Jakarta – Inflasi di bulan Desember 2014 yang sebesar 2,46 persen membuat inflasi selama satu tahun mencapai 8,36 persen, lebih rendah dari inflasi 2013 yang sebesar 8,38 persen. Adapun inflasi year on year mencapai 8,36 persen sementara inflasi inti tercatat 1,01 persen dengan YoY mencapai 4,93 persen.
“Dibandingkan 2013 lebih rendah sedikit sebab sama-sama ada kenaikan BBM pada Juni sehingga Juli meningkat,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suryamin di Jakarta, Jumat (2/1).
Dia menjelaskan, dari 82 kota IHK (indeks harga konsumen), inflasi tertinggi terjadi di Merauke, Provinsi Papua sebesar 4,53 persen dan terendah di Meulaboh, Aceh sebesar 1,17 persen. Tercatat, semua kota mengalami inflasi. “Secara menyeluruh, sebagian besar inflasinya di atas 2 persen,” katanya.
Berdasarkan kelompok pengeluaran, penyumbang inflasi tertinggi di Desember 2014 ialah sektor transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 1,06 persen. Kemudian disusul bahan makanan sebesar 0,64 persen, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar sebesar 0,35 persen, serta makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar sebesar 0,31 persen. Jika dibandingkan dengan
“Jadi transportasi, ada yang menaikkan (biaya) di akhir November dan sebagian di Desember jadi dampaknya ke subsektor transportasi menjadi tinggi. Tentu berdampak ke makanan makanan jadi dan sebagainya sebagai akibat dari transportasi,” ucap Suryamin.
Lima besar penyumbang inflasi Desember ialah bensin sebesar 0,52 persen, tarif angkutan dalam kota sebesar 0,31 persen, beras sebesar 0,17 persen, cabai merah 0,16 persen, dan tarif listrik 0,15 persen. Kemudian diikuti cabai rawit, ikan segar, tarif angkutan antar kota, tarif angkutan udara, dan komoditas lainnya.
Sementara untuk inflasi nasional selama 2014, komoditas yang harganya diatur pemerintah yakni bensin juga mempunyai andil tersbesar mencapai 1,04 persen, diikuti dengan tarif listrik sebesar 0,64 persen. Menyusul komoditas lainnya yakni angkutan dalam kota sebesar 0,63 persen, cabai merah sebesar 0,43 persen, beras sebesar 0,38 persen, bahan bakar rumah tangga sebesar 0,37 persen, tarif angkutan udara sebesar 0,22 persen, cabai rawit sebesar 0,19 persen,nasi dengan lauk sebesar 0,18 persen, rokok kretek filter sebesar 0,15 persen, dan komoditas lainnya.
Meski begitu, Suryamin melihat perekonomian nasional masih dalam kondisi yang baik. Indikatornya inflasi inti masih lebih rendah dari inflasi umum. “Kalau melihat tahunan dimana inflasi inti lebih rendah dari inflasi umum, ekonomi secara kesleuruhan masih normal karena inflasi dipengaruhi indikator makro yang umum apakah nilai tukar dan sebagainya,” tuturnya.
Lebih lanjut, Suryamin mengatakan, lebih besarnya angka inflasi ketimbang perkiraan Bank Indonesia yang di kisaran 8,1 persen-8,2 persen terpengaruh karena pelemahan rupiah. Rupiah yang melemah membuat impor tertahan sehingga komoditi yang masih diimpor ikut menyumbang inflasi.
“Karena melemahnya rupiah yang diimpor terjadi penurunan, seperti elektronik dan kosmetik yang juga masuk perhitungan inflasi, hanya tidak saya sebutkan karena andilnya hanya 0,01 persen,” tuturnya.
Meski begitu, Suryamin mengatakan, banyak komoditi lain yang menyumbang inflasi dengan besaran 0,01 persen. “Kalau dijumlahkan ada puluhan komoditi lain yang andil 0,01 persen, sebagai contoh daging sapi masih diimpor, kemudian buncis, kacang panjang, cabai hijau, pisang, melon dan lainnya,” katanya.