JAKARTA, Stabilitas— Ekonom Bank DBS Masyita Crystallin memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin, hari ini. Penurunan ini didukung beberapa faktor antara lain neraca perdagangan Indonesia yang semakin membaik dan nilai rupiah yang stabil di tengah peraturan The Fed yang kian dovish.
“Tingkat suku bunga rupiah lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga bank sentral negara-negara lain di kawasan, sementara risiko inflasi masih dapat dikelola. Kami memperkirakan suku bunga diturunkan sebesar 25 basis poin pada tahun ini, dengan penurunan tambahan sebesar 50 basis poin pada tahun 2020,”tulisnya dalam keterangan resmi kepada media, Kamis (18/7/2019).
Lebih jauh Crystallin menjabarkan, kondisi diselaraskan bagi Bank Indonesia untuk memulai siklus pelonggaran moneter, dan penurunan tingkat suku bunga diramalkan terjadi paling lambat pada Kamis (18/7). Dengan kinerja baik rupiah di tengah kebijakan lunak Bank Sentral AS, serta perbaikan dalam neraca perdagangan, dirinya berpendapat bahwa Bank Indonesia dapat menurunkan tingkat suku bunga secara akumulatif sebesar 75 basis poin (25 basis poin pada tahun 2019 serta 50 basis poin pada tahun 2020) dalam beberapa triwulan ke depan.
“Inflasi telah berhasil dikendalikan dan bukan lagi sebuah prioritas, karena kombinasi kegiatan ekonomi, yang melambat, akibat harga komoditas, yang melemah, serta manajemen pasokan beras domestik, telah mendorong inflasi turun di bawah 3 persen. Kami telah merevisi ramalan inflasi kami menjadi lebih rendah, di tingkat 3,2 persen untuk tahun 2019, dan 3,4 persen untuk tahun 2020, dari perkiraan awal, yang sebesar 3,6 persen.”tambahnya
Meski demikian dirinya menambahkan, harga bahan bakar dan listrik perlu disesuaikan tahun ini, kami tidak beranggapan inflasi dapat bergeser jauh dari sasaran titik tengah Bank Indonesia, yang sebesar 3,5 persen.
Sementara itu, neraca perdagangan telah berubah menjadi positif dalam dua bulan terakhir, yakni sebesar 218 juta dolar AS dan 196 juta dolar AS pada bulan Mei dan Juni. Semula, diperkirakan terjadi defisit sebesar 2,3 miliar dolar AS pada bulan April.
“Dalam kenyataan, ruang untuk perbaikan neraca perdagangan dapat menjadi lebih sempit jika harga komoditas menurun serta penyusutan ekspor industri manufaktur berlanjut. Karena infrastruktur tetap menjadi prioritas Presiden Joko Widodo, impor barang modal diperkirakan akan digenjot pada tahun 2019, yang kemungkinan tidak tercermin pada paruh kedua tahun 2019 karena perlu waktu cukup lama untuk memacu pembangunan infrastruktur tahun ini,”pungkas Crystallin.