Bank-bank pelat merah berharap adanya pemangkasan hingga penghapusan kewajiban membayar dividen kepada pemerintah agar modal kuat guna mendukung kredit, saat Dahlan Iskan ditunjuk menggawangi Kementerian BUMN. Dan harapan itu tampaknya mulai jadi kenyataan.
Oleh : Romualdus San Udika
BERITA TERKAIT
Sejak pertama kali Dahlan Iskan menginjakkan kaki di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, banyak harapan dan optimisme yang muncul. Hal itu tak lain karena terobosan yang dilakukannya di Perusahaan Listrik Negara (PLN) saat menjadi Direktur Utama. Dalam perusahaan setrum negara yang dipimpinnya dua tahun terakhir, Dahlan melakukan berbagai terobosan. Di antaranya seperti penambahan pasokan gas pembangkit listrik, membangun pembangkit listrik kecil di 80 wilayah, hingga pengadaan trafo sebagai cadangan di gardu induk. Belum lagi langkahnya dalam hal penyederhanaan birokrasi, pengurangan intervensi dan peningkatan pelayanan.
Oleh sebab itu, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuk mantan pemimpin kelompok media Jawa Pos sebagai orang nomor satu di Gedung Garuda, kawasan Monas, harapan-harapan itu juga dilambungkan.
Namun bagi bank-bank negara, harapan yang menyembul relatif tak pernah berubah. Pengelola perbankan pelat merah tetap berharap bahwa pemerintah membiarkan mereka mengelola sepenuhnya pendapatan yang diraih dan sekaligus mengurangi dividen yang harus disetor.
Saat ini pemerintah memilki empat bank yakni PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk. Dengan berkurangnya besaran dividen yang harus disetor (dividen payout ratio) atau bahkan dihapusnya setoran dividen dari keempat bank tersebut, maka ruang untuk ekspansi bisnis bank akan makin terbuka.
Jika ekspansi bisnis berupa kredit kian tinggi dan berdampak para peningkatan laba, maka setoran pajaknya kepada negara tentu akan lebih tinggi. “Jadi walaupun nanti dividen turun secara nominal, dari segi perolehan pajak kita harapkan lebih besar,” ujar Mustafa Abubakar, Menteri BUMN yang digantikan Dahlan Iskan.
Selain itu, efek bergandanya juga bisa berupa terjaganya pertumbuhan kredit bank BUMN di tingkat yang stabil setiap tahunnya. Imbasnya tidak tertutup kemungkinan jika itu terjadi maka suku bunga yang ditawarkan bank-bank pelat merah itu bisa terus turun. Apalagi saat ini Bank Indonesia mulai secara perlahan memangkas suku bunga acuan yang tentunya akan memberi arah penurunan suku bunga perbankan dalam beberapa tahun ke depan.
Harapan itu tampaknya akan berjalan mulus takkala Menteri BUMN yang baru akan mempertimbangkan penurunan dividen yang diajukan seluruh perusahaan BUMN, termasuk BUMN perbankan. Pertimbangan tersebut akan dibuat berdasarkan perimbangan setoran dividen tahun sebelumnya dan rencana kerja BUMN tersebut pada tahun itu.
Dahlan mengatakan bahwa setoran dividen BUMN ke negara perlu diatur sesuai proporsi masing-masing. BUMN yang tahun sebelumnya besar pada tahun berikutnya harus diberi kesempatan ekspansi usaha dengan setoran yang lebih kecil. “Namun, setoran bank BUMN tidak akan dinolkan untuk tahun depan. Sebab, proyeksi dividen BUMN dalam APBN sudah dibuat,” kata dia.
Dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011 pemerintah telah menurunkan angka setoran dividen BUMN menjadi Rp 26 triliun dari sebelumnya Rp 29 triliun tahun ini.
Janji Kementerian BUMN tentu membuat pengelola bank-bank negara girang meski sebetulnya mereka berharap setoran dividen dihapuskan sama sekali alias dinolkan. Direktur Utama BRI Sofyan Basir adalah salah satu yang terang-terangan meminta setoran dividen dihapuskan sama sekali. Asumsinya, dengan ekspansi kredit hingga multiplier effect yang lebih besar, kinerja dan laba bank BUMN juga akan bertambah. Pada gilirannya, laba tersebut akan menambah pendapatan pemerintah melalui pajak.
“Kalau CAR (capital adequacy ratio) kuat dengan tambahan dividen payout ratio-nya zero, maka kelipatan untuk pemberian kredit lebih besar. Ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja,” terang Sofyan.
Kelipatan tersebut, lanjut Sofyan, dapat digambarkan sebagai berikut. Pembagian dividen BRI yang Rp2 triliun dapat menghasilkan Rp20 triliun kredit. Jika dividen seluruh bank BUMN tidak disetorkan, uang yang bisa disalurkan mencapai Rp20 triliun, maka investasi yang diciptakan bisa Rp40 triliun. “Itu bisa menciptakan pajak yang lebih besar ketimbang dividen,” ungkap Sofyan. Terakhir, BRI diminta menyumbangkan 20 persen pendapatan usahanya untuk pemerintah dalam bentuk dividen.
Hal yang sama diungkapkan Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini. Ia menegaskan, pada dasarnya pengurangan dividen pay out ratio bank tidak akan mengurangi pendapatan negara. Pasalnya, dengan dividen yang lebih kecil, dana untuk bisnis bertambah. Dengan bertambah dana untuk bisnis, laba tentu terkerek naik. Nah, kalau laba naik, pajak yang dibayarkan tentu saja naik. “Logika saya, walaupun dividen turun, totalnya sama saja, sumbangan ke negara tidak menjadi turun,” kata Zulkifli.
Bank Mandiri sendiri terkena kewajiban dividen dengan persentase lebih besar untuk tahun ini, yakni 35 persen. Maka dari itu, tak berlebihan kiranya jika Zulkifli berharap, persentasenya setidaknya dapat dikurangi menjadi berkisar 20-30 persen, sama seperti persentase bank BUMN lainnya.
Sementara itu Direktur Utama BNI Gatot W Suwondo juga tak berbeda dengan kolega-koleganya itu. dia meminta agar setoran dividen dari bank yang dipimpinnya itu ke kas negara hanya sebesar 20-25 persen. Karena kalau terjadi perubahan setiap tahunnya, maka bank akan kesulitan menghitung. “Apalagi kalau ada uang muka (dividen interm),” imbuh Gatot.
Diakuinya, setoran dividen pada 2010 lalu yang angkanya 35 persen dianggap masih wajar. Bahkan, Gatot tidak keberatan jika setoran dividen hingga mencapai 50 persen, namun hal tersebut menurutnya akan membuat bank-bank lebih cepat untuk membutuhkan pendanaan baru minimal tiga atau empat tahun sekali.
Penguatan Modal
Permintaan pengurangan bahkan penghapusan dividen memang sesuai dengan kebutuhan bisnis. Menurut pengamat perbankan Mirza Aditiaswara, lembaga perbankan membutuhkan dana dan rasio permodalan (CAR) yang cukup untuk menyalurkan kredit. Karena itu bank selalu memerlukan tambahan modal, yang idelanya dapat dilakukan setiap empat tahun sekali.
Maka dari itu, lanjut Mirza, jika Bank BUMN masih diwajibkan membayar dividen kepada pemerintah, maka selaku pemegang saham, pemerintah juga seharusnya bersedia menambah modal jika dibutuhkan. Sayangnya, dalam praktek yang ada, karena keterbatasan APBN , maka pemerintah tidak bersedia menambah modal bank. “Untuk itu pos dividen dari bank BUMN itu jangan lagi dijadikan sebagai penerimaan negara,” tegasnya.
Hingga saat ini, demi memperkuat modal, tiga bank pemerintah yakni BRI, Mandiri dan BNI telah menerbitkan saham baru melalui mekanisme right issue. Aksi right issue tersebut membuat posisi saham pemerintah tidak bisa lagi diganggu gugat yakni 40 persen.
Namun demikian masih tersisa satu bank BUMN lagi yaitu BTN yang porsi saham pemerintah masih di atas 40 persen. Dengan begitu opsi penguatan modal melalui right issue masih terbuka.
“Kita masih ada peluang ke sana (right issue) untuk penguatan modal. Tetapi sepakat dengan bank BUMN lainnya, kita harapkan dividen payout rasio bisa dipangkas lebih rendah,” kata Direktur Utama Bank BTN, Iqbal Latanro yang juga mengaku sementara ini masih wajib menyetor dividen hingga 45 persen dari laba yang diraihnya.
Akan tetapi tampak jelas bahwa dengan dipilihnya bos baru di lingkungan BUMN harapan agar bank negara bisa lebih leluasa melakukan strategi bisnis tanpa diganggu oleh urusan birokrasi dan politik makin terbuka.
Apalagi dalam pelantikannya, Dahlan Iskan berjanji akan mengurangi intervensi pemerintah kepada BUMN dan mendukung aksi korporasi. Dan kepada Dahlan, bank-bank BUMN berharap. SP