SUDAH sejak beberapa tahun belakangan ini Bank Indonesia sejatinya sudah disibukkan oleh perkembangan yang terjadi di perekonomian. Kebijakan menangkal dampak pandemi mungkin salah satu dari persoalan yang menjadi perhatian utama otoritas. Namun demikian, ada masalah lain yang tidak kalah menuntut perhatian ekstra. Ya, perkembangan teknologi blockchain.
Perkembangan teknologi ini, boleh dibilang telah lebih dulu mencuat dibanding teknologi digital yang marak tiga tahun belakangan. Teknologi yang disebu-sebut sebagai internet generasi kedua itu lahir pada 2009 lalu, bersamaan dengan kemunculan bitcoin, dari seseorang yang memiliki nama di dunia maya Satoshi Nakamoto. Dengan blockchain, seseorang tidak membutuhkan institusi perantara untuk melakukan transfer dana ke pihak lain, dalam waktu lebih singkat, biaya lebih murah, dan bahkan jauh lebih aman.
Blockchain, dalam bahasa sederhana adalah basis data global online—yang bisa dipakai siapa saja di seluruh dunia yang terkoneksi internet. Tak seperti basis data lain yang biasanya dimiliki oleh institusi tertentu seperti bank atau pemerintah, blockchain tidak dimilik siapa-siapa. Hal itu membuatnya lebih transparan karena bisa diakses oleh siapa saja.
Bank sentral lantas saja memberikan sorotan yang cukup intensif pada teknologi tersebut. Sebabnya tentu karena teknologi yang diwakili oleh kehadiran mata uang digital atau cryptocurrency berpotensi ‘mengganggu’ keberadaan fiat money yang digunakan saat ini.
Akan tetapi berhadapan frontal dengan cara melarangnya tentu tidak akan efektif di tengah zaman teknologi yang penuh keterbukaan ini. Maka dari itu, alih-alih membuat aturan yang memblokade mata uang kripto tersebut, bank sentral memilih untuk menghadirkan versi mereka sendiri.
Strategi ini tampaknya dilakukan oleh hampr semua bank sentral di dunia tak terkecuali Bank Indonesia. Bahkan BI mendapatkan kesempatan lebih luas dalam meminta agar banyak negara di dunia segera mengaplikasikannya sembari menyiapkan mitigasi atas risiko-risiko yang bakal muncul, terkait kepemimpinan Indonesia dalam G20 tahun ini.
BI juga meminta agar negara-negara di dunia juga menyiapkan sistem dan infrastruktur agar mata uang digital yang dilansir nanti bisa berlaku lintas negara. Serta tidak lupa menentukan mekanisme kurs masing-masing.
Penerbitan mata uang digital resmi yang diinisiasi oleh otoritas menemukan momentumnya ketika aset-aset kripto yang sudah beredar sudah memberikan bukti bahwa mereka tidak stabil dan rawan penurunan nilai secara tajam. Artinya, cryptocurrency yang digadang-gadang bisa menggantikan uang kertas atau dana-dana yang dikelola oleh sistem moneter konvesional itu ternyata menyimpan risiko yang tidak main-main.
Menurut sebuah laman badan yang mengembangkan cryptocurrency versi otoritas asal AS, mata uang digital bank sentral (CBDC) adalah bentuk digital dari mata uang fiat suatu negara yang juga merupakan klaim pada bank sentral. Alih-alih mencetak uang, bank sentral menerbitkan koin elektronik atau rekening yang didukung oleh kepercayaan dan kredit penuh dari pemerintah.
Akan tetapi agak ambigu jika nanti, bank-bank sentral dunia memang benar akan menerbitkan mata uang digital seperti halnya cryptocurrency yang sudah beredar. Sebagaimana diketahui mata uang kripto seperti bitcoin, etherium, dogde atau apapun namanya itu, dioperasikan di atas platform blockchain. Itu artinya peredarannnya tidak bisa dikontrol dan dikendalikan oleh satu pihak apalagi otoritas. Karena memang itu tujuan awalnya.
Nah, ketika otoritas moneter menerbitkan CBDC, berarti ada pihak yang akan mengontrol dan mengendalikan pergerakannya. Di satu sisi ini sangat bagus karena masyarakat pengguna bisa terjaga dari kejatuhan dan kerugian. Namun di sisi lain justru mengaburkan tujuan awal dihadirkannya mata uang digital berbasis blockchain.
Ketika cryptocurrency itu dihadirkan oleh penemunya untuk menjadi antithesis dari uang yang beredar yang selama ini kita kenal, dan bertujuan untuk mendesentralisasi transaksi, CBDC justru diluncurkan dan dikontrol oleh otoritas.
Ada banyak alasan untuk mengeksplorasi mata uang digital, dan motivasi berbagai negara untuk menerbitkan CBDC bergantung pada situasi ekonomi mereka. Beberapa motivasi umum adalah: mempromosikan inklusi keuangan dengan menyediakan akses uang yang mudah dan aman bagi populasi yang tidak memiliki rekening bank dan tidak memiliki rekening bank; memperkenalkan persaingan dan ketahanan di pasar pembayaran domestik, yang mungkin memerlukan insentif untuk menyediakan akses uang yang lebih murah dan lebih baik; meningkatkan efisiensi pembayaran dan menurunkan biaya transaksi; menciptakan uang yang dapat diprogram dan meningkatkan transparansi aliran uang; dan menyediakan aliran kebijakan moneter dan fiskal yang lancar dan mudah.***