JAKARTA, Stabilitas.id – Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia hari ini (20 Oktober 2022) memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,75%.
Bi juga menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,50%.
Ryan Kiryanto, Ekonom dan Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social, Economic and Digital (ISED) menilai keputusan BI tersebut sangat tepat, taktis dan timely.
“Jelas keputusan ini menyiratkan langkah BI yang front loaded, pre-emptive, dan forward looking, terutama untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting) berkisar 6-7% pasca kenaikan harga BBM yang lalu,” kata Ryan kepada Stabilitas, Kamis (20/10/2022).
“Sekaligus memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% (dengan jangkar 3%) lebih awal dari perkiraan semula yaitu menjadi ke paruh atau semester pertama 2023,” imbuhnya.
Selain itu, menurut Ryan, keputusan BI manikan suku bunga juga dimaksudkan untuk menjaga dan memperkuat kebijakan upaya menstabilkan pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS.
“Rupiah dijaga agar sesuai dengan nilai fundamentalnya yakni kinerja perekonomian yang stabil dan terus tumbuh positif di tengah semakin kuatnya mata uang dolar AS terhadap mata uang di seluruh dunia dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global karena ekses perang di Ukraina,” pungkasnya.
Memgingat penguatan dolar AS dan ketidakpaatian global itu terjadi di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap cukup kuat karena konsumsi rumah tangga yang tumbuh stabil di atas 5% yoy dalam tiga kuartal terakhir ini.
Maka dalam hal ini, Ryan menilai sebenarnya deperesiasi Rupiah terjadi karena faktor sentimen, bukan karena faktor fundamental.
“Ini karena the Fed menaikkan FFR sangat agresif (untuk memerangi inflasi yg sempat nyentuh 9% supaya turun ke target 2%), sehingga imbal hasil dalam dolar AS meningkat tajam yg mendorong para pemilik dana atau investor memburu dolar AS sebagai safe heaven investment di saat situasi ketidakpsstian global meningkat,” ungkap Eyan.
Sehingga, dengan kenaikan FFR yang agresif (325 bps dari posisi sebelumnya 0-25 bps) sedangkan bank sentral negara lain (termasuk BI) menaikkan suku bunga acuan dalam besaran basis poin yang lebih kecil yakni 75 bps menjadi 4,25% saat ini.
“Sebelum naik lagi sebesar 50 bps menjadi 4,75% hari ini sehingga selisih FFR dgn BI Rate menjadi hanya 150 bps atau 1,5% sementara sebelumnya berkisar 250-300 bps,” imbuhnya.
Maka, lanjut Ryan, investor terdorong untuk mengoleksi dolar AS. Apalagi outlook FFR bakal naik lagi ke kisaran 4,0%-4,25% di akhir tahun ini.
Dia menambahkan, melemahnya Rupiah yang cukup tajam akhir-akhir ini memang anomali, karena sejatinya fundamental ekonomi Indonesia relatif lebih baik dibandingkan AS.
Namun karena faktor sentimen global yang membuat Rupiah dan mata uang lainnya baik di negara maju maupun negara berkembang terkoreksi oleh dolar AS yang menciptakan fenomena baru. “Yakni super strong US Dollar saat ini,” tutupnya. ***