AKHIRNYA setelah melewati sedikit drama, pelantikan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa keuangan yang baru dilaksanakan juga pada 20 Juli 2022 lalu. Ya, memang bisa disebut sebagai drama, sebabnya, sebelumnya beredar kabar bahwa pemerintah menginginkan pergantian jajaran kabinet OJK periode 2017-2022 dilakukan lebih cepat. Tetapi pada akhirnya tetap sesuai jadwal yang menggenapi lima tahun periode jabatan DK OJK itu sesuai undang-undang.
Kalau kita tarik waktu mundur ke belakang, masa jabatan dewan komisoner di bawah pimpinan Wimboh Santoso yang mulai bertugas Juli 2017 memang seharusnya berakhir Juli 2022. Namun entah kenapa, pada proses rekrutmen hingga pengumuman resmi nama-nama anggota Dewan Komisioner yang baru, kesan ingin mengganti kabinet OJK lama lebih cepat, terlihat jelas. Puncaknya adalah ketika para anggota dewan komisioner yang baru terpilih di bawah pimpinan Mahendra Siregar, dijadwalkan dilantik pada 24 Mei 2022. Meski akhirnya urung dilaksanakan.
Pihak Mahkamah Agung, mengatakan salah satu alasan penundaan pelantikan tersebut adalah karena sang Ketua Muhammad Syarifuddin tidak berada di Jakarta dan akan melakukan perjalanan ke luar kota. Kalau memang alasan ini yang menjadi penyebab diurungkannya pelantikan tersebut, tentu ini hal yang aneh. Bagaimana mungkin untuk agenda sebesar dan sepenting itu pihak kesekretariatan MA bisa luput mengingatkan dan menyiapkannya?
BERITA TERKAIT
Mahkamah tertinggi di Republik ini tentu paham, bahwa undang-undang sudah mengatur masa jabatan DK OJK itu harus genap lima tahun yang mana batasnya sampai tanggal 20 Juli 2022. Tidak bisa dikurangi meski hanya beberapa pekan atau beberapa hari.
Memang pemerintah punya argumennya sendiri ketika menentukan tanggal pelantikan pada 24 Mei. Pelantikan anggota dewan komisioner OJK yang baru, berdasarkan Undang–undang dilakukan 30 hari setelah penetapan oleh DPR RI, melalui ketetapan Presiden. Karena sidang paripurna penetapan DK OJK dilaksanakan 17 April 2022, maka tidak heran jika sebulan setelah itu ditetapkan menjadi waktu pelantikan.
Kedua argumen itu tentu memiliki landasan undang-undang yang sama. Namun demikian masalah muncul karena pemerintah kali ini lebih dini dalam melakukan proses rekrutmen hingga penetapan kabinet baru OJK.
Pendapat dari MA, namun demikian, yang akhirnya diikuti. Sebabnya meski para anggota DK OJK sudah bersiap mendatangi kantor MA pada 24 Mei, pada akhirnya pelantikan itu tidak dilaksanakan. Hal tersebut sempat menimbulkan kehebohan di publik. Masyarakat, tak bisa dihindarkan lagi mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Dan publik tentu punya jawabannya sendiri.
Muncullah isu bahwa ada kekecewaan dari kinerja DK OJK lama terkait adanya kasus-kasus fraud dalam industri asuransi, juga tak henti-hentinya muncul kasus pinjaman on line yang meresahkan masyarakat. Selain itu, beberapa pekerjaan rumah yang belum selesai oleh DK OJK yang lama.
Sebut saja, soal pengawasan di industri keuangan non bank, yang dalam lima tahun belakangan ini mendapat sorotan tajam. DK OJK perlu menaruh perhatian khusus kepada sektor ini. Permintaan ini cukup beralasan mengingat telah meledaknya kasus gagal bayar PT Asuransi Jiwasraya), menyusul kasus asuransi AJB Bumiputera 1912, PT Asabri, dan WanaArtha Life. Kasus-kasus terkait produk-produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau Unit Link juga mencuat dan membuat resah publik.
Selain itu yang tak kalah penting adalah pengawasan terhadap perbankan yang saat ini tanpa sadar tengah menuju arah konglomerasi seiring munculnya praktik-praktik digital. Yang tak kalah patut mendapat perhatian adalah literasi masyarakat yang rendah dalam soal produk-produk keuangan yang membuat kasus penipuan dan penyalahgunaan data menjadi mengemuka. Untuk hal yang terakhir ini tentu diperlukan edukasi yang terstruktur, sistematis dan ada mekanisme kontrol dari sisi regulasi, industri sehingga masyarakat aman dan nyaman dalam menggunakan layanan.
PR lain yang belum selesai juga soal layanan financial technology (fintech). Diketahui, otoritas tengah menggodok aturan baru terkait fintech peer to peer lending yang sudah dimulai sejak 2020 lalu. tetapi sampai sekarang aturan itu belum selesai. Aturan baru tersebut ditujukan untuk menggantikan POJK 77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Memang, kisi-kisi dari aturan tersebut sudah sempat beredar, namun aturan resmi belum juga terbit.
Akan tetapi, yang pasti, kini jajaran dewan komisioner baru sudah dilantik dan sudah mulai bekerja. Persoalan-persoalan penting terkait pengawasan, pengaturan, dan perlindungan nasabah lebih penting untuk segera diselesaikan. Jauh lebih penting dibandingkan memikirkan mengapa Mei lalu jajaran DK OJK yang baru gagal dilantik.
Masyarakat menaruh harapan besar pada generasi ketiga otoritas pengawas industri keuangan ini. Tentu sederhana keinginan itu. Masyarakat hanya mau bahwa uang-uang mereka yang ada di lembaga keuangan tidak hilang dan merugikan mereka. Masyarakat hanya mau lembaga-lembaga keuangan yang melayani mereka adalah lembaga-lembaga yang bertanggung jawab dan bisa diminta pertanggungjawaban jika terjadi apa-apa. Dan tentu, otoritas melindungi mereka, terutama yang literasinya masih rendah soal keuangan. Sesederhana itu.***