JAKARTA, Stabilitas.id – Negara-negara di dunia membutuhkan dana yang sangat besar untuk memitigasi risiko-risiko global yang muncul akibat pandemi covid dan perubahan iklim. Pendanaan tersebut tidak hanya bersumber dari pemerintah tetapi juga dari korporasi dan masyarakat dengan cara-cara yang inovatif. Sebab, pemerintah memiliki keterbatasan karena adanya limit rasio utang yang ditetapkan oleh konsitutusi dan penerimaan pajak.
Di negara telah ada badan-badan khusus untuk menarik dan mengelola dana-dana yang dikenal dengan sovereign wealth fund (SWF). Sebuah dana abadi yang menjadi fondasi untuk sumber-sumber pembiayaan dan pertumbuhan. Dana-dana ini dikelola dengan dukungan diskresi dalam strategi makro yang sistematis dalam konteks portofolio institusional yang berasal dari kelas multi aset.
Indonesia sendiri sedang mengembangkan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) sebagai amanat dari undang-undang cipta kerja yang bertujuan untuk mendapatkan sumber-sumber dana, baik yang berasal dari domestik dan luar negeri.
Mirza Adityaswara, Direktur Utama Lembaga Pengembagan Perbankan Indonesia (LPPI) saat membuka Virtual Seminar LPPI ke 41 hari ini, Selasa (25/2) dengan tema Sovereign Wealth Fund- Strategi Pendanaan Pertumbuhan Ekonomi Berkelanjutan mengatakan, keberadaan SWF di Indonesia berbeda dengan negara lain yang mengalami surplus neraca pembayaran, seperti China, Norwegia, Taiwan, atau Singapura.
BERITA TERKAIT
“Jadi perdagangan internasionalnya surplus. Jadi SWF mereka itu menyalurkan kelebihan cadangan devisa untuk investasi di luar negeri. Tetapi ada jenis lain dari SWF yang mengundang modal dari luar negeri untuk membangun di dalam negeri. Ini yang dilakukan LPI,” ungkap Mirza.
Menurutnya, keberadaan LPI memang menjadi solusi tepat bagi Indonesia saat ini dalam rangka pembiayaan pembangunan. Sebabnya, pendanaan Indonesia saat ini banyak terkuras untuk pemulihan ekonomi nasional dari pandemic Covid-19. Secara makro, sumber dana dalam negeri masih sangat kurang, hanya 35% dari PDB yang nilainya mencapai Rp 17 ribu triliun.
“Kredit tidak bisa lebih besar dari dana yang dihimpun. Sementara asuransi dan dana pension juga kalau dikumpulkan, sebut saja dapen 400 triliun, asuransi 1.000 triliun dan reksadana 500 triliun, tetap saja masih kurang jika digabung dengan daba bank. Karena DPB kita 17 ribu triliun. Jadi mungkin hanya 55% sumber dana lokal kalau dikumpulkan. Maka, kebutuhan akan dana dari luar negeri tidak bisa dihindari,” jelas Mirza.
Memang dana asing yang masuk ke Indonesia saat ini tersebar di berbagi protofolio. Ada yang masuk via SBN, yang saat ini angak mungkin 25-26 persen, juga global bond milik pemerintah dan swasta. Dana asing juga masuk ke pasar saham di BEI. “Tetapi perlu dipahami jika investor membeli ekspektasi, sehingga ada risiko volatility. Bisa beli dengan mudah, investor asing juga bisa jual dengan mudah. Maka harus dicari instumen yang lebih stabil supaya dana asing masuk bisa bertahan lebih lama di Indonesia,” jelas Mirza.
Kehadiran SWF Indonesia atau LPI, menurut Mirza adalah solusi instrument investasi dalam menggait dana asing sebanyak-banyaknya untuk bisa digunakan untuk mendanai aset di Indonesia baik proyek insfrastruktur, yang otomatis dana asing itu bisa stay lebih lama di Indonesia. “Dana asing yang masuk itu dikembangkan dengan governance yang baik. Kita optimis karena dewan direski LPI yang dipilih Presiden adalah orang-orang berpengalaman di level inernasioanal dan bisa menarik investor kelas dunia dan bisa menjaga governace SWF dengan baik,” pungkasnya.
Di kesempatan yang sama Anggota Dewan Pengawas LPI, Darwin Cyril Noerhadi mengatakan, saat ini terdapat lebih dari 100 SWF di dunia dan hampir setiap negara memilki satu lembaga tersebut. Contohnya, model SWF di Norwegia yakni Norges Fund yang sumber dananya dari cadangan devisa dan penjualan minyak. Dana tidak masuk dalam budget negara tetapi langsung masuk ke fund yang dikelola oleh satu unit di bank sentral invest management.
“Dana ini dikelola untuk investasi di global market seperti pada porsi equity yang tujuannya menggenerate return dan bisa melanjutkan pertumbuhan sampai lintas generasi. Norges bank ini terbesar dan lebih dari 1 triliun dolar, masa pandemi kemaren sempat merugi sampai 170 miliar dolar karena drop,” jelas Cyril.
Lalu ada GIC, Government of Singapore yang berangkat dari beberapa improvement aset yang ada di Singapura. GIC dibentuk dengan UU sejak 40 tahun yang lalu, dan nilainya hari ini sebear 440 miliar dolar. Ada juga NIIF yang dibentuk oleh pemerintah India pada 2015 dan beroperasi 2017. Demikian juga dengan Mesir, Afrika juga sudah membentuk SWF belum lama ini.
Menariknya, di SWF di India, sesuai UU di negara tersebut secara praktik bisnisnya mengakui adanya trust. Maka pemerintahnya hanya mengalokasi dana 3 miliar dolar. Ketika ada investor asing masuk sampai hingga 50 persen maka, masuk 40 persen dalam bentuk trust. “Trust fund mengelola apaun aset dari sektor yang dikembangkan, baik infrastruktur atau sektor energy,” jelasnya.
Konsep model India ini lebih dekat dari apa yang diinginkan SWF Indonesia karena attract direct invest, menarik dana investor asing. “Bedanya pusat investasi Indonesia fokus ke portofolio, dan bukan direct investment sehingga ada kendala untuk bermitra dengan investor asing kalau mereka mau masuk ke sektor direct investment,” pungkas Cyril.
Cyril menyebutkan, tujuan LPI adalah memperoleh manfaat investasi dan memberikan sumbangan pada perkembangan ekonomi nasional, termasuk peroleh keuntungan dari investasi dan penyelenggaraannya. UU juga memberi kewenangan kepada LPI untuk melakukan pengoolahan investasi mulai dari rencana, pengaturan, pengawasan, hinga pengendalian dan evaluasi.
“Investasi bervariasi dari surat utang sampai equity. Spektrum jenisnya variasi. Kemudian ada pengelolaan investasi aset baik aktif maupun pasif. Lalu bagaimana memilih mitra juga lokasi atau yuridiksi dari negara untuk bermitra dan juga bisa memperoleh pinjaman dan memberikan invetasi. Tujuan utamanya bukan pinjaman tapi bisa saja dalam proses investasi terjadi pinjaman,” ukas Cyril.
Dampak Pertumbuhan
Sementara Kepala Ekonom Danareksa, Moekti P. Soejachmoen mengatakan, investasi yang mengalami kontraksi yang dalam dan masih belum kembali ke posisi sebelum pandemic butuh strategi baru guna kembali menggenjot lapangan pekerjaan. Dia menyebutkan, setiap kenaikan investasi sebesar 1% akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,3%. Setiap 0,3% kenaikan pertumbuhan ekonomi, penciptaan kesempatan kerja rata rata sebesar 0,16%. Setiap 0,3% kenaikan pertumbuhan ekonomi akan menyerap sekitar 75.000 tenaga kerja. “Asumsi investasi senilai USD 2Bn atau pertumbuhan investasi +0,38% yoy, akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi sebesar +0,11 ppt yoy, dan menyerap 22.000 tenaga kerja,” sebutnya dalam kesempatan virsem yang sama.
Maka Indonesia memerlukan terobosan dalam mengundang investasi asing. Karena terbatasnya kapasitas pembiayaan pemerintah baik fiskal maupun melalui BUMN untuk membiayai investasi. Di sisi lain FDI Indonesia relatif lebih kecil setiap tahunnya dibandingkan negara negara yang sudah memiliki SWF. “LPI yang didirikan untuk mengelola investasi pemerintah dan bekerjasama dengan mitra investor dalam sektor komersial yang penting bagi pembangunan dan penciptaan lapangan kerja. LPI akan secara bersama melakukan investasi dengan mitranya, mengelola investasi selama jangka waktu yang disepakati, dan akhirnya merealisasi nilai tambah,” katanya.
Disebutkan Moekti, pada tahun pertama sebagai tahun awal investasi, LPI dan investor mitra membentuk dana kelolaan bersama, misalnya dalam trust. Selanjutnya melakukan investasi dalam aset di Indonesia, misalnya jalan tol. “Apabila dibeli dari salah satu BUMN baik mayoritas atau minoritas, dana yang diperoleh dapat langsung diinvestasikan ulang oleh BUMN tersebut,” jelasnya.
Selanjutnya hingga tahun ke 10, LPI melakukan pengelolaan untuk meningkatkan nilai aset, misalnya menempatkan manajemen yang professional, meningkatkan kinerja operasional, memperbaiki postur keuangan. “Dapat dilakukan pembiayaan ulang (refinancing) aset untuk membuka kapasitas penyaluran kredit perbankan domestic,” sebutnya.
Nantinya di akhr tahun ke-10, akan menjadi tahun realisasi nilai tambah. “Di situ entitas melakukan exit untuk merealisasi nilai tambah investasi, misalnya IPO, penjualan kepada investor strategis. LPI merealisasi investasi plus nilai tambah untuk kemudian diinvestasikan ulang setelah sebagian hasil dikembalikan ke negara,” jelas Moekti.