Sudah pasti banyak yang menaruh harapan besar pada Muliaman Darmansyah Hadad saat dirinya dipilih untuk memimpin pengawas lembaga keuangan yang akan berdiri tahun depan. Pejabat bank sentral yang kariernya paling melesat di Bank Indonesia ini terpilih menjadi Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyingkirkan pesaingnya, Achjar Iljas. Padahal nama terakhir adalah seniornya saat di bank sentral sebelum dia pensiun. Dalam struktur kepengurusan OJK,
Dewan Komisioner terdiri dari sembilan posisi yang mana dua posisi sudah menjadi jatah perwakilan Kementrian Keuangan dan Bank Indonesia secara ex-officio. Jatah tetap tersebut diberikan karena dalam menjalankan fungsinya, OJK memiliki keterkaitan dengan otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas fiskal (Kementrian Keuangan).
OJK bisa dibilang lembaga super body. Cakupan pengawasannya yang mencakup seluruh industri jasa keuangan menjadikan posisinya menjadi begitu penting dalam peta stabilitas sistem keuangan. Fungsi pengawasan atas industri perbankan, pasar modal, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan asuransi yang selama ini dipegang BI dan Bapepam-LK akan diambil alih dan disatukan di bawahnya.
BERITA TERKAIT
Total aset lembaga-lembaga yang akan berada di bawah pengawasan OJK mencapai lebih dari Rp 7.000 triliun. Tugas berat telah menanti para anggota dewan komisioner terpilih. Pada masa transisi ini, salah satu agendanya adalah mempertegas fungsi pengawasan dan kewenangan penyelidikan atas jasa keuangan. Ada beberapa kasus “warisan” yang perlu segera diselesaikan.
Penyelesaian kasus gagal bayar perusahaan asuransi Bakrie Life dan kasus penyelewengan dana nasabah perusahaan sekuritas Foxcon adalah beberapa di antaranya. Muliaman akan didampingi oleh keenam anggota yang akan menjadi kepala eksekutif di masing-masing sektor keuangan. Mereka adalah Nurhaida, Firdaus Djaelani, Kusumaningtuti S Soetiono, Avianti, Nelson Tampubolon, dan Rahmat Waluyanto.
Banyak yang menduga bahwa komposisi struktur kepengurusan yang lebih merepresentasikan pihak BI dan Kemenkeu membuat sistem pengawasan tidak akan berbeda jauh dibandingkan dengan sistem pengawasan selama ini. Namun hal ini dibantah ketua terpilih Muliaman. “Pendekatan kita akan berbeda. Intinya kegiatan pengawasan itu business is not as usual. Bukan urusan sebagaimana biasanya,” kata dia.
Meskipun Muliaman berjanji akan menggunakan metode pengawasan yang sama sekali berbeda, namun dia mengatakan koordinasi dengan BI dan Kemenkeu sebagai prioritas. Menurutnya koordinasi menjadi kunci sukses membangun kapasitas OJK seperti yang dilakukan negara-negara lain. Muliaman ingin membangun pengawasan yang lebih terintegrasi dan tidak sektoral seperti yang dipahami seperti sekarang ini. Jadi tidak akan ada loopholes, semua tercakup dalam radar pengawasan, sehingga berbagai kasus besar yang terjadi sebelumnya bisa diminimalisasi.
Integrasi pengawasan pada gilirannya akan memerlukan harmonisasi berbagai aturan dan teknik pengawasan. Menurut Muliaman, ada dua pilar pengawasan yang akan ia jalankan dalam memimpin OJK. Pilar pertama adalah pengawasan yang dilandasi semangat kehati-hatian (prudent) terutama pada lembaga yang mengelola dana, seperti asuransi, dana pensiun, dan sejenisnya. Sedangkan pilar kedua adalah pengawasan yang menekankan keterbukaan dan perlindungan konsumen.
Pengawasan seperti itu dibutuhkan karena adanya perbedaan karakter bisnis yang diawasi. “Misalnya pasar modal. Pasar modal ini mengutamakan market, disclosure dan perlindungan investor. Oleh karena itu pendekatannya juga tentu berbeda,” kata Muliaman.
Perubahan Bertahap
Kini, tersisa enam bulan lagi bagi OJK untuk melengkapi semua infrastruktur yang diperlukan. Sebab tahun depan, lembaga ini sudah harus mulai bekerja. UU Nomor 21 tahun 2011 mengamanatkan pembentukan OJK, yang diikuti peralihan kewenangan pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan dari Bapepam- LK, Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia kepada lembaga itu. Peralihan kewenangan industri pasar modal dan keuangan nonbank dimulai pada 31 Desember 2012, sementara untuk industri Gender Age (Years) Education perbankan pada 31 Desember 2013.
Pengamat ekonomi Aviliani menilai saat ini fungsi pengawasan yang dilakukan BI sudah berjalan baik. Tidak perlu lagi ada perubahan. Namun jika ada perubahan, maka hal itu harus dilakukan dengan hati- hati dan bertahap karena akan berdampak pada sistem pelaporan perbankan. Menurutnya jika OJK berdiri sendiri dan tidak terkoneksi secara baik dengan otoritas lain, terutama BI maka akan membahayakan lembaga keuangan itu sendiri. Hal itu disebabkan karena bank merupakan alat moneter.
Aviliani juga menambahkan ada beberapa titik kelemahan dalam OJK yang perlu segera dibenahi. Proses pengambilan keputusan misalnya. Praktik yang dilakukan pada level bawah seringkali tidak tidak sinkron dengan level di atasnya. Contoh lain adalah persoalan kebijakan penyelamatan bank. “Ada bank yang musti diselamatkan tapi tidak diselamatkan, hal seperti itu yang perlu diubah. Harus lebih transparan dari level apa hingga pengambil keputusan policy apa yang akan dilakukan,” kata Aviliani.
Untuk memperkuat tugas dan fungsi OJK, RUU Jaring Pengaman Sektor Keuangan ( JPSK) juga perlu segera disahkan. UU OJK yang hanya menyebutkan koordinasi dengan lembaga terkait, seperti hubungan dengan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) merupakan kelemahan. Menurut Avilaini UU JPSK sangat dibutuhkan, apalagi seperti kondisi saat ini yang dibayang- bayangi ancaman krisis dari Eropa. Dengan ancaman krisis global jilid II saat ini, tantangan perbankan makin rumit dan kompleks.
Pengawasan lembaga keuangan makin perlu untuk mendapatkan perlakuan khusus. Sayangnya dalam Dewan Komisioner OJK terpilih tidak terdapat wakil dari pelaku industri. Keputusan legislatif yang tidak memberikan tempat bagi unsur pelaku industri menerbitkan kekecewaan. Salah satunya adalah Perhimpunan Bank- Bank Umum Nasional (Perbanas). “Kami menghormati apapun hasil yang diputuskan Presiden dan DPR. Namun kami kecewa dan sangat menyayangkan bahwa melalui mekanisme pemilihan DK OJK yang ada ternyata tidak memberikan tempat satupun untuk wakil dari industri perbankan,” kata Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono.
Menurutnya, sulit diterima bahwa, meskipun UU OJK sudah menjamin keterwakilan BI dan Kemenkeu secara ex- officio, tetapi anggota dewan komisioner OJK yang dipilih pun masih dari kalangan yang sama. “Di manakah hati nurani para pengambil keputusan? Apakah tidak ada asas keseimbangan dan keterwakilan yang menjadi dasar pemikiran sebelum memutuskan? Kini kami dari kalangan industri perbankan tinggal berharap agar OJK di bawah kepemimpinan Muliaman bisa menjadi pengatur dan pengawas sektor keuangan, khususnya perbankan yang lebih baik dari regulator sebelumnya,” kata mantan Dirut BNI itu.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Profesi Pasar Modal Indonesia (APPMI) Saidu Solihin mengungkapkan bahwa Muliaman merupakan sosok yang pas untuk memimpin OJK. Di bawah kepemimpinan Muliaman, OJK diharapkan bisa meningkatkan fungsi pengawasan perbankan dan lembaga keuangan nonbank. Begitupun ketika terjadi krisis, OJK bisa mendeteksinya lebih dini, sehingga tidak berdampak sistemik. “Dengan satu atap, semua kebijakan akan dilakukan lebih cepat,” kata Saidu.