Oleh : Chandra Dwipayana
Doktor Ilmu Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Indonesian Strategic Management Society (ISMS) – Finance and Banking Council Member
LEBIH kurang dalam lima tahun terakhir, inisiatif transformasi digital telah merombak tatanan industri yang ada, terlebih setelah pandemi Covid-19 melanda. Kebiasaan lama dengan sekejap tergantikan dengan kebiasaan baru yang serba online dan digital, memaksa pergeseran rasionalitas pasar. Dampaknya, banyak perusahaan yang berlomba-lomba mencanangkan transformasi digital, bahkan memicu maraknya aksi korporasi untuk memupuk permodalan, termasuk pula merger dan akuisisi dengan tema tersebut.
Semua itu, harus diakui sebagai buah dari kekuatan disrupsi fintech yang telah mendobrak paradigma tentang bagaimana bisnis perbankan harus dilakukan dan menciptakan lanskap kompetitif baru di sektor itu. Kondisi itu akhirnya memaksa sektor perbankan sebagai petahana melakukan manuver strategis karena dihadapkan “dilema” apakah akan berubah atau mempertahankan status quo. Apa yang dilakukan bank kemudian, pada gilirannya, menggeser logika industri dari dominasi lama ke dominasi baru.
Bertahan atau Menyerang?
Ketika dihadapkan dengan dilema tersebut, bank sebagai petahana seakan dipaksa untuk memilih antara meningkatkan ketahanan lembaga dalam mengantisipasi ketidakpastian atau meningkatkan kelincahan untuk menangkap peluang. Faktanya, dalam dinamika berkompetisi, baik kemampuan bertahan maupun menyerang, keduanya memiliki peranan yang penting. Yang menjadi faktor pembeda adalah arah, intensitas dan waktu yang tepat dalam mengeksekusi strategi pada lanskap kompetitif baru sesuai dengan ketersediaan sumberdaya. Dalam hal ini, kemampuan adaptasi dinamis sangat penting untuk menghadapi perubahan lingkungan. Jika tidak, perubahan yang dilakukan justru akan menimbulkan kegagalan stratejik akibat ketidakjelasan dalam meracik sumberdaya.
Merujuk pada Ashby (1956), lingkungan internal organisasi harus mampu mengimbangi lingkungan eksternalnya. Untuk menanggapi perubahan, organisasi harus “melampaui logika dominan lama yang berlaku” agar selaras dengan logika industri yang ada (Bettis et al., 2011; Thorén dan Vendel, 2018). Tepatnya, organisasi membutuhkan logika dominan dinamis yang memiliki kemampuan untuk memindai dan mengidentifikasi perubahan lingkungan dengan rentang yang lebih luas (Bettis et al., 2011).
Perlu kita sadari bahwa saat ini perbankan perlahan kehilangan karpet merahnya seiring dengan peningkatan efisiensi pasar sebagai dampak pesatnya kemajuan teknologi. Teknologi yang sebelumnya ditempatkan sebagai komplementer, telah menjelma menjadi subsitusi dari produk dan layanan perbankan itu sendiri. Lantas, bagaimana bank harus menyikapinya?
Setidaknya ada tiga hal. Pertama, berdasarkan perspektif “upper echelon,” organisasi merupakan cerminan dari manajemen puncak berdasarkan strategi yang dipilih dan kinerja yang dicapai (Hambrick dan Mason, 1984; Schriber dan Löwstedt, 2018). Jadi, proses pemecahan masalah kompleks oleh manajemen puncak dapat membantu terbentuknya logika dominan dinamis untuk memecahkan masalah organisasi. Yang menjadi perhatian, hal ini merupakan keterampilan khusus yang tidak selalu dimiliki oleh bankir saat ini.
Kedua, kemampuan memecahkan masalah kompleks perlu juga didukung oleh kapasitas adaptif organisasi. Elemen ini sangat penting untuk dapat menciptakan mekanisme pertahanan pada keunggulan kompetitif yang telah dimiliki seraya memanfaatkan peluang dari perubahan lingkungan yang dihadapi.
Ketiga, dari sisi lain, langkah-langkah disrupsi fintech tentunya tidak menghilangkan logika industri perbankan yang sudah ada. Logika industri yang berlaku hanya mengalami pergeseran secara bertahap seiring hambatan dari perilaku kelembagaan yang ada dalam menanggapi perubahan struktur industri yang lebih kompetitif. Oleh karena itu, bank dapat menyeimbangkan logika industri lama dan baru melalui rangsangan sebagaimana disebutkan di atas.
Contohnya, digitalisasi bisnis oleh fintech sebagai penantang telah menambahkan logika industri baru tentang bagaimana bisnis bank dapat dijalankan. Tidak hanya dengan cara yang lebih sederhana, namun juga melalui pengelolaan risiko yang lebih terintegrasi dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Hal ini kemudian menggugah perbankan untuk melakukan inisiatif transformasi digital dengan mengadopsi di antaranya advanced analytical tools, artificial intelligence, dan machine learning untuk menciptakan bisnis yang lebih efisien dan tumbuh berkesinambungan.
Di sisi lain, fintech memiliki keterbatasan ruang gerak yang tidak hanya disebabkan oleh regulasi, namun juga tingkat praktik bisnis yang masih relatif baru. Sehingga, belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh masyarakat. Dengan demikian, ini adalah kesempatan bagi perbankan untuk dapat memanfaatkan momentum yang ada. Karena, inovasi yang diciptakan oleh fintech dan supper–apps telah mengubah paradigma bisnis perbankan, sementara penyesuaian regulasi hanyalah masalah waktu.
Terakhir yang perlu menjadi perhatian, pembelajaran organisasi tidak sama dengan tiru-meniru. Jadi, bagi para bankir, this is your wake-up call! Something must strategically be done beyond your prevailing action since mimicking without understanding can be nothing! Transformasi digital bukan sekedar tema pemasaran, namun inisiatif strategis untuk meningkatkan keunggulan daya saing.***