Oleh Didik Kristanto*
Aliran dana asing akibat kebijakan moneter longgar di negara-negara maju khususnya AS membuat emerging market seperti Indonesia dan juga pasar komoditas kebanjiran likuiditas. Mata uang domestik menguat begitupun harga komoditas seperti minyak dan emas.
BERITA TERKAIT
Limpahan likuiditas tadi semestinya membuat suku bunga di Tanah Air turun drastis hingga 3-4 persen. Pertumbuhan ekonomi pun seharusnya melaju jauh lebih kencang lagi di tengah sektor riil yang kini dalam siklus ekspansi. Namun itu tak terjadi.
Cadangan devisa, yang merupakan foreign asset bagi Bank Indonesia, memang melonjak menembus 100 miliar dollar AS akibat intervensi rupiah, selain dari surplus ekspor-impor. Sayang, rupiah yang digelontorkankan tadi disterilisasi kembali lewat operasi pasar terbuka yang dampaknya mengurangi aktiva domestik bersih di sisi aset neraca bank sentral kita. Ketakutan akan bubble, overheating ekonomi dan inflasi menggelayuti benak pemegang kebijakan.
Hasil penyerapan likuiditas tadi terlihat jelas. Suku bunga dalam negeri tetap resisten, atau setidaknya lambat, turun. Kita pun seakan terjebak dalam kutukan “pertumbuhan ekonomi tak bisa lebih dari 7 persen.” Besarnya dana yang diserap dalam segala jenis instrumen moneter juga menyebabkan BI harus rela defisitnya pada 2010 melonjak 27 kali lipat menjadi Rp27,98 triliun seperti yang dirilis 13 Mei lalu. Padahal penerimaan utama berupa pengelola moneter (investasi devisa valas) anjlok 84 persen menjadi Rp4,6 triliun di tengah rendahnya imbal hasil global.
Pola kebijakan semacam itu sejatinya merupakan konsekuensi logis dari “ideologi” kurs mengambang terkendali yang kita anut. Dalam kasus terjadi capital outflow yang deras, kebijakan bank sentral adalah sebaliknya.
Dengan nilai tukar yang “setengah-setengah” macam managed-floating ini, BI akan mengguyur rupiah dengan mencetak uang baru, memborong surat berharga, atau menurunkan GWM (seperti yang dilakukan di akhir 2008), di saat aktivanya yang berasal dari komponen asing yakni cadangan devisa justru sedang menyusut. Tragisnya, semakin besar rupiah yang dicetak untuk menutupi dana asing yang lari, kian besar pula krisis neraca pembayaran yang terjadi. Nilai rupiah pun akan kian merosot dan ujung-ujungnya didevaluasi.
Dan limpahan dana asing yang ada saat ini pun memiliki karakteristik yang mengkhawatirkan kita: mudah masuk dan mudah pula keluar. Di saat rupiah dipandang sudah overvalue, dana asing itu rentan untuk keluar apalagi jika perekonomian negara asalnya pulih. Dan di tengah capital outflow, berapapun devisa yang digelontorkan biasanya tak akan mampu meredam kejatuhan nilai tukar rupiah.
Menimbang Kurs Tetap
Fluktuasi kurs dan dinamika hot money memang melekat dalam sistem managed floating rate. Ingat, tingginya imbal hasil di emerging market khususnya Indonesia tak hanya soal tingginya spread suku bunga (interest differential) domestik dengan negara maju, melainkan juga fluktuasi kurs rupiah. Dan volatilitas rupiah telah menjadi sebab sekaligus akibat masuknya hot money yang bergentayangan mencari rente sambil seakan-seakan menginjak-injak kedaulatan mata uang nasional.
Lingkaran setan capital inflow-volatilitas rupiah ini akan terus terjadi sejauh tak ada perubahan mendasar dalam rezim nilai tukar kita. Mungkin otoritas moneter masih punya energi untuk dihamburkan dengan menanggung beban dalam “permainan” ini. Tetapi sampai kapan?
Rezim nilai tukar mengambang terkendali managed sesungguhnya tidak cocok bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini bahkan diakui oleh Bapak Moneteris, Milton Friedman. Dalam beberapa literatur dan analisis, Friedman justru lebih mendukung sistem nilai tukar tetap, bahkan dibanding nilai tukar mengambang penuh (fully/clean float). Pegged exchange rate dikatakannya sebagai yang terburuk di antara ketiganya.
Dalam tiga sistem nilai tukar menurut Friedman, managed floating rate justru dicap sebagai dirty float dan digolongkan ke dalam jenis pegged exchange rate. Dengan merujuk trikotomi Friedman pula, nilai tukar rupiah selama Orde Baru hingga kini tergolong dalam kelompok ini.
Fixed exchange rate sejati adalah yang memiliki konvertibilitas penuh atas mata uangnya. Ada paritas resmi rupiah terhadap anchor/reserve curreny tertentu yang dapat berupa komoditas logam mulia (emas-perak) atau mata uang asing yang kuat (hard currency). Artinya pula, setiap uang rupiah yang beredar wajib didukung oleh oleh reserve currency/commodity berdasarkan paritas tadi. Otoritas negara tidak bisa mencetak rupiah tanpa dukungan reserve seperti selama ini terjadi di negeri ini.
Dengan demikian, perubahan uang beredar paralel dengan perubahan neraca pembayaran. Money supply, dalam hal ini base money, bertambah ( atau berkurang) secara proporsional dengan kenaikan (atau penurunan) surplus neraca pembayaran, sesuai paritas nilai tukar dalam suatu mekanisme pasar yang alami dan adil (fair). Ini dijelaskan dengan baik dalam konsep price-specie-flow mechanism yang dikenal dalam ekonomi internasional.
Jika uang beredar harus dikurangi lantaran terjadi penurunan reserve currency sedangkan permintaan uang dari sektor riil meningkat karena ekspansi, maka yang timbul adalah deflasi di tengah pertumbuhan ekonomi. Hal ini berbeda dengan sistem saat ini di mana potensi laju pertumbuhan yang tinggi senantiasa terbentur oleh ancaman inflasi yang mengiringinya.
Dalam sistem kurs tetap yang murni hampir tidak diperlukan kebijakan moneter aktif seperti menaikkan suku bunga, mengubah rasio GWM, dll. yang memang sering kali sesungguhnya menimbulkan distorsi bagi mekanisme pasar yang alami. Maka, beberapa ekonom menyebut lembaga otoritasnya bukan lagi bank sentral melainkan sebuah dewan mata uang (currency board). Dan bukti empiris menunjukkan negara-negara dengan sistem dewan mata uang dan kurs tetapnya menikmati pertumbuhan ekonomi rata-rata yang lebih tinggi dari negara dengan bank sentral yang menganut rezim kurs lain. Sementara, laju inflasinya justru lebih rendah (Lihat Grafik).
Mengembalikan Martabat
Sesungguhnya, kita dapat mengkapitalisasi situasi Indonesia saat ini menjadi kondisi untuk mengembalikan martabat rupiah yang selama ini terinjak-injak. Menguatnya cadangan devisa nasional yang per Mei 2011 mencapai 118 miliar dollar AS, tertinggi sepanjang sejarah republik ini, harusnya dimanfaatkan sebagai momentum bagi pembentukan nilai tukar yang tetap.
Pemerintah semestinya berani menetapkan nilai 1 dollar AS sama dengan Rp5.000 atau Rp6.000. Artinya, siapa yang ingin membeli dollar kepada negara (bank sentral) maka setiap Rp5.000 akan mendapat 1 dollar AS. Para pemilik valas yang sudah menikmati untung dari lemahnya rupiah sudah selayaknya mendukung repatriasi devisa, kecuali mereka memang sesungguhnya hanyalah oportunis yang tidak cinta pada negaranya.
Idealnya, konvertibilitas melalui pencadangan menggunakan anchor currency (misalnya dollar AS) dilakukan terhadap seluruh kewajiban moneter di neraca BI. Tetapi, mengingat kewajiban moneter kini sudah terlampau besar (total sekitar RP1.000 triliun) maka kita bisa memilih untuk mencadangkan hanya uang primer (Lihat Tabel).
Dengan jumlah base money/M0 Rp525,86 triliun (per Mei 2011) dan devisa 118 miliar dollar AS, negara bisa mencadangkan penuh dengan paritas 1 dollar AS untuk setiap Rp5.000.
Tetapi yang lebih sempurna dari itu adalah penggunaan logam mulia sebagai backup penuh bagi uang beredar. Jika inipun gagal dipenuhi maka reserve bisa dikombinasikan antara hard currency dan emas, di mana BI per Desember 2010 masih memiliki senilai Rp29,76 triliun.
Kalaupun jumlah rupiah yang beredar ternyata masih terlalu besar dibandingkan reserve maka bisa dilakukan penghapusan uang yang beredar dengan mengonversinya menjadi kewajiban (obligasi) negara (seperti yang saya tulis dalam kolom di majalah ini pada edisi Mei 2011). Atau dengan cara menerbitkan rupiah baru yang di-backup penuh dan beredar bersamaan dengan rupiah lama yang saat ini tanpa reserve.
Dengan sistem ini, serangan spekulan yang mengambil keuntungan dari gejolak nilai tukar akan digagalkan oleh mekanisme alami aliran finansial. Dunia bisnis tak perlu lagi menghadapi risiko nilai tukar. Dan, untuk kondisi saat ini, kurs yang lebih kuat membantu meringankan dampak inflasioner dari kenaikan harga komoditas.
Jika konsep ini dinilai tak masuk akal, pertanyaannya adalah apakah praktik kebijakan yang berjalan saat ini berhasil menyelamatkan nilai rupiah? Sejarah menujukkan Indonesia gagal menjaga paritas daya beli dan kehormatan rupiah. Mau tak mau harus diakui, rupiah menjadi salah satu mata uang berkinerja terburuk di Asia, bahkan dunia.
Usai pengakuan kedaulatan oleh Kerajaan Belanda, nilai rupiah pada 1949 sama dengan gulden dimana Rp1 setara 3,8 dollar AS. Setelah diredenominasi pada 1965 (Rp1.000 menjadi Rp1), 1dollar AS = Rp4 baru (Rp4.000 rupiah lama). Sampai 1997, 1 dollar AS = Rp2.700 (Rp2,7 juta rupiah lama). Saat krisis 1997/1998, 1 dollar AS= Rp16.000 (Rp16 juta rupiah lama) dan resesi 2008 1 dollar AS= Rp12.000. Kini, 1 dollar AS= Rp8.500 (Rp9 juta rupiah lama). Artinya, sejak merdeka, rupiah sudah terdepresiasi sebesar 2,2 juta kali lipat!
Mengembalikan martabat rupiah sebagai mata uang yang kuat dan stabil lewat sistem kurs tetap dengan cadangan penuh jauh lebih mendesak ketimbang sekedar penguatan artifisial macam redenominasi.SP
*) Pemerhati ekonomi makro dan analis keuangan PaninBank, peneliti tamu di Indef. Isi artikel merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.