Apa yang kita alami sekarang ini, ketika penjahat dunia maya seperti mengobrak-abrik sistem keamanan data, sejatinya sudah diperingatkan oleh banyak pihak sebelumnya. Pada 2017, misalnya, muncul kasus WannaCry yang menghebohkan dunia. Sebagai pengingat, WannaCry adalah serangan ransomware yang mengunci dokumen melalui pesan elektronik, dengan permintaan tebusan senilai 300 dollar AS. Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena serangan itu.
Sejumlah media menyebut WannaCry sebagai salah satu serangan siber terbesar yang pernah terjadi di dunia. Berdasarkan laporan resmi, WannaCry telah melumpuhkan sistem jaringan sejumlah organisasi di Indonesia, seperti RS Harapan Kita, RS Dharmais, dan Universitas Jember.
Meskipun ancaman ransomware tidak berkurang hingga saat ini, pembobolan data muncul dengan modus yang lebih serius. Di tengah kesadaran banyak pihak tentang pentingnya informasi yang tersimpan dari file-file komputer dan juga informasi sekunder mengenai kebiasaan seseorang, perebutan data tak terelakkan lagi. Bahkan startup-startup yang menjamur beberapa tahun lalu rela melakukan ‘bakar uang’demi mendapatkan data lebih banyak dan lebih luas.
Perebutan data bahkan sudah naik level menjadi perang data ketika praktik pembobolan data makin marak karena pandemi membuat penggunaan transaksi online menjadi sangat massif. Data mengenai transaksi, kebiasaan, kebutuhan seseorang menjadi rebutan korporasi dan juga pihak-pihak yang ingin mengoptimalkannya demi kepentingannya sendiri.
Ironisnya di tengah perang memperebutkan data yang milik warga negara, posisi Indonesia ibarat pelanduk di tengah gajah-gajah yang sedang bertarung. Perlindungan data pribadi warga negara benar-benar rentan, bahkan banyak yang menyebutkan cenderung telanjang.
Mungkin sudah tidak terhitung lagi kerugian yang dialami oleh perekonomian, dari bocornya data yang kerap terjadi di Tanah Air. Hitungan kerugian data berasal dari akumulasi keuntungan yang diperoleh oleh para penjahat siber yang membobol data, ataupun manfaat monetize dari korporasi yang mengoptimalkan data curian itu. Atau bisa jadi potensi pendapatan yang bisa dimonetisasi dari data yang dicuri tersebut.
Namun demikian geger kebocoran data sepertinya tidak sontak membuat pemerintah cepat bergerak. Setidaknya memperbaiki atau meminta maaf atas keresahan yang disebabkan oleh rapuhnya keamanan data nasional. Yang terjadi adalah pengelakan dan pengalihan tanggung jawab. Bahkan yang paling mencengangkan adalah bocornya data 1,3 miliar pemilik kartu telepon selular. Sebagai informasi, data ini adalah informasi yang didapatkan provider telekomunikasi yang mewajibkan pemilik nomor untuk mendaftarkan data pribadinya sebelum diperbolehkan memiliki kartu. Ketentuan ini diwajibkan beberapa tahun lalu.
Parahnya lagi data yang bocor dan disanggah oleh pemerintah ini ketika ditelusuri tidak ada yang mengetahui tempat dan siapa lembaga yang menyimpannya. Ini tentu dagelan yang berbahaya. Ketika pada 2018 masyarakat
dipaksa untuk melakukan registrasi SIM card, kemudian data itu disimpan eh, yang meminta registrasi tidak tahu
dimana data itu disimpan.
Mulai operator, Kementerian Kominfo, Kementerian Dalam Negeri hingga Otoritas Sistem Kependudukan dan Catatan Sipil semuanya mengaku bukan pihak yang menyimpan data. Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar. Waktu menyiapkan kebijakan tersebut, mendesain sistem registrasi tersebut sebenarnya sudah harus disiapkan siapa pihak yang bakal menyimpan data tersebut. Jika ternyata memang tidak ditentukan berarti benar adanya bahwa ada yang salah dengan sistem Tata Kelola Teknologi Informasi di Negeri ini.
Malahan ada kejadian yang lebih parah. Dalam sebuah grup pertemanan nomor telepon, dibagikan sebuah tangkapan layar gambar tumpukan nasi bungkus yang dibungkus dengan foto kopi kartu keluarga. Bayangkan betapa mudahnya data milik Negara dibobol baik secara online maupun offline.
Maka pada ujungnya kita tidak bisa lagi heran jika pada akhirnya marak penipuan, judi online, pinjaman online illegal, pengambilalihan rekening bank, pembobolan dana. Kita harus rela menjadi bulan-bulanan.
Sebelumnya nasabah sudah ‘mulai terbiasa’ menerima telepon dari lembaga keuangan yang menawarkan kartu kredit, pinjaman tanpa agunan, asuransi dan bahkan pinjaman online. Meski kita merasa tidak pernah mengajukan diri, bahkan tidak pernah memberikan nomor telepon kita ke lembaga-lembaga itu.
Setelah data diri penting warga negara bocor, nasabah mungkin harus sudah bersiap-siap menerima kenyataan
lebih pahit dari itu. Bisa jadi informasi diri kita dan keluarga kita sudah berada di tangan suatu korporasi atau pihak yang nantinya dengan mudah digunakan untuk kepentingan mereka, baik komersial bahkan bisa lebih jauh yaitu kepentingan politik.
Maka tidaklah berlebihan (dan memang redaksi tidak berniat untuk kasar) jika dikatakan bahwa apa yang
didengung-dengungkan pemerintah bahwa mereka akan segera mengadopsi teknologi 4.0, menerapkan digitalisasi, hanya berakhir pada slogan.
Memang harus diakui tingkat literasi masyarakat masih rendah terhadap perlindungan data. Namun begitu
faktor yang lebih menentukan adalah bagaimana publik melihat pemerintah selalu gagap menghadapi kebocoran data. Kondisi itu mungkin saja bisa memunculkan penilaian kurang bagus dari warga negara mengenai kompetensi dari pemerintah dalam melindungi data pribadi.*