JAKARTA, Stabilitas – Penetrasi asuransi jiwa yang sangat rendah, yang ditunjukkan oleh rasio asuransi premium terhadap PDB, menunjukkan peluang besar yang belum dimanfaatkan. Sebagai kontributor utama industri asuransi, tingkat penetrasi asuransi jiwa masih sangat rendah dibandingkan dengan PDB, hanya berkisar antara 1-1,5 persen.
“Meskipun Indonesia mengalami pertumbuhan populasi, premi asuransi per kapita semakin rendah yang tercermin dari penurunan menjadi 704 ribu rupiah per kapita dalam tingkat kepadatan asuransi karena pendapatan yang lebih rendah,” ungkap Febrio Kacaribu, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) dalam workshop media yang digelar AAJI di Hotel Sahid, Jakarta, Rabu (27/3/2019).
Dia menuturkan, saat ini industri asuransi Indonesia masih berada dalam tahap awal pengembangan. Pasar asuransi jiwa Indonesia berada pada tahap awal pengembangan dibandingkan dengan banyak negara berkembang, tingkat penetrasi asuransi yang rendah masih di bawah 3 persen (1,4 persen). Angka ini lebih rendah dari Malaysia, India, Brasil, dan Kolombia.
Sejalan dengan tingkat penetrasi, kepadatan sebagai jumlah premi per kapita di Indonesia relatif lebih kecil daripada negara maju dan berkembang lainnya, kecuali India pada 2016 dan 2017 yang masing-masing menyumbang US $ 49 dan US $ 55.
Namun, tidak seperti negara berkembang lainnya, Indonesia menunjukkan tingkat penetrasi asuransi jiwa yang lebih besar, dengan pertumbuhan pasar asuransi yang berkembang pesat. Kepadatan penduduk yang lebih tinggi pada 2017 dari 2016 menunjukkan pasar asuransi jiwa yang tumbuh cepat. Sebagian besar perusahaan asuransi jiwa menciptakan surplus tahunan lebih dari 10 persen.
Idealnya, lanjut Febrio, dengan meningkatnya populasi kelas menengah dan permintaan premi yang diasuransikan setiap tahun, diharapkan industri asuransi jiwa dapat tumbuh lebih jauh. Sayangnya, selain tingkat penetrasi asuransi jiwa yang relatif kecil, jumlah pemegang polis dibandingkan dengan jumlah penduduk juga terlalu rendah dengan rata-rata 17 persen dari 2005-2018.
Namun, menurut Febrio, kondisi ini menunjukkan bahwa masih ada ruang bagi industri untuk tumbuh dan mendapatkan potensi pasar. “Tahun 2019 saya perkirakan kinerja asuransi jiwa tumbuh lebih tinggi, sejalan dengan aliran modal yang lebih besar,” ungkap Febrio.
Apalagi, lanjutnya, premi asuransi jiwa meningkat dari tahun ke tahun, terutama setelah musim gugur 2013. Tiga produk asuransi jiwa teratas dengan premi tertinggi adalah produk investasi (90 triliun rupiah), endowment (56 triliun rupiah), dan asuransi berjangka (15 triliun rupiah). Produk lain masih tetap rendah.
Namun, Febrio mengingatkan, lebih tinggi premi yang dibayarkan dari produk investasi menunjukkan risiko asuransi yang lebih besar. Mengutip data AAJI, investasi di pasar modal dan pasar uang masih menjadi pilihan nasabah. Terlihat dari porsi produk asuransi berbaur investasi yakni unitlink yang masih mendominasi dibanding produk tradisional.
AAJI mencatat ada lima jenis investasi dengan proporsi terbesar terhadap total investasi asuransi jiwa pada Q4 2018, antara lain; Reksadana 33,8%; Saham 32,9%, Surat Berharga Negara 14,4%; Deposito 8,6%; dan Sukuk Korporasi 6,2%.
“Selain premi, asuransi jiwa juga mendapatkan pengembalian dari portofolionya yang meningkat dari waktu ke waktu, sebagian besar didominasi oleh sekuritas pemerintah dan reksa dana yang menyumbang lebih dari 230 triliun rupiah atau hampir 50 persen dari total portofolio,” pungkas Febrio.
Tantangan
Kendati demikian, di 2019 ini, industri asuransi jiwa juga dihadapkan dengan sejumlah tantangan berarti. Menurut Febrio, tantangan yang paling utama adalah era digitalisasi yang tak terhindarkan.
Di sisi lain, tantangan yang tak kalah pentingnya adalah kebutuhan untuk menciptakan pengembangan kemampuan yang lebih substansial dalam mengelola kewajiban seperti penetapan harga risiko, pemilihan risiko, dan manajemen klaim. “Kepercayaan dan kesadaran public juga menjadi tantangan yang harus terus dihadapi pelaku industry dengan memperkuat edukasi dan literasi,” pungkas Febrio.
Sementara Simon Imanto, Kepala Departemen Keuangan & Pajak AAJI juga mengukapkan sejumlah tantangan yang dihadapi industry asuransi jiwa di tahun ini. Dia menyoroti tantangan dari sisi pendapatan, oleh karena adanya pemotongan pajak atas kupon Obligasi versus Reksa Dana yang sangat jauh berbeda. “Kalau pajak reksadana hanya 5 persen, tetapi pajak obligasi di angka 15%,” ungkap Simon di kesempatan yang sama.
Selain itu juga terkait pajak Reverse Repo yang diatur dalam POJK no.1 / 2015 yaitu minimal 30% dari total Investasi.
Di sisi lain, pelaku industry juga tertantang untuk menghadapi durasi yang lebih lama Life Funds. Soal likuiditas, Simon mengungkapkan perlunya menciotakan pasar khusus untuk Lembaga Keuangan Non Bank.