JAKARTA, Stabilitas.id – Peralihan menuju energi terbarukan (EBT) merupakan solusi penting untuk mengatasi perubahan iklim. Dalam mewujudkannya, dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat, untuk mencapai Indonesia Zero Emisi di 2060.
Hal tersebut menjadi topik perbincangan dalam Webminar Power Brain Communication 2024, yang diselenggarakan oleh International Association of Business Communicators Indonesia (IABC Indonesia), dengan tema “Net Zero Emission’s Targets and Updates” yang diselenggarakan secara daring, pada Selasa (16/7/24).
Turut hadir menjadi pembicara dalam seminar tersebut, Head of Sustainability & Corporate Affairs PT Unilever Indonesia, Tbk. Nurdiana Darus, Sales Director Indonesia Wärtsillä Energy Febron R. T. Siregar, dan Executive Vice President Electricity System Planning PT PLN (Persero) Warsono.
BERITA TERKAIT
Dalam kesempatan tersebut, Warsono mengungkapkan, PLN telah menyiapkan Program Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan (ARED) untuk mencapai kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT) hingga 75% atau sekitar 61,5 GW pada 2040.
Rencana tersebut akan diwujudkan melalui Pembangunan super grid yang dapat menghubungkan pusat pembangkit EBT dengan pusat beban. Jaringan super grid ini akan mengirimkan listrik dari pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan sumber terbarukan lainnya di Sumatera dan Kalimantan ke tempat dengan permintaan tinggi, seperti di Jawa.
“Kami ingin membangun super grid di Indonesia, karena terdapat ketidakcocokan antara pasokan energi terbarukan dan permintaan yang terpusat di Jawa sehingga perlu dibangun (super grid) karena sumber energi terbarukan ada di Sumatera dan Kalimantan,” ungkap Warsono.
Ia menilai, ini akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan membantu Indonesia mencapai target penggunaan energi terbarukan 75% pada tahun 2040.
Selain itu, dari sisi lain, Nurdiana Darus mengungkapkan, Unilever berencana untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2039.
Ia menyampaikan, pihaknya akan mengurangi emisi dari operasi dan produknya di tahun 2030, sebanyak 100%. Unilever juga akan mengurangi emisi yang dihasilkan dari energi dan industri pada tahun yang sama, sebanyak 42%.
“Tujuan ini mencakup emisi gas rumah kaca dari barang dan jasa yang dibeli terkait dengan bahan baku, kemasan, transportasi dan distribusi hulu,” ungkap Nurdiana.
Selain mengurangi emisi, sebelumnya, Unilever juga mengumumkan akan melakukan investasi guna mencari berbagai solusi dalam mengurangi limbah dan sampah plastik, serta menerapkan proses daur ulang.
Menanggapi hal tersebut, Febron R. T. Siregar mengatakan, negara-negara ASEAN umumnya menargetkan pencapaian net zero emission di atas tahun 2050. Namun, pertumbuhan beban energi tahunan masih bertumpu pada bahan bakar fosil.
Ia menilai, dekarbonisasi secara teknologi terlihat memungkinkan, namun belum secara komersial. Tantangan utamanya adalah ketidakstabilan pasokan dari EBT dan permintaan yang ada.
“Sumber energi terbarukan tersebut membutuhkan solusi balancing,” ungkap Febron Siregar.
Dari sisi Wärtsillä Energy, Febron menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk menyediakan portofolio karbon nol dengan mesin yang dapat menggunakan 100% hidrogen dan fleksibilitas start-stop tanpa batas pada tahun 2030.
Dalam penutupnya, Febron menjelaskan, mesin hidrogen juga dapat digunakan untuk mendukung emisi nol Indonesia. Menurutnya, mesin hydrogen mampu meningkatkan penggunaan EBT, fleksibilitas penggunaan tinggi, dan mampu mengurangi penggunaan Batubara.
“Wärtsillä sendiri berkomitmen menyediakan portofolio karbon nol dengan mesin yang bisa menggunakan 100% hidrogen dan fleksibilitas start-stop tanpa batas,” tutup Febron.***