Gejolak politik di Eropa Timur tampaknya akan segera menjadi isu yang membuat harga-harga komoditas kembali fluktuatif. Bagaimana pengaruhnya bagi ekonomi Indonesia?
Oleh Tim Riset Stabilitas
Dunia yang sedang berperang melawan Covid-19, dikejutkan dengan ketegangan Rusia-Ukraina yang semakin panas di awal tahun 2022. Lebih mengejutkannya lagi, Presiden Joe Biden telah menyetujui untuk menempatkan 3.000 tentara negeri Paman Sam tersebut untuk ditempatkan di Eropa Timur. Hal ini tentunya berpotensi mengganggu pemulihan ekonomi global akibat kenaikan harga komoditas akibat perang di tengah penurunan harga komoditas, terutama pangan yang sudah terjadi di penghujung 2021.
Lebih lanjut, bagi Indonesia kenaikan harga komoditas memiliki dua sisi mata pisau. Satu sisi menguntungkan sebagai penambah nilai ekspor dan devisa sekaligus semisal dari hasil ekspor CPO dan produk turunannya serta ekspor batu bara dan mineral lainnya. Namun di sisi lain menimbulkan mudharat yakni kenaikan harga komoditas yang masih diimpor seperti minyak bumi serta komoditas pangan semisal daging sapi, susu, kedelai dan gandum.
Perkembangan Harga
Data dari Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan bahwa FAO Food Price Index (FFPI) pada Desember 2021 berada pada level 133, turun 1,2 poin jika dibandingkan dengan Desember 2021. Lebih lanjut, jika dibandingkan dengan Desember 2020, terjadi kenaikan 23,30 poin dari angka 109,70. Meski masih tinggi, namun capaian indeks Desember 2021 berada pada tren penurunan.
Lebih lanjut, di antara sub-indeks, memasuki Desember 2021, dairy product (produk susu) mengalami kenaikan indeks dari 125,2 menjadi 127,5. Sedangkan produk lain seperti daging, sereal, minyak dan gula mengalami penurunan indeks. Indeks harga daging turun dari 110,8 menjadi 110,7. Kemudian indeks harga sereal turun dari 140,7 menjadi 139,8, indeks harga minyak turun dari 183,6 menjadi 177,6 dan indeks harga gula turun dari 119,6 menjadi 115,8.
Gambar 1. Indeks Harga Pangan FAO
Lebih lanjut, di antara sub-indeks, memasuki Desember 2021, dairy product (produk susu) mengalami kenaikan indeks dari 125,2 menjadi 127,5. Sedangkan produk lain seperti daging, sereal, minyak dan gula mengalami penurunan indeks. Indeks harga daging turun dari 110,8 menjadi 110,7. Kemudian indeks harga sereal turun dari 140,7 menjadi 139,8, indeks harga minyak turun dari 183,6 menjadi 177,6 dan indeks harga gula turun dari 119,6 menjadi 115,8.
Harga CPO hingga Januari 2022 mencapai 1.375 dollar A$ per metrik ton. Angka ini merupakan angka tertinggi (bulanan) setidaknya sejak Januari 2015. Meski demikian, kenaikan harga CPO ini diperkirakan akan kembali melandai. Setidaknya ini terlihat dari harga future contract CPO untuk pasar India di tahun 2022 hingga Oktober 2024. Harga CPO diperkirakan akan berada pada level 1000 dollar AS/MT pada tahun Agustus 2023. Pasca Agustus 2023, harganya terus turun hingga menyentuh angka 987 dollar AS/MT.
Turunnya harga CPO ini setidaknya mengurang beban pemerintah dalam rangka penyediaan minyak goreng murah yang saat ini sedang bergejolak. Seperti diketahui, Januari 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi minyak goreng untuk menurunkan harga hingga menjadi maksimal Rp14 ribu per liter. Namun pada kenyataannya, harga minyak goreng baik curah maupun kemasan sepanjang Januari 2022 setelah adanya kebijakan subsidi masih berada di atas angka Rp17 ribu per liter.
Lebih lanjut, dengan harga di atas 1000 dollar AS/MT, pemerintah masih bisa mendapatkan dana pungutan ekspor produk turunan kelapa sawit pada angka 175 dollar AS per MT (tarif tertinggi pungutan ekspor produk kelapa sawit, sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Gambar 2. Pergerakan Harga CPO dan Future Contract Price (India Market)
Komoditas lain di mana ekonomi Indonesia bergantung padanya adalah minyak. Fakta bahwa Indonesia masih mengimpor sekitar 800 ribu barel per hari harus menjadi catatan penting dalam gonjang-ganjing harga komoditas dunia. Selama pandemi,, harga minyak mentah dunia adem-ayem sehingga tidak mengganggu kinerja fiskal nasional yang harus menanggung subsidi BBM. Sepanjang tahun 2021, rerata harga minyak dunia jenis Brent berada pada harga 71 dollar AS per barel yang merupakan angka tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Pada minyak jenis WTI maupun Brent, harganya mengalami tren kenaikan setelah sempat turun menjelang akhir tahun 2021. Namun memasuki akhir tahun 2021 dan masuk Januari 2022, trennya terus meningkat yang salah satunya disebabkan oleh ketegangan Rusia-Ukraina. Bahkan, harga minyak Brent sempat mencapai angka 90 dollar AS pada 2 Februari 2022. Lebih lanjut, diproyeksikan hingga Januari 2023, harga minyak WTI dan Brent masih di atas angka 75 dollar AS /barel. Angka proyeksi ini masih bisa lebih tinggi jika Rusia menginvasi Ukraina. Angka ini jauh di atas asumsi harga minyak dalam APBN 2022 sebesar 60 dollar AS/barel. Kenaikan harga ini dipastikan akan meneka APBN dalam hal subsidi BBM. Bisa dipastikan terdapat 2 hal, pertama defisit fiskal untuk menambal subsidi BBM atau menaikkan harga BBM domestik.
Gambar 3. Perkembangan Harga WTI dan Proyeksi Hingga Januari 2023
Komoditas berikutnya adalah batu bara. Semakin tinggi harga batu bara, maka Indonesia akan diuntungkan karena menambah pemasukan APBN. Pada tahun 2021, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batu bara mencapai Rp75,16 triliun atau 192,2 persen dari target yang ditetapkan pada awal tahun. Terlebih pada Oktober 2021, harga batu bara di pasar internasional sempat menyentuh 280 dollar AS per ton. Lebih lanjut, pada 2022 target PNBP Minerba diturunkan menjadi Rp42,36 triliun seiring dengan proyeksi penurunan harga batu bara hingga Januari 2023 yang masih berada pada kisaran angka 175 dollar AS /MT.
Gambar 3. Perkembangan Harga dan Proyeksi Harga Batubara (US$/MT)
Rusia-Ukraina
Seberapa besar kemungkinan Rusia akan menyerang Ukraina dan bagaimana dampaknya? The Economist pada tanggal 31 Janauri 2022 menuliskan liputannya berjudul
Russia’s roulette : A war in Ukraine could have global consequences. Dalam liputan tersebut disebutkan bahwa tensi antara Ukraina – Rusia semakin tinggi dan tidak menunjukkan tanda-tandan meredam. Hal ini didasari pada pernyataan Joe Biden kepada Volodymyr Zelensky, Presiden Ukraina bahwa invasi Rusia ke Ukraina adalah “distinct possibility” yang artinya kurang lebih berarti kemungkinan yang mendekat kenyataan.
Pernyataan Joe Biden ini dibarengi persetujuan Biden untuk mengirim 3.000 personel tentara Amerika Serikat di Eropa Timur. Tindakan ini mendorong kenaikan harga minyak dunia yang terkerek naik hingga tembus ke angka US$90 per barel. Lebih lanjut, analsia dari RBC Capital Market menyatakan apabila tank Rusia melintasi border Ukraina, maka pasar akan terkena shok dengan dampak terbesar adalah pasar atau pasokan gas Eropa dari Rusia akan terganggu. Selain pasar Eropa, pasar dunia juga akan mengalami shok mengingat Rusia memiliki peran tidak kecil dalam ekspor beberapa komoditas utama.
Rusia menguasai pasar gas dunia sekitar 19 persen, kemudian sekitar 18 persen pasar gandum, minyak mentah sekitar 13 persen, aluminium 9 persen dan tembaga 8 persen. Di sisi lain yang lebih mengesankan adalah sumbangan ekspor paladium Rusia yang menguasai 43 persen pasar. Seperti diketahui, paladium adalah komponen penting dalam converter katalis yang merupakan alat pengontrol emisi gas dan menjadi salah satu komponen penting pada kendaraan. Tensi yang berubah menjadi perang akan merubah landscape ekspor Rusia yang bisa berujung pada kenaikan harga komoditas.
Gambar 4. Share Ekspor Komoditas Rusia Terhadap Pasar Global Tahun 2020 (%)
Analisa Dampak
Kenaikan harga komoditas tidak hanya berada pada barang-barang yang menjadi andalan ekspor Rusia, tapi harga komoditas secara global termasuk pangan, minyak dan gas. Dampak yang bisa dirasakan oleh Indonesia adalah kenaikan harga komoditas yang memiliki dua sisi mata pisau, di sisi lain menguntungkan di sisi lain membuat tekanan ekonomi. Kenaikan harga minerba akan memberikan keuntungan bagi Indonesia berupa kenaikan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Namun tidak demikian apabila yang mengalami kenaikan adalah komoditas perkebunan dan pangan. Kenaikan CPO di sisi lain akan menaikkan angka ekspor nasional dan juga menjadi penyumbang bagi pungutan dana sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Namun di sisi lain akan mendorong kenaikan harga minyak goreng yang sudah terjadi sejak akhir tahun 2021.
Komoditas pangan lain yang apabila naik dan memiliki dampak kurang baik bagi perekonomian nasional adalah kenaikan harga kedelai, daging sapi, bawang putih, gandum dan gula. Kenaikan harga kedelai akan memengaruhi harga produksi tempe dan tahu dalam negeri. Kemudian kenaikan daging, susu, gandum dan gula akan mendorong kenaikan harga komoditas itu sendiri dan mendorong kenaikan harga produk industri makanan-minuman yang mengandalkan ketiga komoditas tersebut sebagai bahan baku.
Melihat kondisi tersebut, hal yang paling utama dan harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan memitigasi dampak dampak kenaikan harga komoditas. Pada komoditas daging. susu, kedelai, gandum dan bawang putih, pemerintah mendorong dan memfasilitasi para importir untuk melakukan kontrak pembelian jangka panjang dalam rangka mengamankan pasokan domestik. Hal ini penting untuk menghindari kenaikan harga yang berlebih dan sebagai ikhtiar untuk menghindarkan Indonesia dari inflasi yang tinggi di tahun 2022.
Tabel 1. Dampak Kenaikan Harga Komoditas Bagi Indonesia