Salah satu risiko yang harus diwaspadai oleh seluruh pelaku usaha adalah risiko keterpisahan dampak Covid-19 pada pertumbuhan ekonomi. Yang maju makin maju, yang menderita makin menderita.
Muliaman Hadad, Dubes RI untuk Swiss dan Liechtenstein
Kita tetap harus waspada, sehingga kita dapat menempuh tahun 2023-2024 dengan baik. Perhatian masyarakat internasional terhadap yang terjadi pada konflik Rusia-Ukraina luar biasa. kita mengikuti pertemuan G20 di Bali, dan memang perhatian apa yang terjadi Ukraina besar sekali. Saya setuju betul hal tersebut akan punya pengaruh pada upaya mitigasi yang dari beberapa dampak negatif perang tersebut. Seperti harga yang naik, inflasi yang naik. Kita berharap konflik itu makin mereda, tapi tampaknya sampai saat ini dilihat dari akselerasinya, belum ada tanda-tanda akan selesai.
Menurut IMF tahun 2023 ekonomi global akan tumbuh sekitar 2,7 persen, tetapi menurut Morgan Stanley 2,2 persen. Jadi memang sedikit gloomy perkiraan ekonomi 2023.
Kita tetap harus menjaga fundamental dengan baik, karena jika dibandingkan dengan peer group, Indonesia relatif lebih baik. Dan tentunya kita berharap optimisme ini tetap harus dipertahankan dengan konsistensi kebijakan dan inisiatif-inisiatif pendobrak. seperti yang dihasilkan di G20 Bali. Mudah-mudahan hasil tersebut bisa meng-amplified berbagai macam usaha untuk memitigasi berbagai macam krisis.
Tahun 2023, kalau kita bagi ekonomi dunia ini antara negara maju dan berkembang, secara rata-rata situasi tidak mengalami resesi parah, tetapi hanya istilahnya, near recession. Mudah mudahan ini yang terjadi, sebab kalau betul-betul resesi dan parah saya pikir dampaknya akan signifikan kepada ekonomi kita. Sementara di emerging economies pada 2023 diharapkan recover modestly, pemulihannya lumayan bagus.
Dengan demikian terdapat istilah baru yang sekarang sedang didiskusikan dampaknya adalah risiko fragmentasi perekonomian global. Yang maju makin maju, yang menderita semakin menderita, artinya ada fragmentasi: ada yang bagus, ada yang parah, dan ada yang modest. Risiko fragmentasi ini tidak bisa diabaikan karena dalam dunia yang terkoneksi satu sama lain dengang baik, implikasinya besar. Bisa itu terkait dengan isu isu disrupsi dan isu-isu lain yang akan sangat kental mewarnai 2023. Yang ditandai dengan beberapa dampak yang berbeda antara satu kelompok negara dengan negara lain.
Contoh China tumbuh 5%, lebih tinggi dari rata-rata emerging market yang 3,7%. Sementara negara negara maju mengalami near recession. Rata rata negara maju ini diwakili oleh G10, kelompok 10 negara maju, pertumbuhannya 0,3% saja. Sehingga di sini kita melihat sudah ada fragmentasi yang dampaknya terhadap ekonomi global saya harap tidak terlalu mendasar.
Selain itu muncul gejala picking up inflasi di AS, kita berharap ini terus berkesinambungan dan kita berharap ekonomi AS itu soft landed, meskipun ada yang memperkirakan not so soft landed karena ada beberapa indikator penting yang mempengaruhi.
Secara keseluruhan mungkin kita dapat mengatakan bahwa pada tahun 2023 situasinya relatif akan berlanjut pada tahun 2024 dengan degree yang lebih modest. Sehingga banyak pihak mengatakan dua tahun ini, tahun 2023-2024 menjadi two weak years, artinya dua tahun yang lemah. Dengan pelemahan ekonomi global yang agak ekstrem.
Bahkan Direktur IMF ketika pidato di Bali dan pertemuan ASEAN di Kamboja mengatakan bahwa, probability ekonomi global tumbuh di bawah 2 persen cukup besar. probability-nya sekitar 25 persen. Menurut saya perlu mendapat perhatian, kalau IMF memperkirakan probability tumbuh di bawah 2 persen ekonomi global itu akan terjadi, saya pikir dampaknya akan cukup serius. Apalagi ditambah dengan risiko fragmentasi yang tadi saya sudah sampaikan.
Juga ada risiko financing gap. Di Indonesia mungkin situasinya agak beda karena pertumbuhan kredit masih double digit, sekitar 11 persen, tapi di beberapa negara Eropa yang saya saksikan besarannya sangat minimal. Artinya ada financing gap karena biaya kredit juga terus mengalami peningkatan. jika kita tarik isu ini ke tataran global maka ini cukup serius persoalannya. Dengan demikian ada isu yang menurut saya perlu menjadi perhatian adalah melambatnya pertumbuhan kredit karena berbagai macam alasan, termasuk salah satunya karena tingkat bunga yang makin tinggi.
Implikasinya akan sangat besar, karena kalau pertumbuhan kredit menyusut maka dampaknya pada perekonomian juga akan signifikan. Kondisi ini juga akan mengganggu recovery.
Sementara itu di Eropa 57,5 persen dari kebutuhan energinya adalah impor. Jadi kalau terjadi kenaikan yang signifikan terhadap harga energi tentu saja akan signifikan terhadap kinerja ekonomi Eropa. Jadi bagi Eropa, saya melihatnya ini adalah masa-masa sulit sekarang ini, bukan hanya barang semua naik, daya beli turun. Juga karena ketidakpastian perang terus berlanjut.
Kemudian yang menurut saya juga penting untuk diperhatikan adalah dampak dari pengetatan yang berkesinambungan di berapa periode terakhir ini. Karena beberapa bank sentral besar masih terus akan berlanjut meningkatkan suku bunga, saya kira perlu adanya respons yang baik. Artinya otoritas makro harus mampu merespons ini dengan berbagai macam opsi yang durable.
Saya menyampaikan macroprudential measure dalam artian umum perlu terus dilanjutkan terutama untuk menangani persoalan capital outflow. Di lain sisi juga mengundang investasi masuk ke dalam negeri. Saya pikir macroprudential measure harus diupayakan paling tidak untuk menahan capital outflow.
Di Indonesia menurut saya sudah banyak orang yang berbicara mengenai devisa, bagaimana menahan devisa lebih lama di Tanah Air. Sebenarnya ini isu lama karena 10 tahun lalu kita sudah menangani isu-isu ini, tapi mungkin this time karena keliatannya akan bertahan lama, perlu sesuatu yang signifikan. Artinya, dibangun kebijakan untuk merespons semua ini, dibangun sesuatu yang berkesinambungan tidak mengalami persoalan serupa yang berulang.
Fokus ASEAN
ASEAN, dalam konteks fragmentation risk merupakan salah satu bintang yang bersinar dan ini juga penting karena tahun depan Indonesia menjadi Presiden ASEAN. Selesai dari Presiden G20, kita sekarang menjadi Presiden ASEAN. Saya pikir-pikir agenda-agenda G20 akan didorong terus karena tema-tema G20 sangat universal, seperti penanganan krisis energi, krisis pangan, kemudian inflasi dan agenda-agenda ekonomi lain.
ASEAN ini adalah regional wilayah ekonomi yang diperkirakan akan tumbuh 5% pada akhir 2022 ini dan 4,7% pada 2023. Jauh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global. ASEAN akan menjadi key player untuk mengurangi fragmentation risk tadi. Kemudian ASEAN tentu saja kita berharap karena potensinya besar akan menjadi pasar yang sangat dinamis. Penduduk ASEAN mungkin hampir 700 juta dan juga memiliki sumber daya alam besar serta sudah menjadi bagian penting dari global supply chain. Jadi ASEAN menjadi bagian penting bagi ekonomi Indonesia. ASEAN maju, kita maju. Maka dari itu ASEAN akan sangat berpengaruh, namun juga akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi terutama dari China.
Ada beberapa yang harus jadi perhatian dalam fokus kepada ASEAN ini. Yang pertama ASEAN harus committed pada inflasi, dan saya yakin Indonesia sebagai Presiden ASEAN akan bisa melakukan itu, paling tidak mengagendakan inisiatif-inisiatif terikait pengelolaan inflasi, bagaimana supply dan deman side-nya. Sementara bank sentral diperkirakan akan terus melakukan kebijakan pengetatan dan diharapkan akan terus melakukan pengetatan sampai muncul tanda-tanda picking up inflasi yang tangible.
Kedua, soal perang dan pandemi. Kita semua menderita karena perang dan dampak pandemi, tapi kita juga harus ingat bahwa banyak orang yang lebih menderita dari kita. Bahkan dalam konteks di Indonesia tentu ada fragmentasi juga. Kebijakan yang sudah dilakukan selama ini yang menurut saya sudah on track ini diteruskan terutama untuk memfokuskan upaya menolong mereka yang paling terpukul dari dampak krisis ini, sehingga kita bisa recover together.
Ketiga, yang akan menjadi perhatian adalah soal sustainability atau green economy. Ketika di Bali ada G20 di saat yang bersamaan di Mesir ada COP27, pertemuan yang penting namun overshadow oleh G20. Secara internasional sebetulnya perhatian media terhadap COP27 ini besar sekali terutama untuk meng-address isu besar. Komitmen negara-negara dunia diharapkan untuk bisa mengurangi emisi. Di Indonesia sendiri menurut saya sudah memiliki kebijakan yang agresif yang terbaru yaitu komitmen bisa mengurangi 43 persen emisi pada tahun 2030, dengan dukungan internasional.
Di sini ada tiga isu besar. Pertama, isu financing, karena gap financing yang masih besar. Kemudian kedua isu capacity building yang saya pikir green economy ini bukan hanya sekedar green washing, tapi dipahami bagian strategic yang harus dipahami oleh seluruh lapisan mulai dari level leader sampai kepada operasional. Sehingga isu isu ini betul betul embeded di dalam strategi dari masing masing kita, teruma bank. Isu yang terakhir, semua ini tidak bisa dilakukan tanpa collective action, semua itu harus dilakukan secara kolektif.
Pada G20 lalu sudah banyak keputusan-keputusan penting di luar isu perang, seperti adanya dana pandemi, ada investment compadium, dan hal lain di bidang kesehatan. Semua itu harus kita lakukan secara kolektif.
Indonesia sudah menempatkan diri pada posisi yang sangat baik, terutama di dalam konteks memobilisasi komitmen, paling tidak di antara kelompok G20, yang kalau GDP-nya dijumlah sudah sangat dominan di dalam total GDP dunia.
Bahkan beberapa media di Eropa mengapresiasi beberapa keputusan yang dihasilkan di Bali dan Indonesia sebagai host menjadi sangat popular dan mengatakan the importance of Indonesia keep increasing.***
*Penjelasan lengkap Bapak Muliaman Hadad (Duta Besar Luar Biasa untuk Swiss merangkap Liechtenstein) saat memaparkan materi pada Indonesia Risk Management Outlook 2023 di link berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=_87RafnMDfc
*Simak juga podcast bersama Bapak Muliaman Hadad | LPPI Voice#19 dengan tema “Seberapa Menyeramkan Resesi Eropa Tahun Depan?” melalui link berikut: