JAKARTA, Stabilitas.id – Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua (Q2) tahun ini yang mencapai 7,07 persen secara tahunan (year on year/yoy) merupakan hasil positif dari adaptasi semua pihak, baik pemerintah, regulator, dunia usaha, dan juga masyarakat, dengan kondisi pandemi Covid.
“PDB kuartal dua Indonesia tumbuh 7,7 persen yoy dibanding kuartal dua tahun lalu (awal pandemi) yang minus 5,3 persen. Artinya saat kita adaptasi dengan situasi pandemi dan disiplin prokes, lalu BI melakukan stimulus moneter dan relaksasi, dan pemerintah melalui APBN beri stimulus ekonomi, maka recovery terjadi,” kata Mirza Adityaswara, Direktur Utama LPPI dalam Virtual Seminar LPPI ke 54, dengan tema ‘Local Currency Settlement’, Kamis 5 Agustus 2021.
Hadir dalam virsem LPPI ini, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti sebagai pembicara kunci, dan juga Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI, Donny Hutabarat. Dari kalangan perbankan ada Direktur Treasury & Internasional Banking Bank Mandiri Panji Irawan, dan Wiwig Santoso Treasury Group Head Bank BTPN.
BERITA TERKAIT
Mirza menjelaskan, ada beberapa sektor yang tampil sebagai penopang pertumbuhan ekonomi Q2 tahun ini antara lain sektor transportasi dan pergudangan dengan angka pertumbuhan sebesar 25 persen, juga sektor makan minum di angka 21,6 persen.
Sementara sektor manufaktur juga tumbuh 6,6 persen, perdagangan mendekati dua digit yakni 9.4 persen, lalu expenditure, konsmsi rumah tangga tumbuh 5,9 persen. “Aktivitas investasi juga tumbuh 7,5 persen, APBN (konsumsi pemerintah) tumbuh 8,1 persen, dan ekspor kita 31.8 persen, masih surplus karena impor 31,2 persen,” ungkap Mirza.
Kendati demikian, Mirza mengingatkan bahwa dunia saat ini memasuki tantangan baru dalam penanganan pandemi Covid-19, dengan adanya serangan varian delta. “Ini dialami banyak negara sehingga harus PPKM darurat, PPKM level 4. Maka dari itu kemungkinan akan ada perlambatan di kuartal ketiga,” jelas Mirza.
Sementara Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti menilai pertumbuhan ekonomi di Q2 tahun ini sesuai ekpektasi pasar. Pasar meyakini ekonomi Indonesia akan mengalami recovery ke arah yang lebih baik. Optimisme pasar bahkan melampaui prediksi bank sentral.
“Pertumbuhan di kuartal dua ini sudah sesuai market expected dan better. Kita (BI) expect 6 persen, tetapi pertumbuhan sudah mencapai 7 persen. Ini sangat positif dan biasanya akan tercermin di pasar keuangan seperti apa,” kata Destry dalam Virsem LPPI itu.
Dia menjelaskan,perbaikan perekonomian Indonesia sejaland dengan pemulihan ekonomi global yang terus menunjukkan perbaikan secara signifikan. “Beberapa mitra dagang kita khususnya Tiongkok tumbuh 7.9 persen, AS tumbuh 12 persen,” sebutnya.
Destry menegaskan bahwa perbaikan ekonomi secara global menunjukkan bahwa berbagai negara telah melakukan stimulus yang sangat besar. Dia mencontohkan Tiongkok yang telah mengalami adjustment sejak Q4 tahun 2020 lalu.
Dorong Investasi
Maka dari itu, menurut Destry, strategi yang harus dilakukan Indonesia saat ekonomi mulai menigkat, adalah beradaptasi dengan perkembangan positif saat ini, kendati ditantang dengan varian delta.
“Strategi kita adalah riding the wave. Dengan ekonomi yang meningkat, ini cerminkan ada agregat demand yang tinggi dan tentunya akan dorong komoditas dan ekspor kita,” jelasnya.
Destry mengingatkan, dari pertumbuhan Q2 sebesar 7,07 persen itu, kontribusi terbesarnya adalah konsumsi masyarakat yang mencapai 3,17 persen. Akan tetapi secara pertumbuhan sektoral, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5 persen.
“Jadi investasi kita menjadi backbone perekonomian, karena tumbuh 7,54 persen (yoy). Ini didukung oleh konsumsi pemerintah dengan segala jenis stimulus dan pelonggaran fiskal sehingga menyumbangkan pertumbuhan 8.06 persen,” katanya.
Menariknya lagi, kata Destry, ekspor mampu mencetak pertumbuhan 32 persen, yang tentunya banyak didukung perbaikan ekonomi global. “Ini yang kita coba bagaimana manfaatkan secara optimal dalam rangka mendorong ekonomi kita,” imbuhnya.
BI, sebut Destry, sejauh ini mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dalam kondisi yang sehat. Sehingga, walau Curent Account masih defisit tetapi relatif terkendali, didukung oleh masih adanya capital inflow, yang kendati melambat karena adanya penyesuaian global.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga masih tercatat 130 milyar dolar AS, setara dengan 9 bulan dari impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia. Jauh di atas trace hold IMF yang sebesar 3 bulan. “Ini menggambarkan bahwa sektor eksternal kita strong karena pertumbuhan ekonomi di-backup ekspor kita,” jelas Destry.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah juga mengalamai penurunan volatiltias, kendati masih terjadi tekanan, terutama ketika varian delta mulai menyebar di Tanah Air. “Beberapa hari ini rupiah mulai mengalami penguatan. BI selalu hadir di pasar menjaga stabilitas Rupiah,” tegasnya.
Hal lain yang menarik menurut Destry adalah ketika posisi credit default Indonesia relatif flat dengan tren penurunan dibanding tahun lalu. Credit default merupakan persepsi global terhadap kemampuan membauar utang dari suatu negara.
“Tren (credit default) turun dari angka tertinggi tahun lalu terus mengalami penurunan dan ini positif, paling tidak memberi confidence bagi stabilitas sistem keuangan kita,” imbuhnya.
Berbagai perbaikan ekonomi tersebut menurut Destry, menjadi acuan bagi BI yang memutuskan menahan BI7DRR di level 3,5 persen. “Kami akan terus dalam posisi yang akan mengeluarkan kebijakan yang mendorong pertumbuhan ekon kita,” jelasnya.
Optimalisasi Rupiah
Pada kesempatan yang sama Destry juga menghimbau semua kalangan untuk menjaga momentum perbaikan ekonomi global sehingga memberi manfaat bagi ekonomi Indonesia. Salah satunya dengan cara menggunakan mata uang rupiah dlam setiap transaksi di dalam negeri.
Destry mengingatkan, pertumbuhan ekspor yang mencapai 31 persen masih menggunakan mata uang dolar sebagai alat transaksi dagang. “Penggunaannya 94 persen untuk ekspor dan impor 83 persen. Sementara ekspor kita dengan AS hanya sekitar 10 persen, dan impor hanya 5.2 persen,” paparnya.
Untuk itu, ke depan, dengan semakin bervariasinya mitra dagang Indonesia, dan kerjasama perdagangan bilateral, pemeritnah dan BI mulai mengatur strategi untuk bisa mengurangi ketergantungan pada dollar AS sebagai alat transaksi dengan mitra dagang Indonesia.
“Proses itu tidak mudah dan harus ada kesepahaman bagaimana cara kurangi ketergantungan terhadap USD. Karena ekspor kita ke Tiongkok paling besar yakni 13,6 persen, dan impor kita paling besar 21,4 persen. Jadi poinnya adalah kita lihat bahwa variasi mitra dagang kita besar dan bagaimana kalau kita mulai melakukan bilateral agreement agar bisa transaksi dengan mata uang masing-masing dalam transaksi perdagangan,” jelas Destry.
Dia menambahkan, BI telah melakukan penguatan kerjasama penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal (local currency settlement) dengan Jepang, Malaysia, dan Thailand. Dan sekarang ini BI juga sedang mencoba lakukan penguatan kerjasama penyelesaian transaksi dengan beberapa bank. “2021 baru kita aktifkan LCS dengan Jepang. Kita tau Jepang punya exsposure baik perdagangan maupun investasi,” imbuhnya.
Destry lebih lanjug mengatakan bahwa fokus pengembangan LCS masuk dalam framework BI terkait dengan upaya pengembangan pasar uang Indonesia menjadi lebih modern dan maju di era digital. *