BERITA TERKAIT
Manajemen berperan sangat besar dalam banyak kejadian skandal penipuan (fraud) dari berbagai perusahaan. Sepuluh skandal akuntansi terburuk yang terjadi di dunia seperti yang disajikan dalam rubrik Riset Stabilitas edisi Februari 2015 semuanya melibatkan CEO (Chief Executive Officer), CFO (Chief Financial Officer) atau jajaran manajemen puncak lainnya.
Selain itu, jajaran manajemen puncak juga berperan terhadap kejadian risiko yang disebabkan oleh kegagalan mereka dalam menanamkan nilai-nilai, etos, dan perilaku dalam organisasi. Kegagalan tersebut berdampak besar bagi banyak perusahaan terkemuka, seperti yang terjadi pada Arthur Andersen, Cadbury, BP, dan sebagainya. Memiliki peraturan, panduan, dan budaya kepatuhan, ternyata tidak cukup untuk menghindarkan perusahaan dari risiko yang mematikan.
Arthur Andersen, pendiri firma akuntansi Arthur Andersen, pernah mengatakan tidak akan menjual reputasinya berapapun harganya ketika berbicara dengan CEO perusahaan kereta api lokal di Chicago, Amerika. “Uang Anda tidak cukup untuk membuat saya setuju untuk meningkatkan laporan laba bersih dengan teknik akuntansi kreatif,” tukasnya. Akibatnya, firma Arthur Andersen kehilangan klien tersebut. Tak lama kemudian, perusahaan kereta api itu pun juga bangkrut. Tampak jelas bahwa Mr Andersen punya kompas moral yang kuat dalam menjalankan bisnisnya.
Tapi, kompas moral tersebut tidak selalu bisa dipertahankan ketika tuntutan bisnis berubah dan kepemimpinan perusahaan beralih kepada banyak orang lain. Sampai 1980-an, firma akuntansi ini mengadopsi model bisnis baru: menumbuh-kembangkan bisnis melalui penjualan jasa konsultansi dengan memanfaatkan hubungan baik dengan klien dari jasa audit. Andersen sangat sukses. Firma ini memasang target pendapatan konsultansi dua kali lebih besar dibandingkan pendapatan audit. Siapapun yang sukses mencapai target akan mendapatkan bonus besar, dan bagi mereka yang gagal diberikan sanksi. Ketakutan kehilangan bisnis konsultansi tentunya juga berpengaruh terhadap tim audit.
Sebagai contoh, dari pekerjaan dengan Enron, Andersen memperoleh pendapatan 25 juta dollar AS sebagai fee audit dan 27 juta dollar AS dari jasa konsultansi sepanjang tahun 2000. Bertahun-tahun Andersen terlibat dalam menciptakan dan menerapkan teknikteknik akuntansi kreatif. Hasilnya, pendapatan Andersen terus tumbuh secara agresif. Hal itu ditandai pula dengan penciptaan SPV (Special Purpose Vehicle) yang dipergunakan untuk menyembunyikan semua hal yang meragukan atau tidak wajar.
Memasuki 2001, firma Arthur Andersen mulai khawatir dengan independensi 14 partner mereka yang menangani Enron. Firma tersebut melakukan diskusi membahas hal ini. Dengan pendapatan yang bisa mencapai 100 juta dollar AS dari Enron (terutama dari jasa konsultansi), mereka memutuskan untuk mempertahankan Enron. Mr Andersen sendiri tidak sepakat sepenuhnya dengan keputusan tersebut.
Setelah berita investigasi SEC (Securities Exchange Commission) terhadap Enron beredar, manajer Arthur Andersen perlu memberikan pengarahan kepada tim audit tentang langkahlangkah antisipatif yang harus diambil.
Namun, hal itu sudah terlambat. Setelah dilakukan investigasi oleh SEC, Andersen baru sadar bahwa sebagian besar amunisi SEC dalam mengungkap kasus Enron berasal dari dokumen Andersen sendiri, yang tak sempat dimusnahkan ketika tuntutan sudah didaftarkan.
Akhirnya, Arthur Andersen ambruk karena kehilangan kompas moral. Kisah moral lainnya juga terjadi pada Cadbury, sebuah perusahaan dari kelompok Quaker. Selama periode kepemimpinan Todd Spitzer, Cadbury punya pernyataan bisnis yang sangat bagus: “Performance Driven, Values Led”. Moto ini menimbulkan dilema dalam pemilihan strategi utama mereka: apakah kinerja menjadi prioritas? Ataukah nilai-nilai? Atau, seperti apa keseimbangannya?
Bulan Juni 2005, Cadbury berinisiatif menarik sejuta batang coklat yang diduga terkontaminasi oleh bakteri salmonella. Masalah ini muncul garagara Cadbury menaikkan level toleransi salmonella dari nol menjadi level rendah dengan asumsi (yang tidak benar) bahwa salmonella dalam kadar sangat rendah pada sebatang coklat masih aman.
Timbul pertanyaan, apakah hal ini tetap terjadi jika nilai-nilai menjadi prioritas utama dari Cadbury? Para pemeriksa dari Badan Makanan dan Obat-obatan
menyimpulkan, Cadbury melakukan hal ini untuk mengurangi ‘limbah’ alias menghemat biaya, walaupun Cadbury tetap kukuh mengatakan bahwa salmonella pada kadar rendah masih tetap aman.
Fokus kembar BP (British Petroleum) antara keselamatan dan kinerja keuangan juga mengandung kontradiksi serupa. Manakah yang lebih penting: keselamatan atau kinerja?
Pada praktiknya, konflik di BP ini sudah terpecahkan karena perusahaan membuat skema insentif bagi para eksekutif sebagai berikut: 70 persen dari bonus mereka dibuat berdasarkan capaian kinerja keuangan dan 15 persen dibuat berdasarkan kinerja keselamatan. Itu pula sebabnya, dalam konteks ini, kasus kebocoran minyak Deep Water Horizon di Teluk Mexico bisa dijelaskan.
Keinginan meraih kinerja keuangan yang tinggi telah menyebabkan keselamatan kurang menjadi prioritas –walaupun kemudian terbukti kejadian ini juga sangat menekan kinerja keuangan BP, antara lain, dengan adanya tuntutan dari Pemerintah AS hampir 10 miliar dollar AS.
Tiga contoh kasus di atas terjadi karena kegagalan manajemen puncak organisasi untuk menanamkan budaya dan nilai-nilai dalam praktik bisnis sehari-hari. Tak jarang, risiko juga muncul akibat kegagalan dalam menciptakan dan menerapkan strategi yang koheren terhadap keselamatan kerja, baik secara fisik maupun secara organisasi. Tidak boleh ada strategi yang kontradiktif.