Proses pemberian vaksin kepada masyarakat telah memunculkan harapan bahwa masa-masa berat sudah menjelang akan usai. Meski demikian, hendaknya pemerintah dan masyarakat tidak berhenti pada vaksinasi.
Oleh Tim Riset Stabilitas
Pemulihan ekonomi nasional tidak akan optimal jika hanya mengandalkan pada vaksinasi Covid-19 saja. Diperlukan langkah lain yang bersifat melengkapi atau mendukung kegiatan vaksinasi itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti vaksinasi dalam rangka untuk mencapai herdimmunity membutuhkan waktu yang tidak pendek, efikasi vaksin dan suplai vaksin global. Dukungan kebijakan pendamping vaksin setidaknya meliputi stimulus fiskal dan moneter guna menjaga daya beli tidak terperosok lebih dalam dan dari sisi suplai, pengusaha tidak mengalami kerugian lebih dalam.
Bagi Indonesia, kekebalan kelompok membutuhkan jalan panjang. Setidaknya dibutuhkan 190 juta dosis vaksin untuk mencapai kekebalan komunitas. Angka 190 juta dosis vaksin merupakan 70 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 270 juta an pada tahun 2020. Melihat kapasitas vaksinasi per hari yang per Maret mencapai 500 ribuan vaksin, maka dibutuhkan waktu sekitar 380 hari untuk menyuntik 190 juta masyarakat Indonesia. Angka 380 hari ditambah 14 hari untuk menyuntikan suntikan kedua jadi dibutuhkan 395 hari atau sekitar 1 tahun 3 bulan. Hal ini berarti target vaksinasi dengan cakupan 70 persen penduduk Indonesia baru akan selesai pada pertengahan 2022.
BERITA TERKAIT
Angka 395 hari adalah angka ideal di atas kertas. Namun tidak dipungkiri beragam kesulitan dalam mencapai target ideal tersebut bisa muncul. Hal yang sudah kasat mata adalah distribusi vaksin hingga ke pelosok negeri. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kesulitan sendiri dalam distribusi vaksin.
Hal ini berbeda dengan negara kontinental yang sebagian besar penduduknya bermukim dalam satu daratan. Misalnya Australia yang merupakan negara kontinental yang sebagian besar penduduknya hidup di satu pulau atau benua dan terkonsentrasi di daerah pinggir laut. Sebaran yang demikian lebih memudahkan dalam distribusi vaksin dibandingkan negara kontinen yang penduduknya tersebar hingga pelosok apalagi negara kepulauan yang penduduknya tersebar hingga pedalaman di masing-masing pulau seperti Indonesia.
Efikasi Vaksin
Selanjutnya masalah efektivitas vaksin. Efektivitas vaksin memiliki peran penting dalam penentuan keberhasilan vaksinasi. Semakin efektif vaksin, semakin cepat pembentukan herd immunity dan sebaliknya. Lebih lanjut, efektivitas vaksin akan terlihat setelah program vaksinasi dilaksanakan dengan hasil apakah vaksin berhasil menghambat penyebaran virus secara efektif atau tidak. Namun demikian, guna memperkirakan efektivitas vaksin bisa dilihat dari efikasi vaksin yang didapat pada uji klinis tahap II. Semakin tinggi nilai efikasi vaksin, semakin tinggi harapan nilai efektivitas vaksin dan sebaliknya.
Setiap vaksin memiliki efikasi yang berbeda-beda. Hingga Maret 2021, vaksin Covid-19 dari Pfizer dan BioNTech menjadi vaksin yang memiliki efikasi tertinggi dibandingkan dengan merk vaksin lain yakni 95 persen. Pada urutan kedua vaksin Moderna yang memiliki efikasi 94,5 persen. Kemudian Sputnik V 91,4 persen, AztraZeneca Oxford University dan Sinopharm masing-masing 86 persen dan terakhir Sinovac yang memiliki efikasi 65 persen. Meskipun efikasi Sinovac terendah dibandingkan dengan jenis vaksin lain, namun angka tersebut sudah berada di atas angka yang disyaratkan oleh WHO yakni 50 persen.
Tabel 1. Daftar EfikasiVaksin
Jenis Vaksin |
Efikasi (Persen) |
Pfizer dan BioNTech | 95 |
Moderna | 94,5 |
AztraZeneca OxfordUniversity | 86 |
Sinopharm | 86 |
Sputnik V | 91,4 |
Sinovac | 65 |
Sumber : Berbagai Sumber.
Merunut Medical News Today, pengertian efikasi vaksin adalah tingkat kemanjuran vaksin dalam melawan suatu penyakit pada orang yang sudah divaksinasi saat tahap uji klinis. Sasaran penciptaan vaksin ini tentu dititikberatkan pada pencegahan infeksi virus corona yang bergejala. Jika sebuah vaksin Covid-19 memiliki tingkat efikasi 75 persen, maka artinya vaksin dapat menurunkan 75 persen Covid-19 bergejala pada kelompok yang divaksin, dibandingkan kelompok penerima plasebo.
Plasebo berarti zat atau obat yang tidak menimbulkan efek pada tubuh yang diberikan pada salah satu kelompok sebagai pembanding, dalam hal ini dibandingkan dengan vaksin Covid-19. Pemberian vaksin Covid-19 maupun plasebo dilaksanakan secara blind artinya baik penerima vaksin maupun dokter/penyuntik vaksin tidak mengetahui apakah zat yang disuntikannya vaksin Covid-19 atau plasebo. Hasil dari masing-masing kelompok, penerima vaksin dan penerima plasebo kemudian dibandingkan untuk melihat efikasi vaksin.
Faktor penentu keberhasilan vaksinasi selanjutnya adalah pasokan vaksin global. Meskipun infrastruktur domestik sebuah negara sangat bagus untuk distribusi vaksin, memiliki kecukupan dana untuk membeli sejumlah vaksin untuk prasyarat herdimmunity, dan memiliki daya tawar politik dalam percaturan geopolitik dunia, namun apabila pasokan vaksin global terbatas, maka bisa dipastikan program vaksinasi akan memakan waktu lebih lama.
The Economist Intelligent Unit pada Januari 2021 merilis proyeksi distribusi vaksin Covid-19 secara global. Laporan tersebut menyatakan terdapat kesenjangan antara suplai dan permintaan vaksin Covid-19.Banyak negara yang telah memesan vaksin terlebih dahulu, terutama negara-negara dengan kapasitas fiskal yang besar. Sedangkan negara-negara dengan kapasitas fiskal terbatas tidak memesan sebanyak negara-negara kaya, bahkan belum memesan sama sekali. Di sisi lain, penyebaran virus Covid-19 semakin menyebar ke penjuru dunia, baik negara miskin maupun negara kaya.
The Economist meramal bahwa sebagian besar populasi orang dewasa di negara maju akan divaksinasi pada pertengahan 2022. Sedangkan negara berpenghasilan menengah, baru akan bisa mengakses vaksin secara luas pada akhir 2022 atau awal 2023. Lebih lanjut, untuk negara-negara-negara miskin atau berpendapatan menengah bawah, imunisasi massal akan memakan waktu hingga 2024. Indonesia diprediksi menjadi negara yang baru bisa melakukan vaksinasi massal dalam rangka mencapai herd immunity pada awal 2023.
Masa Tunggu
Jika ramalan The Economist benar, maka Indonesia masih menunggu 1 sampai 1,5 tahun sebelum akhirnya mendapatkan akses vaksin secara penuh. Hal ini memberi konsekuensi terhadap beberapa hal. Pertama, kemungkinan terjadinya gelombang kedua dan seterusnya, kedua, urgensipenerapan protokol kesehatan, dan konsistensi kebijakan ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus kebijakan yang menyasar kepada yang masih terdampak pandemi.
Gelombang pertama pandemi sudah terlihat. Hal ini bisa terlihat dari munculnya puncak kurva kasus tambahan per hari dan total kasus aktif Covid-19 di Januari yang terus menurun hingga Maret. Meskipun penurunan kurva masih berkisar setara dengan capaian kasus di Desember 2020, namun terlihat tren yang terus menurun.
Berkaca pada negara-negara lain, maka kasus gelombang kedua dan ketiga bisa mungkin terjadi di Indonesia. Meskipun demikian, bisa diyakini bahwa penanganannya akan lebih baik oleh sebab pengalaman dan infrastruktur pendukung yang sudah lebih baik. Namun demikian, stakeholder terkait harus tetap mewaspadai apabila gelombang kedua terjadi lebih buruk dibandingkan gelombang pertama. Kebijakan larangan mudik sudah tepat untuk mencegah adanya gelombang lanjutan pandemi Covid-19.
Faktor berikutnya adalah urgensi penerapan protokol kesehatan. Gelombang vaksinasi pertama yang menyasar orang lanjut usia, pekerja BUMN dan pekerja pelayanan publik (PNS, TNI, Polri) harus diimbangi dengan penerapan protokol kesehatan yang baik hingga herd immunity tercapai. Hal ini penting mengingat efektivitas vaksin belum diketahui terlebih melihat vaksin yang digunakan di Indonesia yang memiliki efikasi 65 persen.
Penerapan protokol kesehatan hingga tercapainya herd immunity juga penting dalam rangka mengurangi tingkat kesenjangan selama pandemi. Seperti diketahui, Covid-19 memperlebar ketimpangan yang meliputi ketimpangan ekonomi, akses pekerjaan, akses pembelajaran dan akses vaksin itu sendiri. Jika protokol kesehatan tidak diberlakukan di tengah program vaksinasi, maka dikhawatirkan kecemburuan sosial masyarakat meningkat yang bisa berujung pada gejolak sosial. Di masa pandemi, stabilitas sosial penting agar bangkitnya kesehatan dan ekonomi berjalan baik.
Hal berikutnya yang perlu diperhatikan di masa menunggu terbentuknya herd immunity adalah program-program kebijakan pemerintah yang menyasar masyarakat terdampak pandemi baik masyarakat sebagai konsumen maupun produsen. Dari sisi permintaan, sangat penting untuk menjaga daya beli masyarakat, terutama yang terkena dampak paling dalam akibat pandemi, agar tetap stabil atau setidaknya tidak semakin terperosok semakin dalam.
Terjaganya daya beli masyarakat pada akhirnya akan menyelamatkan sisi suplai atau sektor produksi tidak terperosok semakin dalam. Fokus utama kebijakan harus merefer pada level kebutuhan primer, sekunder dan tersier. Bagi warga yang terkena pandemi, kebijakan pemenuhan dasar berupa pangan sangat dibutuhkan. Kebijakan pemenuhan kebutuhan dasar ini bisa dibarengi dengan kebijakan Bulog untuk menyalurkan beras yang sudah lama tertumpuk di gudang agar penyerapan gabah baru bisa dilaksanakan. Bagi kebutuhan sekunder dan tersier, salah satu hal yang paling dibutuhkan adalah relaksasi kredit. Kebijakan ini sudah dilaksanakan oleh otoritas moneter.
Sebagai penutup, kebijakan bantuan sosial, subsidi kuota internet untuk belajar, stimulus bantuan produktif untuk UMKM, stimulus fiskal, kebijakan relaksasi kredit serta menjaga nilai suku bunga di level rendah harus tetap dilanjutkan. Sejalan dengan itu, koordinasi antar kementerian/lembaga sangat diperlukan agar kolaborasi kebijakan bisa terjadi sehingga output dan outcome kebijakan dalam merespon pandemi bisa maksimal.***