi bila pertandingan itu mempertemukan dua kekuatan besar atau musuh bebuyutan sepeti el clasico antara Barcelona versus Real Madrid, derby AC Milan melawan Inter Milan, atau ketika kesebelasan Spanyol berhadap dengan Italia. Sikap para pendukung ketika kesebelasan kesayangannya kalah bisa sangat beragam.
Ada yang legowo, mau menerima hasilnya dengan lapang dada. Tapi ada juga yang meski menerima, tetapi memberikan catatan kritis. Namun, banyak juga yang menolak. Apapun pendapat para supporter memang tidak akan mengubah hasil pertandingan. Pemenang sudah ditetapkan. Kondisi yang hampir mirip dengan sebuah pertandingan ini terjadi juga pada hasil pemilihan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (DK OJK) pada Selasa (19/6) malam. Seperti telah sama-sama kita ketahui, secara aklamasi dengan perolehan suara yang meyakinkan, terpilihlah Muliaman Darmansyah Hadad, Deputi Gubernur Bank Indonesia sebagai Ketua OJK.
Muliaman menjadi nahkoda ditemani dengan Nelson Tampubolon, Nurhaida, Rahmat Waluyanto, Firdaus Djaelani, Ilya Avianti, dan Kusumaningtuti S Soetiono. Dan seperti laga el clasico di ranah sepak bola, meski wasit Senayan sudah meniup peluit, suara-suara ketidakpuasan mengumandang dari para supporter calon DK OJK. Namun, protes para pendukung ini sebenarnya wajar.
BERITA TERKAIT
Terutama jika kita melihat status OJK yang sangat vital, yakni sebagai lembaga tunggal pengawas industri jasa keuangan. Lembaga yang digadang- gadang bakal menjadi superbody baru ini bakal mengelola dana yang terbilang besar, sekitar Rp 7.500 triliun atau hampir setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Undang-Undang Nomor 21/ 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang disusun sebagai upaya menggabungkan regulasi dan pengawasan sistem keuangan antara lembaga keuangan bank dan non-bank serta industri keuangan lainnya.
Regulasi ini secara otomatis akan memangkas otoritas Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Untuk BI, otoritas yang hilang adalah pengawasan perbankan, sedangkan Kemenkeu berkurang kewenangan pengawasan di bidang jasa keuangan non perbankan. “Sebelumnya, BI memiliki tiga otoritas, yakni fungsi moneter, sistem pembayaran, dan pengawasan perbankan. Otoritas pengawasan perbankan nantinya akan berpindah ke dalam Dewan Komisioner,” ujar Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus mantan Ketua Pansus RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nusron Wahid. Dengan fungsi yang sangat strategis dan aset kelola yang sangat besar tersebut, wajar saja jika khalayak mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap para pengelola lembaga pengawas baru di bidang keuangan tersebut.
Tidak hanya sekedar ahli dan memiliki kompetensi, tapi mereka juga harus sudah teruji integritasnya. Nah, pasca hasil pemilihan dewan komisioner diumumkan, salah satu yang menjadi sorotan adalah mengenai komposisi dewan komisioner yang telah terpilih didominasi dari kalangan regulator, yaitu Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan. Tidak ada satupun yang berasal dari praktisi perbankan. Hal inilah yang kemudian membuat sejumlah bankir protes. Uniknya, tak hanya bankir yang keberatan. Nusron Wahid, yang nota bene salah seorang juri pemilihan DK OJK juga mengungkapkan ketidakpuasannya.
Dalam sejumlah kesempatan sebelum pemilihan, Wahid memang pernah mengungkapkan sangat mendukung jika Ketua OJK berasal dari industri perbankan. Ia beralasan, karena saat ini kapitalisasi dan likuiditas di sektor keuangan masih dikuasai perbankan. Sedangkan, industri lainnya, seperti dana pensiun dan asuransi, masih belum signifikan. “Dana pensiun paling asetnya hanya Rp140 triliun, asuransi sekitar Rp300 triliun, begitu pula dengan multifinance. Memang yang potensial krisis itu masih perbankan,” kata politisi Golkar tersebut. Malah sebelumnya, ia sempat mengusulkan komposisi Dewan Komisioner OJK berimbang, empat orang berasal dari regulator dan tiga dari industri. Sebagai contoh, dua orang dari Bank Indonesia (BI), dua dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dan tiga dari industri.
“Kalau semua dari regulator, tidak akan ada perubahan kultur,” ujarnya berargumen. Sementara nada keberatan dari bankir disuarakan Perhimpunan Bank- bank Umum Nasional (Perbanas). Ketua Perbanas Sigit Pramono meski menghormati keputusan senator Senayan, tetap menyimpan kecewa karena tidak ada satu pun wakil dari kalangan industri perbankan yang lolos. “Kami menghormati hasil keputusan. Namun kami sangat menyayangkan tidak ada satupun wakil dari industri perbankan,” ujar Sigit Rabu (20/6).
Ia menambahkan, melihat hasil dari mekanisme yang ada, kalangan industri sedang mempertimbangkan untuk menempuh jalur-jalur hukum tertentu. Tujuannya, agar ke depan industri melalui asosiasi mempunyai wakil secara ex officio seperti wakil dari BI dan Kementerian Keuangan. “Agak sulit kami terima bahwa meski UU OJK sudah menjamin keterwakilan BI dan Kemenkeu secara ex officio, namun ternyata anggota DK OJK yang dipilih pun masih dari kalangan yang sama,” papar Sigit. Perbanas juga mempertanyakan mengenai asas keseimbangan dan keterwakilan yang menjadi dasar pemikiran sebelum memutuskan. “Kini, kami dari kalangan industri perbankan tinggal berharap agar OJK di bawah kepemimpinan Muliaman D Hadad bisa menjadi pengatur dan pengawas sektor keuangan, khususnya perbankan,” pesan Sigit kepada ketua terpilih OJK.
Keberatan yang disampaikan Perbanas bisa dimaklumi. Karena bila melihat nilai total aset perbankan nasional dibandingkan sektor keuangan lainnya, perbankan masih menduduki posisi paling atas. Dan hampir tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan pertumbuhan yang cukup baik. Hingga Juni 2011, nilai total aset perbankan nasional sudah menyentuh angka Rp3.195,11 triliun, meningkat sebesar 19,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp2.678,26 triliun.
Menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan aset ini didorong kinerja penyaluran kredit dan pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Dengan aset yang sangat besar tersebut, hampir 50 persen dari total aset yang akan dikelola OJK, tapi tidak ada satu pun yang benar-benar ‘murni’ dari kalangan industri yang menjadi komisioner OJK. Wajar saja bila Perbanas kecewa. Namun demikian, tidak semua kalangan industri merasa kecewa. Sebab, meskipun bukan benar-benar berasal dari kalangan industri, ketua OJK terpilih berasal dari Bank Indonesia.
Regulator yang selama ini ngurusin perbankan. Jadi, ada keyakinan nahkoda terpilih OJK sudah sangat mengetahui dalam-dalam-nya industri perbankan. Bahkan tidak hanya satu bank saja, hampir semua bank. Hal ini antara lain disuarakan Ekonom BNI Ryan Kiryanto. “Sebagai bangsa besar kita pantang kecewa,” ucap Ryan dengan nada optimis. Menurutnya, nama-nama yang lolos menjadi DK-OJK sudah menjadi pilihan terbaik menurut Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga semua kalangan patut menerima keputusan tersebut dengan lapang dada dan tangan terbuka. “Memang tidak ada yang berasal dari kalangan perbankan, tapi setidaknya beberapa pimpinan DK OJK berasal dari BI,” tegasnya. Meski begitu, Ryan tetap berharap, untuk unsur pimpinan eksekutif di bawah DK harus ada yang berasal dari perbankan untuk nantinya memperkuat efektivitas tupoksi OJK. “Banyak bankir yang mumpuni yang bisa mengisi pos eksekutif perbankan di OJK,” pungkasnya.