Sesungguhnya pergantian waktu selalu ada pelajaran. Dari siang ke malam, dari bulan ke bulan lain, dari tahun ke tahun berikutnya. Setiap perpindahan waktu ada kegelisahan dan kekhawatiran. Tetapi perpindahan waktu juga menyediakan gairah dan antusias.
Begitu juga saat ini ketika seluruh penduduk dunia menantikan perpindahan waktu dari 2022 ke 2023. Bagi sektor keuangan, terutama perbankan, ketika tahun baru menjelang para pengambil sudah menyiapkan panduan dalam menjalani bisnis tahun depan.
Tiga tahun belakangan harus diakui menjadi tahun yang paling dinamis karena pandemi. Beragam tantangan silih berganti dalam rentang waktu yang berdekatan bahkan bersamaan. Sebut saja soal risiko perubahan teknologi, risiko regulasi, risiko perekonomian, dan juga risiko perubahan perilaku pasar.
Tahun 2023 yang akan dijalani, tidak kurang menyimpan risiko seperti tahun sebelumnya, meski pandemi mulai terkendali. Salah satu yang paling kentara dan sering disebut-sebut adalah risiko resesi. Sudah sejak paro kedua 2022, banyak riset dan perkiraan dari lembaga ekonomi global yang sudah memperkirakan bahwa tahun depan dunia akan kembali terjerembab dalam resesi, dimulai dari Eropa. Jika demikian, maka ini menjadi resesi jilid kedua setelah pada 2021 lalu ekonomi dunia mengalaminya.
Di samping itu, pelaku di sektor jasa keuangan juga harus terus waspada akan kemungkinan munculnya inovasi baru di bidang layanan keuangan yang bisa menjadi game changer baru persaingan bisnis. Sudah seharusnya, para risk managers harus selalu ‘pasang mata dan telinga’ memperhatikan perubahan yang terjadi.
Mitigasi terhadap gelombang perkembangan teknologi itu tidak boleh berkurang mengingat inovasi di teknologi digital belum akan melambat. Selain itu, bankir perlu memikirkan strategi kolaborasi dengan perusahaan keuangan berbasis teknologi agar bank bisa mempersingkat waktu penyesuaian bisnisnya dengan perkembangan baru.
Risiko lainnya yang tidak boleh dianggap remeh adalah soal meningkatnya concern global mengenai praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan. Meningkatnya pamor istilah ESG yang merupakan kepanjangan dari Environment, Social, and Governance menjadi bukti betapa isu perubahan iklim, kesetaraan gender, ketimpangan sosial dan juga kepatuhan menjadi makin mendapat tempat.
Perkembangan lainnya dari praktik ramah lingkungan ini akan bermunculan kebijakan pendukung kendaraan listrik, infrastruktur yang sustainable dan lainnya. Jadi sudah sepantasnya setelah kalender baru terpasang atau duduk manis di meja, perbankan sudah memiliki kebijakan yang bisa meng-grab potensi dari kecenderungan itu sekaligus memitigasi risikonya. Siap-siap saja terhantam risiko reputasi jika pengambil keputusan di bank abai untuk menyesuikan bisnisnya dengan perhatian yang meningkat terhadap lingkungan ini.
Risiko Anyar
Selain risiko-risiko tersebut, ada beberapa ancaman lain yang perlu mendapat perhatian para pengambil keputusan. Menurut survei dari McKinsey, pada September 2022, ada satu risiko yang menjadi agenda utama dan perhatian para CEO terkemuka: risiko geopolitik. Selama tiga dekade terakhir, isitilah globalisasi berarti membuka spesialisasi dan skala, mengembangkan pasar, dan menciptakan perusahaan multinasional.
Tetapi praktik globalisasi saat ini berada di bawah tekanan. Tanda yang paling kentara adalah dengan munculnya berbagai gangguan yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina. Dunia tampaknya tertambat pada krisis, atau ancamannya. CEO perlu mengetahui apakah mereka masih bisa tetap menjadi pemain global dan, jika ya, bagaimana caranya.
Ke depan, tantangannya cenderung menjadi lebih akut. Menurut laporan tren Global 2040 Dewan Intelijen Nasional AS, dalam dua dekade mendatang, persaingan untuk pengaruh global kemungkinan akan mencapai tingkat tertinggi sejak Perang Dingin: “Tidak ada satu negara pun yang cenderung mendominasi semua wilayah atau domain, dan lebih luas berbagai aktor akan bersaing untuk memajukan ideologi, tujuan, dan kepentingan mereka.”
Kondisi tersebut akan mendorong persaingan dari beberapa negara berpengaruh untuk berebut perhatian di kawasan maupun di seluruh dunia. Risiko dari perkembangan itu adalah kemungkinan munculnya gesekan-gesekan di antara negara-negara tersebut. kecenderungan tersebut sudah mulai ketika China mulai menggoyang hegemoni AS di dunia. Saat ini muncul Rusia sebagai negara yang pengaruhnya makin meningkat.
Belakangan, tanpa dinyana, juga mulai mencuat risiko baru yaitu risiko fragmentasi perekonomian dunia. Hal tersebut mengacu pada ancaman terhadap perekonomian terkait perbedaan kondisi dan posisi dari ekonomi suatu negara setelah terdampak pandemi Covid-19. Sebagaimana bisa dilihat bahwa pandemi memberi dampak berbeda kepada masing-masing negara, yang tidak bisa dilepaskan dari kebijakan dan juga ketahanan perekonomiannya.
Bisa dilihat saat ini ada negara yang recovery-nya cepat dan lambat, ada negara yang makin maju dan juga ada yang kian menderita. Artinya ada fragmentasi. Ada yang bagus, ada yang parah, dan ada yang modest. Risiko fragmentasi ini tidak bisa diabaikan karena dalam dunia yang terkoneksi satu sama lain dengang baik, implikasinya akan besar. ***