Cadangan minyak bumi Indonesia telah nyaris kering. Gas yang merupakan energi lebih murah, berlimpah, dan ramah lingkungan bisa jadi penawarnya. Sayangnya, optimalisasi energi hijau ini terbentur masalah klasik: kebijakan.
Oleh : Prayogo P. Harto
Indonesia Negeri kaya minyak! Benarkah? Data Statistical Review of World Energy Report (2011) justru mengatakan sebaliknya. Total cadangan minyak bumi terbukti (proved reserve) Indonesia ternyata nyaris kering kerontang, tinggal 4,2 miliar barrel atau cuma 0,3 persen dari cadangan minyak dunia. Artinya, jika tingkat produksi minyak mentah nasional digenjot rata-rata 500 ribu barrel per tahun maka Indonesia bakal kekeringan minyak hanya dalam tempo kurang dari 8 tahun.
BERITA TERKAIT
Predikat sebagai Negara minyak juga berpotensi membuat kita terlena. Alhasil, masyarakat jadi boros mengonsumsi minyak. Fakta ini paling tidak terlihat dari konsumsi minyak nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 1990, konsumsi minyak nasional hanya 644 ribu barrel per hari, maka angka ini melonjak jadi 1,3 juta barrel per hari dalam kurun waktu satu dekade.
Namun yang paling celaka, kenaikan konsumsi itu gagal diimbangi tingkat produksi yang justru mengalami tren menurun. Pada 1990, misalnya, produksi minyak Indonesia masih 1,54 juta barrel per hari, maka sepuluh tahun kemudian menyusut tinggal 986 ribu barrel per hari pada 2010. Alhasil, Indonesia pun harus rela melepas predikat eksportir dan jadi importir minyak sejak tahun 2004. Sebagai catatan saja, tahun lalu Indonesia mengimpor minyak sebanyak 314 ribu barrel per hari guna memenuhi kebutuhan domestik.
Akibat praktik impor minyak ini berdampak buruk pada anggaran pemerintah. Pasalnya tiap kali harga minyak dunia naik otomatis beban negara ikut membengkak. Memamg, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, setiap kenaikan harga minyak mentah sebesar 1 dollar AS per barrel di atas asumsi harga minyak mentah Indonesia, akan meningkatkan penerimaan negara sebesar Rp 2,7 triliun. Hanya saja kenaikan tersebut juga menambah beban subsidi BBM dan listrik sebesar Rp 3,2 triliun. Artinya, ada selisih Rp500 miliar yang menjadi tambahan beban APBN kita.
MELIRIK ENERGI ALTERNATIF
Dengan cadangan minyak yang kian menipis dan ancaman lonjakan beban anggaran negara maka sudah sepatutnya Indonesia mencari alternatif energi lain di luar minyak. Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Saryono Hadiwidjoyo berpendapat, pilihan paling realistis sebagai pengganti minyak hanya gas alam.
Alasannya, jumlah cadangan gas kita masih jauh lebih baik ketimbang cadangan minyak bumi. Seperti dilansir Statistical Review of World Energy Report (2011), cadangan gas terbukti Indonesia masih sebesar 3,1 trillion cubic metres atau setara dengan 1,6 persen dari total cadangan gas dunia. Taruh kata rata-rata tingkat produksi gas alam Indonesia adalah 82 miliar cubic metres per tahun maka sumber energi ini masih bisa bertahan sekitar 38 tahun lagi.
Selain itu gas alam merupakan sumber energi yang relatif murah. Dalam situs BPH Migas disebutkan, proses eksplorasi gas alam hanya memakai teknologi sederhana tak seperti minyak bumi yang memerlukan proses kompleks untuk berubah jadi energi. Inilah yang menyebabkan harga bahan bakar gas lebih murah daripada minyak, bahkan batubara.
Murahnya harga gas ini tentu saja akan berdampak pada penghematan beban APBN. Berdasarkan kajian ReforMiner, lembaga independen sektor energi, jika kuota bahan bakar minyak bersubsidi pada APBN 2011 dapat dikonversi ke bahan bakar gas maka nilai penghematan yang didapat Rp105,19 triliun (acuan harga bahan bakar gas swasta, Rp 3.600 per liter setara premium) sampai dengan Rp 142,83 triliun (acuan harga bahan bakar gas Pertamina, Rp 2.562 per liter setara premium).
Namun kelebihan gas alam bukan cuma karena pasokannya yang berlimpah dan harganya murah. Sebab, gas alam juga merupakan sumber energi yang lebih ramah lingkungan ketimbang minyak bumi ataupun batubara. Ini karena rata-rata emisi gas beracun dari pembakaran gas alam jauh lebih rendah daripada bahan bakar fosil lain.
TERGANJAL KEBIJAKAN PEMERINTAH
Sayangnya, potensi energi gas alam nasional ini belum termanfaatkan secara optimal. Fakta ini diungkapkan Kepala Subdirektorat Pengawasan Efisiensi Energi Kementerian ESDM Indarti. Menurutnya, minyak masih mendominasi konsumsi energi di Tanah Air (49,93 persen), disusul batu bara (29,38 persen). Sementara gas hanya menempati peringkat ketiga dengan tingkat konsumsi 21,9 persen.
Kendala utama optimalisasi pemanfaatan gas, menurut analisis Direktur ReforMiner Institute, Komaidi, justru bersumber dari kebijakan pemerintah sendiri yang lebih berorientasi ekspor ketimbang memenuhi pasokan untuk kepentingan domestik. Ini terlihat dari perbandingan tingkat produksi dan konsumsi gas nasional yang didominasi ekspor. Tahun lalu, misalnya, hanya 49 persen dari total produksi nasional yang digunakan untuk kepentingan dalam negeri. Sementara 51 persen lagi justru diekspor kepada negara-negara lain seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.
Persoalan lain yang juga masih membelit optimalisasi pemanfaatan gas alam nasional, jelas Komaidi, adalah terkait kebijakan pembangunan infrastruktur pendistribusian gas. Mengacu data BPH Migas, jalur transmisi pipa gas di Indonesia ternyata baru mampu menjangkau delapan provinsi saja, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur.
Sementara itu, dalam pandangan anggota DPR RI Komisi VII Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rofi Munawar, kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan ekspor daripada pemenuhan kebutuhan domestik karena pemerintah memahami energi hanya sebatas komoditas komersil semata, bukan sebagai komoditas yang benilai strategis dan dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat luas.
“Pemerintah melihat energi dalam kacamata bisnis, untung atau rugi, padahal keberpihakan energi dapat menggerakan perekonomian, memenuhi kebutuhan publik, menopang peningkatan investasi, dan mendorong pertumbuhan industri nasional,” kritik dia.
Lantas, bagaimana agar pemanfaatan gas alam bagi kepentingan nasional optimal? Komaidi menilai kuncinya ada pada kesungguhan dan komitmen pemerintah. “Dari berbagai kajian, negara yang berhasil mengembangkan industri gas, bukan karena menjalankan suatu kebijakan yang luar biasa tetapi karena dukungan kuat dan berkesinambungan dari pemerintahnya,” tegas Komaidi.
Terkait pasokan gas, Komaidi menyarankan pemerintah merancang regulasi yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan domestik. Regulasi ini tetap memperbolehkan swasta mengekspor gas untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Hanya saja kuotanya dibatasi, misalnya 40 persen. Artinya, jika sudah mencapai kuota ekspor, kecuali sudah kontrak, maka wajib memasok kebutuhan domestik.
Tetapi agar swasta bersedia memasok kebutuhan domestik maka harganya harus menarik. Tidak seperti sekarang, harga jual gas lokal jauh dibawah ekspor. Mengacu laporan Facts Global Energy (FGE), selisih antara harga jual gas di Tanah Air dan ekspor ke Jepang mencapai 7,5 dollar AS per juta Btu. Padahal di negara lain rata-rata hanya sekitar 1 dollar AS per juta Btu.
Di samping itu, pemerintah perlu mendorong swasta agar mau berperan aktif membangun industri gas nasional. Caranya, dengan memberikan insentif berupa kepastian pasokan gas maupun harga kompetitif bagi perusahaan yang berinvestasi membangun infrastruktur distribusi gas dalam negeri, seperti Pertamina dan PGN. Adanya jaminan tersebut diharapkan memberi rasa aman kepada investor bahwa infrastruktur distribusi yang mereka bangun tak akan tersia-sia karena ketiadaan pasokan gas.
Akhirnya, dengan kesungguhan dan komitmen kuat pemerintah serta peran aktif swasta, kita pun bisa optimistis bahwa suatu ketika gas benar-benar mampu menggantikan energi minyak bumi, sebagai energi utama penggerak industri nasional dan menembus dapur-dapur rumah tangga seantero nusantara.