BERITA TERKAIT
Soal banyaknya keanekaragaman hayati yang ada di laut Indonesia sudah tidak ada yang memungkiri lagi. Namun pertanyaannya, apakah semua itu sudah dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Dengan 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 terumbu karang yang berada di dalam 3,544 juta kilometer persegi lautnya, bisa dibilang Indonesia sebuah negara yang merugi. Pasalnya potensi sedahsyat itu hingga kini belum juga dioptimalkan.
Menjelang diterapkannya pasar bebas ASEAN tahun depan, negara dengan 70 persennya merupakan wilayah laut masih terbelenggu dengan persoalan yang sama. Mereka adalah masalah rantai pasokan bahan baku, sistem logistik, persaingan kualitas, dan syarat-syarat pasar. Bila tidak diatasi empat hal itu akan berpotensi merlemahkan daya saing industri perikanan nasional.
Bahkan persoalan bahan baku atau benih telah membuat industri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri yang selalu meningkat. “Produksi nasional kita memang tumbuh, tetapi kalah cepat dengan konsumsi. Kapasitas industri tidak mampu mengejar, pabrik sering kosong. Akibatnya, ongkos produksi dan harga melesat,” papar Ketua Umum Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Thomas Darmawan.
Industri udang nasional, contohnya, seringkali harus berebut bahan baku, ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang tidak memperbolehkan pengusaha mengimpor bahan baku untuk memberi nilai tambah produk di dalam negeri. Semestinya, jelas Thomas, jika memang pemerintah berniat mengindustrialisasi perikanan, tidak ada masalah jika industri melakukan impor bahan baku dengan jumlah besar.
Dia beralasan, kalau pasar untuk produk perikanan yang diolah dari Indonesia pasti selalu habis diserap pasar internasional. Ironisnya, industri di dalam negerinya justru masih sulit berkembang karena terbatasnya bahan baku. Selain itu masih ada lagi persoalan yang tak kalah serius yang ketersediaan infrastruktur, teknologi, permodalan.
Untuk persoalan infrastruktur, hingga 2010, jumlah unit pengolahan ikan (UPI) di Indonesia mencapai 60.117 unit. UPI tersebut tersebar di Jawa Timur sebanyak 10.640 unit, Jawa Tengah 8.350 unit, Jawa Barat 5.966 unit, Kalimantan Selatan 3.660 unit, dan Nusa Tenggara Barat 3.550 unit.
Namun dalam pembangunan infrastruktur, pemerintah dinilai belum banyak melibatkan sektor swasta untuk pemenuhan infrastruktur penunjang industri pengolahan ikan. Akibatnya, infrastruktur penunjang sistem rantai pasokan seperti ikan berpendingin, cool box untuk nelayan tradisional, pabrik es dan cold storage masih sangat minim.
Menurut Sadullah Muhdi, Direktur Pemasaran Dalam Negeri Kementerian Kelautan dan Perikanan, masalah terbesar dalam industri pengolahan ikan memang mengenai pasokan bahan baku dan infrastruktur. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah tengah membangun Sistem Logistik Ikan Nasional (SLIN) untuk menampung dan mendistribusikan bahan baku dari lokasi penangkapan dan sentra budidaya ke tempat pengolahan ikan secara efisien. “Kami akan uji coba SLIN koridor Sulawesi Tenggara ke Jawa Timur. Ini juga perlu kerjasama antara nelayan di hulu, nelayan pengumpul, perusahaan cold storage, dan perusahaan pengolahan,” tuturnya.
Selain bahan baku dan infrastruktur, faktor teknologi juga menjadi catatan penting yang harus diselesaikan pemerintah. Saat ini harus diakui, industri nasional masih lambat dalam mengadopsi teknologi produksi dan pengemasan. Padahal hal itu bisa diimpor dari Teknologi Jepang, Taiwan, China, atau Thailand. Akibat dari lambannya adopsi teknologi, variasi produk juga minim. “Salah satu sebab rendahnya adopsi teknologi, imbuhnya, di antaranya disebabkan enggannya bank menyalurkan kredit ke sektor perikanan,” kata Sadullah.
Lembaga Khusus
Keengganan bank memberi kredit juga menambah persoalan bagi pelaku usaha dari sisi permodalan. Harus diakui, perbankan masih alergi mengucurkan kreditnya ke sektor perikanan karena tingginya risiko bisnis tersebut. Kareena itu pemerintah akan menggalakkan lembaga keuangan khusus yang menangani secara spesifik pembiayaan untuk sektor perikanan. “Untuk memajukan sektor perikanan harus ada lembaga pembiayaan khusus yang menanganinya,” kata Asisten Deputi Prasarana, Sarana Pangan dan Sumber Daya Hayati Kementerian Perekonomian, Wiwik Dwi Saksiwi dalam diskusi ‘Investasi Sektor Kelautan dan Perikanan’ di Jakarta.
Mengapa perlu lembaga khusus? Karena perbankan dalam menjalankan operasionalnya terikat dengan asas prudential banking (asas kehati-hatian) dan juga memiliki aturan yang ketat sebelum menyalurkan pinjaman. Hal itulah yang membuat uang yang mengalir ke sektor ini yang berasal dari perbankan sangat minim. Lihat saja data yang dihimpun Bank Indonesia bahwa kredit sektor perikanan dan kelautan baru mencapai 0,6 persen dari total kredit yang disalurkan perbankan nasional. Dengan total outstanding kredit yang mencapai Rp3.068 triliun per Agustus 2013, sektor perikanan hanya mendapat jatah Rp18,4 triliun. “Alokasi untuk sektor perikanan memang sangat kecil. Jauh di bawah alokasi untuk sektor pertambangan atau properti misalnya,” ucap Wiwik.
Begitu juga yang terjadi di Kredit Usaha Rakyat (KUR), penyaluran kredit melalui KUR porsinya masih lebih banyak disalurkan untuk sektor perdagangan. Sementara sektor pertanian dan perikanan masih belum menjadi prioritas. Lagi-lagi karena kedua sektor tersebut dipandang masih mempunyai risiko yang besar. Padahal pada penyaluran KUR, pemerintah telah menjamin semua risiko, termasuk kredit macet.
“KUR itu di permukaan jalan dengan baik, tapi di dalamnya baru menyentuh sektor perdagangan, belum sentuh ke produksi barang yang diperdagangkan yakni pertanian dan perikanan. Karena di sektor ini memang risiko masih tinggi bagi perbankan,” ujar Bambang PS Brodjonegoro, Wakil Menteri Keuangan.
Bambang menjelaskan, sebenarnya program KUR sudah didukung pemerintah dengan menanggung potensi kerugian. Karenanya, pemerintah meminta kepada perbankan penyalur KUR untuk lebih disiplin menyalurkan KUR dengan tidak lagi meminta agunan terhadap nasabah KUR. “Kalau sudah dapat jaminan, jangan minta agunan lagi, khususnya debitur pertanian dan perikanan. Kalau minta agunan juga, berarti double subsidi,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sampai akhir September 2013, realisasi KUR sektor kelautan dan perikanan, yang terdiri usaha mikro dan kecil, secara kumulatif mencapai Rp764,9 miliar atau 0,6 persen dari realisasi nasional yang mencapai Rp126,41 Triliun. Sedangkan jumlah debitur sebanyak 7.327 debitur atau 0,1 persen dari jumlah debitur nasional yang mencapai 9.419.201 debitur.
Sementara itu, kementerian telah mencoba melakukan terobosan untuk meningkatkan realisasi Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor kelautan dan perikanan, di antaranya dengan melakukan relaksasi regulasi perbankan. Di mana lembaga perbankan harus mulai melenturkan aturannya agar bisa mengakomodir keterbatasan UMKM pelaku usaha sektor kelautan-perikanan dalam memenuhi persyaratan kredit.
Pemerintah juga telah menerapkan skema khusus bagi sektor kelautan-perikanan. Karena memang kedua sektor ini memiliki karakteristik khusus, baik dari sisi sosial, ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan serta siklus usahanya yang sangat dipengaruhi iklim dan musim. Selain itu, pemerintah tanpa henti mendorong pemberian dana-dana Corporate Social Responsibilty (CSR) sebagai pendamping KUR di lokasi sentra-sentra nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pemasar produk perikanan dan tambak garam rakyat.
Di tempat lain, Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (KP3K) mencatat telah membina sebanyak 276 Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Terdiri dari 6 Unit BPR Pesisir, 113 Swamitra Mina Baik Online maupun Offline, 25 Baitul Qirodl dan 112 USP serta 23 Unit Grameen Bank. Semua LKM tersebut merupakan LKM yang berada di bawah Koperasi dengan jumlah koperasi sebanyak 269 Unit Koperasi Pesisir/Perikanan.
Koperasi-Koperasi tersebut merupakan Lembaga Keuangan Mikro yang berdomisili ditengah-tengah komunitas masyarakat pesisir dengan berbagai bidang usaha. Terutama untuk nelayan, pembudidaya ikan pengolah dan pemasar ikan dan masyarakat pesisir lainnya. Hal ini merupakan LKM Potensial yang dapat dimanfaatkan Lembaga Keuangan baik bank maupun non bank sebagai mitra kerja. Terutama sebagai lembaga linkage dalam penyaluran kredit program dan kredit lainnya yang ada pada perbankan.
Meski dinilai masih belum bankable, potensi industri perikanan Indonesia dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Bila tahun 2011 hasil tangkapan perikanan Indonesia mencapai 13,3 juta ton, dengan tingkat konsumsi per kapita mencapai 31,64 kg/kapita/ tahun, maka di tahun 2013 total tangkapan meningkat yakni menjadi 18,49 juta ton dengan konsumsi 35,14kg/kapita/tahun. “Konsumsi ikan terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mendorong peningkatan kelas menengah yang cukup tajam, sehingga banyak masyarakat yang pola makannya meningkat, termasuk makan ikan,” tegas Wiwik.
Dengan pertumbuhan seperti itu, semestinya nelayan maupun kalangan industri perikanan skala besar sudah menjadi magnet bagi perbankan untuk menyalurkan kredit kepada mereka.
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kelautan dan Perikanan Yugi Prayatno mengatakan, untuk mendorong lebih cepat industri perikanan, pemerintah harus memberikan berbagai insentif, baik fiskal maupun moneter. “Industri perikanan umumnya dikembangkan di wilayah timur Indonesia yang infrastrukturnya belum memadai. Jadi pemerintah harus memberikan insentif, baik berupa keringanan bea masuk untuk mesin-mesin maupun subsidi bunga pinjaman bagi dunia usaha,” katanya.
Dengan insentif yang seperti ini, diharapkan bisa membuat investor lokal tertarik masuk ke industri perikanan. “Jangan sampai justru industri kita dikuasai asing,” tegasnya. Ia melanjutkan, pemerintah seharusnya mendukung investasi sektor perikanan karena potensinya yang cukup besar.
Saat ini, investasi sektor perikanan diperkirakan Rp4,5 triliun dengan rincian di sektor perikanan tangkap sekitar Rp2 triliun, pemrosesan sekitar Rp1 triliun dan pengolahan sekitar Rp 1,5 triliun. Investasi di sektor perikanan memang butuh modal yang kuat.
Hal ini disebabkan, infrastruktur di wilayah yang punya potensi ikan besar biasanya masih sangat minim, seperti yang terjadi di wilayah timur Indonesia. Dengan demikian, investor harus membangun dulu kebutuhan infrastruktur. Itulah yang menguras modal. Maka, untuk mengundang investor berminat masuk ke sektor perikanan, pemerintah harus menyiapkan berbagai insentif atau kemudahan.
Yugi mencontohkan, kemudahan investasi yang diberlakukan di negara tetangga seperti Kamboja, Vietnam dan Thailand. Di negara-negara itu, dunia usaha diberikan keringanan, termasuk pada impor peralatan. “Selain itu, pemerintah juga harus menyiakan infrastruktur di remote area,” papar Yugi.
Banyak hal yang harus diselesaikan pemerintah agar Indonesia bisa ebrsaing dengan negara tetangga. Jangan sampai kondisi Indonesia yang jauh lebih baik dengan jumlah pulau sebanyak 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 104.000 km sia-sia tidak berpengaruh apa-apa terhadap industri perikanan.