Keanggotaan Indonesia dalam kelompok 20 negara-negara yang ekonominya dinilai berpengaruh di dunia mencapai puncaknya tahun ini tatkala Indonesia ditunjuk menjadi pimpinan. Namun demikian ironisnya, di antara ke-20 negara tersebut, Indonesia satu-satunya yang belum menjadi anggota Financial Action Task Forces (FATF), lembaga global di bidang anti-pencucian uang.
Kenyataan itu tentu membuat gusar Presiden Joko Widodo, yang lantas meminta pimpinan PPATK mencari jalan agar Indonesia segera tercatat sebagai anggota tetap FATF. Singkat cerita pada 17 Juli hingga 4 Agustus 2022 lalu FATF mengirimkan utusan ke Indonesia untuk melihat secara langsung pelaksanaan anti-money laundering. Disebut-sebut kegiatan on site visit Mutual Evaluation Review (MER) oleh Asesor Financial Action Task Forces (FATF) telah mendapatkan hasil yang baik.
Indonesia telah memenuhi 33 dari 40 rekomendasi yang dikeluarkan oleh FATF. Hasil tersebut secara umum merupakan hasil rating yang cukup memuaskan setidaknya dibandingkan dengan proses pada 2018.
Fase on-site visit merupakan yang sangat penting karena pada kesempatan ini Indonesia dapat menjelaskan dan meyakinkan tim asesor mengenai bagaimana komitmen dan upaya Indonesia dalam memperkuat implementasi anti pencucian uang, pendanaan terorisme, dan proliferasi senjata pemusnah massal.
Setelah on-site visit selesai dilakukan, maka tim asesor akan merangkum seluruh jawaban dan dokumen pendukung lalu kemudian menetapkan rating sementara dari hasil penilaian mereka. Selanjutnya, tim asesor akan mengirimkan draf pertama hasil evaluas Indonesia dan memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk memberikan pendapat atas hasil penilaian sementara tim asesor dimaksud. Proses ini akan terus berlanjut hingga draf kedua dan kemudian hasil evaluasi FATF Indonesia direviu oleh negara-negara anggota FATF yang lain dan dibahas di sidang pleno FATF pada awal tahun 2023.
Akan tetapi jalan terjal sudah muncul di depan mata, ketika dua kasus besar yang menyeret pejabat publik menyeruak. Dua kasus itu membawa-bawa dugaan adanya praktik pencucian uang dari kegiatan perjudian.
Kondisi tentu makin menambah tantangan regulator pengawas transaksi mencurigakan Tanah Air. Sebabnya, di saat perekonomian menghadapi perkembangan pesat dalam layanan keuangan berbasis teknologi digital, modus pencucian menjadi lebih beragam dan sulit dideteksi.
Metamofosis tindakan pencucian uang bergerak mengikuti zaman dan perkembangan teknologi. Dulu ketika Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan baru berdiri pada 2002, atau pada saat Undang Undang No 15 Tahun 2002 disahkan, penjahat masih melakukan pencucian uang melalui person to person. Lalu 2007, orang melakukannya lewat person to business. Kemudian pada 2010, siasat money laundering meningkat lagi menggunakan pola behavior dari melalui business to business
Selanjutnya pada 2015, strategi person to business naik level ketika mulai marak praktik financial technology atau fintech. Pada 2017, tercatat aksi itu meningkat jadi fintech to fintech yang terus berlangsung sampai tahun 2020. Namun begitu, tindakan itu masih terjadi onshore to onshore di dalam negeri. Lalu kemudian belakangan berubah menjadi onshore to offshore, dalam negeri ke luar negeri. Lalu, semua sekarang berubah menjadi offshore to offshore, orang luar negeri mencuci uang di Indonesia. Hal itu dilakukan dengan cara seseoang mencuci luar negeri dengan menggunakan orang nama orang lain, menggunakan nama anonim, nama nominee dan lainnya.
Jadi terlihat jelas bagaimana akselerasi ancaman tindak pidana pencucian uang mengikuti pola kemajuan teknologi informasi. Semakin cepat teknologi informasi diakselerasi, hal itu, di sisi lain akan menjadi disadvantage terhadap upaya penegakan hukum dan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Karena para pelaku tindak pidana cenderung akan mencari instrumen-instrumen maupun akan mencari kondisi-kondisi di mana tindak pidana pencucian uang itu semakin jauh dari dirinya.
Bahkan kemajuan teknologi juga mengantarkan ancaman pencucian uang masuk ke tahap 5.0. Praktik kotor itu kini dinilai sudah menggunakan artificial intelligence, artificial behavior, lalu kemudian augmented reality, big data dan segala macamnya.
Ancaman itu bisa bertambah jika memasukkan faktor masih banyaknya aparat hukum negara yang belum menyadari bahaya money laundering bagi keberlangsungan kehidupan bangsa dan kemajuan negara. Seorang pemerhati isu-isu pencucian uang mengatakan bahwa yang perlu dibenahi bagi tindakan pencegahan dan penanganan pencucian uang di Indonesia adalah penegakkan hukum
Kalau sudah begini maka intelijen keuangan negara harus secepatnya mengakselerasi kemampuannya dalam mendeteksi aliran uang panas dan ilegal. Pegawai PPATK harus lebih mahir dan adaptive pada perkembangan teknologi dan inovasi di sektor keuangan dibanding mereka-mereka yang berada di dalam perusahaan fintech.
Jika tidak, maka siap-siap saja pemerintahan Presiden Joko Widodo harus menunggu hingga masa jabatannya selesai untuk melihat Indonesia menjadi anggota tetap komunitas global anti pencucian uang. Di sisi lain, Indonesia harus menyisakan extra-effort untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari paktik pencucian uang ini.***