JAKARTA, Stabilitas.id – Dalam rangka memberikan pemahaman tentang kebijakan perpanjangan restrukturisasi kredit/pembiayaan kepada industri dan publik, serta mendapatkan perspektif dari industri terkait kebijakan tersebut, LPPI menyelenggarakan Virtual Seminar ke-89 dengan mengangkat tema “Urgensi Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit” di Jakarta, Kamis (19/01/2023).
Seminar ini bertujuan memberikan pemahaman dan wawasan tentang latar belakang perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit, target, sektor dan industri yang mendapat prioritas perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit, serta perspektif dari industri terhadap perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit.
Virtual Seminar LPPI ke-89 yang didukung oleh Bank DKI ini dibuka oleh Heru Kristiyana Direktur Utama LPPI, dengan pembicara kunci oleh Anung Herlianto Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sementara sebagai panelis antara lain Fidri Arnaldy Direktur Utama Bank DKI, dan Dody AS Dalimunthe Wakil Ketua Bidang IT Asosiasi Asuransi Umum Indonesia.
BERITA TERKAIT
Anung Herlianto mengulas mengenai latar belakang perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit, juga target, sektor dan industri yang mendapat prioritas perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit. Selanjutnya Fidri Arnaldy memaparkan mengenai perspektif industri perbankan terhadap perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit, dalam hal ini terkait dengan respon dan benefit terhadap perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit. Sementara Dody AS Dalimunthe mengulas benefit dari perpanjangan restrukturisasi kredit terhadap perbaikan earned claim ratio dan menjaga kinerja asuransi kredit umum.
Seperti diketuahui, OJK memutuskan memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan yang akan berakhir pada Maret 2023. Hal itu dituangkan melalui Kebijakan Restrukturisasi Kredit dan Pembiayaan Secara Targeted dan Sektoral Atasi Dampak Lanjutan Pandemi COVID yang dirilis pada 28 November 2022.
Heru Kristiyana Direktur Utama LPPI dalam sambutannya mengaakan bahwa trend restrukturisasi kredit dari tahun 2020 sampai dengan 2022 mengalami penurunan. Berbagai sektor ekonomi telah mengalami pemulihan atau perbaikan. Mengutip data OJK, pada Agustus 2022 jumlah nilai kredit yang direstrukturisasi tercatat Rp 543 triliun dengan jumlah nasabah yang menjalankan program restrukturisasi sebanyak 2,75 juta nabasah.
Realisasinya tersebut lebih rendah dibandingkan pada masa awal pandemi COVID-19 di bulan Oktober 2020 dimana jumlah nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 850 triliun dengan jumlah nasabah yang menjalankan program restrukturisasi sebanyak 6,2 juta nasabah (terdiri atas 4,5 juta nasabah UMKM dan 1,6 juta nasabah Non UMKM).
“Trend restrukturisasi kredit terus menurun, pada September 2022, jumlah nilai kredit yang direstrukturisasi menurun lagi mencapai Rp 519,64 triliun dengan jumlah nasabah yang menjalankan program restrukturisasi sebanyak 2,63 juta nasabah,” sebutnya.
Menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) periode 2017-2022 ini, kendati trend restrukturisasi kredit yang terus menurun, kebijakan restrukturisasi kredit/pembiayaan dalam rangka pandemi COVID-19 masih berlaku sampai Maret 2023.
“Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan pelaku usaha masih dapat menggunakan kebijakan dimaksud sampai dengan Maret 2023 dan akan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kredit/pembiayan antara LJK dengan debitur,” paparnya.
Sementara itu, lanjut Heru, sebagaimana diatur dalam kebijakan OJK, untuk beberapa sektor dan wilayah yang masih struggling dari dampak berkepanjangan akibat pandemi, diberikan tambahan periode restrukturisasi kredit/pembiayaan selama 1 tahun sampai 31 Maret 2024.
Adapun segmen, sektor, industri dan daerah tertentu yang dimaksud yaitu segmen UMKM, sektor penyediaan akomodasi dan makan-minum, beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar, yaitu industri tekstil dan produk tekstil serta industri alas kaki, dan Provinsi Bali.
Untuk itu, melalui Virtual Seminar ke-89 kali ini, dengan topik Urgensi Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit, LPPI menghadirkan pembicara dari OJK dan pelaku industri yang akan memberikan pemaparan lebih dalam terkait perpanjangan kebijakan restrukturisas kredit.
“Karena tentunya hal ini ditunggu-tunggu oleh industri perbankan dan jasa keuangan serta debitur terkait. Semoga menambah wawasan, pengetahuan dan perspektif baru,” kata Heru.
Menurut Heru, Perpanjangan Kebijakan Restrukturisasi Kredit oleh OJK menjadi salah satu langkah mengantisipasi ketidakpastian ekonomi global yang tetap tinggi di tahun 2023. Heru menilai, belum sepenuhnya perekonomian dunia pulih dari scarring effect pasca COVID-19, muncul beberapa faktor lainnya yang memicu ketidakpastian ekonomi global.
“Ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang masih terus berlangsung mendisrupsi rantai pasok beberapa komoditi, seperti energi dan pangan sehingga menyebabkan volatilitas yang tinggi pada beberapa harga komoditas utamanya energi dan pangan global,” katanya.
Hal-hal tersebut menyebabkan inflasi dunia yang diprediksi mencapai 6,5% menurut International Monetary Fund (IMF). Laju inflasi ini mengharuskan beberapa negara di dunia meresponnya dengan kebijakan moneter yang lebih ketat. Antara lain menaikan suku bunga diambil sebagai langkah normalisasi kebijakan ekonomi global oleh the Fed, bank sentral Amerika Serikat.
“Kebijakan moneter yang lebih ketat ini berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi, terutama di negara maju, memperlambat perdagangan global sehingga memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia,” jelas Heru.
Sementara itu, perekonomian nasional menunjukkan tanda-tanda pemulihan seiring dengan telah dicabutnya pembatasan mobilisasi masyarakat. Namun terdapat risiko pada perekonomian domestik sebagai akibat dari kondisi perekonomian global.
“Pertumbuhan ekonomi nasional berisiko melambat sebagai dampak dari inflasi global, kenaikan suku bunga the Fed, dan resesi global. Sekalipun sebagian besar sektor dan industri Indonesia telah kembali tumbuh kuat, masih dijumpai beberapa pengecualian akibat dampak berkepanjangan pandemi COVID-19,” demikian Heru.***