Jakarta – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong perusahaan-perusahaan asuransi umum nasional untuk lebih aktif dan agresif dalam mendukung pembiayaan pembangunan infrastruktur. Pernyataan tersebut disampaikan Rosan Roeslani, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perbankan dan Finansial dalam seminar internasional yang digelar Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Selasa (11/8/2015).
“Proyek-proyek infrastruktur yang diprogramkan pemerintah membutuhkan dana yang besar. Peluang perusahaan asuransi nasional untuk berpartisipasi dalam pembiayaan infrastruktur bukan hanya terbuka, tapi juga dibutuhkan,” ungkap Rosan di hadapan peserta seminar bertajuk “Asuransi dan Proyek Pembangunan Infrastruktur di Indonesia.”
Merujuk pada data OJK (2015), Rosan memaparkan bahwa dari total investasi industri asuransi nasional sebesar Rp 527,929 triliun, alokasi prioritas masih terarah pada deposito bank dan surat berharga. Peluang dalam pembiayaan infrastruktur justru diambil oleh perusahaan pembiayaan asing, sementara asuransi nasional masih sebatas subkontraktor.
BERITA TERKAIT
“Proyek pembangunan infrastruktur 2015 – 2019 membutuhkan dana sebesar 5.519,4 triliun. APBN plus APBD hanya mampu memenuhi 50 persen kebutuhan dana. Tambahan dari BUMN hanya sekitar 20 persen. Sisanya adalah porsi pembiayaan yang terbuka bagi swasta,” terang Rosan.
Karena itulah, menurut dia, peran asuransi sangat dibutuhkan untuk menutupi kebutuhan anggaran pembangunan infrastruktur. Apalagi, proyek infrastruktur terhitung berjangka panjang dan lebih berisiko. Sektor perbankan akan menimbang risiko proyek seperti ini. Dengan belum hadirnya bank infrastruktur di Indonesia, maka terbuka kesempatan bagi lembaga-lembaga pembiayaan, termasuk asuransi untuk berpartisipasi.
“Dana pihak ketiga (DPK) bank umum nasional per Februari mencapai 4,15 triliun rupiah dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) sekitar 88,26%. Dengan LDR sebesar itu, perbankan akan lebih memilih pembiayaan jangka pendek dibandingkan investasi pada proyek infrastruktur,” jelas Rosan.
Rosan juga mengajak industri asuransi nasional untuk berani meminta kepada pemerintah untuk diberi kesempatan membiayai infrastruktur. Tujuannya agar pembiayaan tidak jatuh ke perusahaan asing sebagai akibat dari pinjaman luar negeri pemerintah. Pasalnya, pinjaman bilateral bisa berujung pada tekanan negara kreditur agar memprioritaskan perusahaan asal negaranya dalam proyek pembangunan hingga tekanan pada penggunaan konten lokal.
“Efek lanjutannya adalah biaya proyek akan lebih tinggi dan meningkatnya impor dari negara kreditur yang berujung pada defisit perdagangan,” kata Rosan.
Senada dengan Rosan, Presiden Direktur Indonesia Infrastructure Finance (IIF) Sukatmo Padmosukarso menilai penting kehadiran industri asuransi dalam membiayai proyek infrastruktur. Dia secara khusus menyebutkan beberapa sektor yang layak digarap pihak swasta, yaitu ketenagalistrikan, minyak dan gas, teknologi informasi dan komunikasi, serta transportasi jalan raya.
“Peran industri asuransi dalam proyek infrastruktur bisa sebagai penjamin atau instrumen dalam manajemen risiko, dan bisa juga dalam pembiayaan atau penyediaan dana bagi investasi infrastruktur,” kata Sukatmo.