Era dimana praktik bank secara tradisional tampaknya akan segera berakhir digantikan dengan praktik layanan bank digital. Meski demikian saat ini ada beberapa tantangan yang mesti dihadapi oleh para stakeholder industri keuangan
Oleh Tim Riset Stabilitas
Munculnya beberapa bank digital pada 2021 menjadi penanda bahwa praktik digitalisasi perbankan di Indonesia memasuki babak baru. Hal didasari pada pengertian bank digital itu sendiri yakni bank yang tidak memiliki kantor fisik dalam melakukan layanan perbankan. Namun demikian terdapat beberapa tantangan yang harus diselesaikan bersama yakni aturan bank digital, literasi digital dan keuangan serta kesenjangan digital. Dua poin terakhir menjadi konsen yang memerlukan kolaborasi antar stakeholder semisal Kementerian Telekomunikasi dan Informatika.
Hingga tulisan ini dibuat, peraturan OJK spesifik terkait dengan bank digital belum keluar. Namun demikian, pada 2018 sudah keluar POJK No. 12/POJK.03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum (POJK Digital Banking). Tujuan beleid ini bertujuan untuk mendukung akselerasi digital. Aturan POJK tersebut mengatur sebatas Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum (POJK Digital Banking), bukan bang digital atau neobank.
Lingkungan Digital
Lebih lanjut, peraturan terkait bank digital sangat diperlukan di tengah sudah munculnya bank-bank yang sepenuhnya melayani nasabah secara digital. Keberadaan POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) sangat membantu para pemangku kepentingan dalam melakukan bisnis bank digital.
Meskipun belum terbit secara resmi, terdapat empat poin yang diperkirakan akan masuk dalam beleid tentang neobank di Indonesia. Poin pertama, modal awal untuk mendirikan bank digital. Modal awal pendirian bank digital ditetapkan Rp10 triliun bagi perusahaan yang baru berdiri sebagai bank digital.
Kemudian poin kedua, investor yang hendak mendirikan bank digital harus melapor terlebih dahulu ke otoritas. Selain itu, pemilik juga harus menyampaikan modal dan rencana bisnis yang jelas kepada regulator. Calon pemilik bank digital harus memiliki kemampuan bisnis yang prudent, berkesinambungan, paham mitigasi, memiliki manajemen risiko, antisipasi risiko digital, perlindungan data nasabah.
Poin ketiga, bagi bank konvensional yang dikonversi menjadi bank digital (standalone), modal awal ditetapkan sebesar Rp3 triliun. Adapun bank yang menjadi bagian dari kelompok usaha bank dan ingin menjadi bank digital harus memiliki modal awal Rp1 triliun. Poin keempat, bank digital harus memiliki minimal satu kantor pusat di Indonesia. Hal ini diperlukan agar penyelesaian permasalahan-permasalahan yang membutuhkan tatap muka bisa terfasilitasi seperti kasus hukum.
Meskipun aturan baku semisal POJK terkait bank digital belum diterbitkan oleh otoritas, namun diterbitkannya Roadmap Pengembangan Perbankan Indonesia 2020–2025 (RP2I) setidaknya sudah bisa menjawab ke arah mana pengembangan bank digital di Indonesia. Secara umum, RP2I terdiri dari empat arah pengembangan yaitu: 1) Penguatan struktur dan keunggulan kompetitif; 2) Akselerasi transformasi digital; 3) Penguatan peran perbankan dalam perekonomian nasional; dan 4) Penguatan pengaturan, pengawasan dan perizinan.
Pada poin utama kedua RP2I tersebut disebutkan adanya roadmap untuk mendorong akselerasi transformasi digital. Lebih lanjut, transformasi digital tersebut dilakukan dengan cara memperkuat tata kelola dan manajemen risiko teknologi informasi; mengadopsi teknologi informasi game changers (seperti Application Programming Interface (API), Cloud, Blockchain, dan Artificial Intelligence (AI)). Selain itu juga melakukan kerjasama terkait teknologi informasi baik antara satu bank dengan bank lainnya, bank dengan lembaga jasa keuangan lainnya. Termasuk penyelenggara inovasi keuangan digital, maupun bank dengan berbagai perusahaan digital terkait.
Literasi Digital
Selain aturan main yang jelas, literasi digital dan keuangan menjadi konsen yang harus diperhatikan secara bersama-sama, bukan hanya oleh otoritas dan pihak bank digital tapi juga oleh para pemangku kepentingan lain, terutama pemerintah. Adanya literasi digital dan keuangan yang baik akan mewujudkan ekosistem perbankan digital yang baik pula. Salah satu output yang bisa dirasakan dari adanya literasi digital yang baik adalah adalah minimnya kasus kejahatan keuangan yang banyak merugikan konsumen.
Literasi digital bukan hanya mencakup aspek tekstual saja, tapi juga aspek kontekstualnya. Aspek tekstual bisa diartikan sebagai akses masyarakat terhadap layanan digital atau device dan infrastruktur yang bisa menjadi instrumen mengakses layanan. Sedangkan aspek kontekstual meliputi setidaknya pemahaman masyarakat terhadap konten, risiko dan aspek lain yang terkait dengan layanan perbankan digital.
Di Indonesia, kedua aspek tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Terkait dengan akses layanan digital, belum semua daerah memiliki infrastruktur pendukung layanan digital semisal keberadaan sinyal internet. Berdasarkan data Podes (Potensi Desa) 2018, baru ada 86 kabupaten/kota (dari 514 kabupaten/kota di Indonesia) yang 50 persen lebih desanya/kelurahannya sudah memiliki sinyal kuat. Sinyal kuat disini berarti sinyal tersebut bisa digunakan untuk melakukan setidaknya transaksi m-banking atau internet banking
Selain sinyal, tantangan berikutnya adalah akses atau kepemilikan masyarakat terhadap device penunjang kegiatan transaksi digital. Berdasarkan data Susenas 2018, baru ada 389 kabupaten yang 50 persen lebih warganya menggunakan handhone atau smartphone. Sementara itu baru ada 327 kabupaten yang 50 persen lebih warganya telah memiliki HP. Selanjutnya baru terdapat 8 kabupaten yang 50 persen lebih warganya mengakses internet dan 2 kabupaten yang 50 persen lebih warganya telah memiliki rekening bank.
Seperti diketahui, belum semua wilayah di Indonesia, terutama daerah perdesaan memiliki akses ke teknologi komunikasi. Selain itu juga tidak semua warga pedesaan memiliki akses tabungan atau kepemilikan rekening tabungan. Gambar di bawah ini menginformasikan hal tersebut. Secara umum, tidak ada kecenderungan daerah perdesaan per kabupaten dengan sinyal kuat memiliki persentase penduduk dengan akses rekening tabungan dan kepemilikan HP.
Gambar sisi kiri menginfokan dua variabel persentase desa dalam sebuah kabupaten dengan sinyal kuat dan persentase penduduk perdesaan usia 5 tahun ke atas dengan kepemilikan rekening tabungan. Ada kecenderungan kabupaten dengan jumlah penduduk yang memiliki rekening semakin besar berada di kabupaten yang persentase desa sinyal kuatnya kecil. Hal yang sama juga terjadi di kabupaten dengan persentase penduduk dengan akses HP semakin besar, berada di kabupaten dengan persentase desa sinyal kuat yang semakin sedikit (gambar kanan).
Gambar 2. Persentase Perdesaan Dengan Sinyal Kuat, Persentase Penduduk Di Atas 5 Tahun Yang Memiliki Akses HP dan Kepemilikan Rekening Tabungan di Indonesia (Level Kabupaten) Tahun 2018.Tantangan berikutnya terkait literasi digital adalah pemahaman kontekstual mengenairisiko dan manfaatnya. Terkait dengan risiko, masih banyak masyarakat yang masih terjerat dengan layanan keuangan digital semisal pinjaman online (pinjol) ilegal. Hasil pengawasan OJK pada Februari 2021 menemukan ada 51 perusahaan fintech yang menjalankan bisnis pinjol ilegal. Kemudian, sejak tahun 2018 hingga Februari 2021, Satgas Waspada Investasi sudah menutup sebanyak 3.107 pinjol ilegal.
Munculnya pinjol ilegal menunjukkan adanya masyarakat yang bisa disasar. Hal ini menunjukkan masih perlunya literasi digital yang tidak hanya tekstual tapi kontekstual dalam hal layanan keuangan digital. Hal ini mengingat pinjol ilegal beroperasi tanpa izin OJK, tidak memenuhi aturan operasional bisnis yang berlaku, serta beroperasi dengan menawarkan pinjaman atau gadai secara cepat dan mudah. Namun, di balik persyaratan yang mudah, ada beban bunga besar, serta ketentuan yang menjerat nasabah.
Tantangan berikutnya adalah kesenjangan digital. Berdasarkan gambar 2 di atas, bisa diketahui masih adanya kesenjangan digital dalam hal infrastruktur digital. Ada kecenderungan hubungan slope negative antara kabupaten dengan jumlah desa bersinyal kuat dengan porsi penduduk yang memiliki HP dan rekening.Lebih lanjut. Pada saat yang bersamaan, terdapat kecenderungan hubungan positif antara daerah dengan jumlah penduduk yang memiliki akses terhadap HP dengan daerah dengan penduduk yang memiliki akses terhadap kepemilikan rekening tabungan.
Kebijakan
Dalam rangka mendorong pertumbuhan bank digital, maka satu hal yang masih perlu didorong adalah perwujudan ekosistem digital. Pertama yang perlu dilakukan adalah dengan segera mengeluarkan beleid mengenai bank digital. Tujuannya jelas, agar para pelaku memiliki guidance yang jelas dan terarah dalam menjalankan praktik bank digital. Selain itu, keberadaan aturan mengenai bank digital akan menjadikan konsumen merasa terlindungi dalam melakukan transaksi dengan layanan bank digital.
Langkah berikutnya adalah memperkuat infrastruktur digital. Peran Kementerian Komunikasi dan Informatika dan penyedia layanan internet dalam hal ini sangat vital. Kolaborasi keduanya plus bank digital akan membuahkan pembangunan infrastruktur digital yang tepat sasaran dan tepat wilayah agar ekspansi bank digital ke daerah bisa lebih tepat sasaran, efektif dan efisien. Bank digital dipastikan akan mendorong efisiensi dunia perbankan nasional.
Langkah berikutnya yang tidak kalah penting adalah peningkatan kesadaran literasi keuangan dan digital bagi masyarakat. Literasi keuangan dimaksudkan agar masyarakat tidak lagi masuk perangkap ke dalam layanan perbankan/keuangan digital abal-abal. Selain itu, kesadaran literasi digital juga diperlukan agar masyarakat mulai terbiasa dengan menggunakan layanan keuangan atau perbankan digital.***