BERITA TERKAIT
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga nirlaba yang dibentuk oleh pemerintah untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia. Kelahirannya mengacu pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan, kemudian pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. Dengan melihat pentingnya posisi kesehatan dan ketenagakerjaan, lembaga ini langsung bertanggung jawab kepada Presiden.
Namun sejak lembaga ini mulai beroperasi efektif di awal tahun 2014, banyak masalah yang mengemuka di lapangan. Ketidaksiapan para pelaksana dan penanggung jawab program di lapangan banyak disorot oleh masyarakat. Belum lagi, terdengan kabar bahwa di awal April 2014 mendatang bakal ada kemungkinan kerawanan ketersediaan obat, sehingga perlu dilakukan langkah antisipasi dengan seksama.
Masa transisi terkadang menjadi masa yang merepotkan pasien dan dokter di lapangan. Tentulah masa transisi memerlukan waktu; namun jangan terlalu lama masyarakat dibiarkan menunggu, sehingga kesan pihak yang berkepentingan terhadap perubahan ini tetap positif, dan tidak menjadi gangguan bagi reputasi pemerintah. Pemerintah merespons keluhan dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan tanggal 15 Januari 2014. Di dalamnya ditegaskan soal koordinasi yang baik misalnya dengan Direktorat Pelayanan Kefarmasian yang bertanggung jawab dalam proses ketersediaan obat melalui mekanisme Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang (LKPP). Juga adanya upaya pemberlakuan e-catalog, akan sangat membantu memecahkan masalah penyediaan obat yang tepat dan cepat.
Karakteristik Lembaga Publik
Di era reformasi dan demokratisasi seperti sekarang ini, wajar kalau banyak harapan dan tuntutan masyarakat terhadap lembaga sektor publik agar beroperasi dan dikelola dengan baik (good governance). Apalagi kini kesadaran masyarakat terhadap hak-hak dasar mereka juga semakin meningkat, seperti hak mendapatkan standar layanan kesehatan dan ketenagakerjaan yang memadai. BPJS Kesehatan sebagai lembaga sektor publik di bidang kesehatan yang strategis, perlu mencermati beberapa karakteristiknya yang menonjol agar dapat memenuhi harapan para pemangku kepentingan, yaitu: pertama, memiliki standar dan prosedur, serta kebijakan yang baku. Kedua, menjaga dan mempraktekkan tata kelola lembaga yang baik, terutama aspek transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran serta keadilan. Ketiga, menjaga kepercayaan masyarakat dan reputasi lembaganya dengan baik. Keempat, memiliki infrastruktur yang mampu menunjang operasional lembaganya, sehingga fasilitas yang disediakan dapat diberikan dengan standar kualitas yang baik. Dengan demikian, wajar bila kebijakan, aturan dan program-program BPJS selalu mendapat sorotan yang luas dari masyarakat dan DPR yang menetapkan UU pembentukannya.
Risiko BPJS
BPJS menyimpan beberapa risiko seperti risiko keuangan, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko kepatuhan. Risiko keuangan dapat terjadi apabila APBN yang ditetapkan Pemerintah ternyata tidak mencukupi dengan kebutuhan biaya yang dikeluarkan BPJS. Terlebih bila terjadi aging population, yaitu jumlah masyarakat berusia lanjut yang bertambah banyak, lebih banyak daripada jumlah penduduk produktifnya, yang bisa berakibat pada beban pemerintah yang semakin besar. Menteri Keuangan pernah mengingatkan bahwa penetapan dan pengelolaan dana BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian.Oleh karena itu, sebagai mitigasinya pemerintah akan membuat katup pengaman jika terjadi krisis keuangan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan program BPJS.
Risiko operasional BPJS dapat timbul karena kerugian yang diakibatkan karena ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia pengelolanya, adanya fraud, kegagalan sistem, atau masalah eksternal yang mempengaruhi operasional lembaga. Risiko ini cukup dominan ketika terdapat kelemahan infrastruktur di lembaga BPJS. Seperti yang dikeluhkan para pengguna layanan kesehatan BPJS yang masih dalam masa integrasi di sana-sini.
Selanjutnya, dengan besarnya anggaran yang dikelola, wajar saja bila ada pihak, yaitu KPK yang kemudian mengkhawatirkan pengelolaan dana BPJS rawan korupsi. Sehingga KPK menganggap perlunya program pencegahan terhadap fraud dan tindak korupsi yang tidak kita inginkan. Bersama dengan OJK, BPK dan Kementerian Kesehatan, KPK mulai menyusun program mitigasi risiko operasional di BPJS.
Risiko hukum dapat terjadi karena timbulnya kerugian lembaga yang diakibatkan adanya kelemahan aspek yuridis. Antara lain, adanya tuntutan hukum dari pihak yang berkepentingan terutama masyarakat pengguna fasilitas kesehatan, rumah sakit yang tidak dibayar sesuai dengan perjanjian dan kesepakatan yang telah dibuat, atau karena ketiadaan peraturan, perundang-undangan yang mendukung beroperasinya BPJS. Dengan kesadaran hukum yang semakin meningkat di masyarakat, risiko hukum perlu dimitigasi antara lain dengan menetapkan peraturan dan kebijakan teknis yang tepat, serta pembuatan perjanjian kerja yang cermat dengan para mitra kerjanya.
Adapun risiko reputasi BPJS bisa mencuat ketika BPJS mengalami kerugian akibat publikasi negatif berupa kritik, keluhan, dan tuntutan yang terkait dengan kegiatan dan program kerja lembaga ini, yang dianggap gagal melakukan pelayanan sesuai dengan ketentuan dan harapan. Risiko reputasi bukan hanya karena fakta negatif yang benar-benar terjadi di lapangan, namun kadangkala terjadi hanya karena persepsi negatif.
Pengendalian risiko reputasi dapat dilakukan dengan menyusun program manajemen risiko terpadu yang mempertimbangkan harapan para pemangku kepentingan utamanya. Risiko kepatuhan BPJS adalah kerugian yang disebabkan karena BPJS tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku, misalnya dalam hal perpajakan, UU Kesehatan dan Ketenagakerjaan, dan UU lainnya yang terkait.
Pengelolaan risiko kepatuhan dilakukan melalui penerapan sistem pengendalian internal lembaga secara konsisten. Pengawalan terhadap manajemen risiko dan tata kelola yang baik ini penting agar peran BPJS dapat tercapai dengan baik, sesuai dengan harapan dan tuntutan para pihak yang berkepentingan.
Akhirnya, peran BPJS yang sangat strategis ini perlu dilengkapi dengan Indikator Kinerja Kunci (Key Performance Indicator/KPIs) secara lengkap. Hal ini penting guna melihat sejauh mana BPJS mampu melaksanakan perannya dari waktu ke waktu ditilik dari indikator kesuksesan yang ditetapkan secara lengkap. Selain itu, dengan adanya KPI, BPJS dapat menentukan bobot pencapaian target kuantitatif maupun kualitatif para pekerjanya (terutama bagi SDM kunci), sehingga mudah menyusun program reward dan insentif bagi yang berprestasi melampaui target lembaga BPJS ini. Hal ini sangat wajar dan adil, agar peningkatan pelayanan prima bagi lembaga nirlaba sekalipun, bukan merupakan suatu keniscayaan.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang sedang dilakukan oleh BPK dalam menentukan KPI nasional. Audit kinerja yang dilakukan BPK selama ini masih bersifat parsial. Sementara evaluasi kinerja yang dilakukan Bappenas dianggap masih belum sempurna. KPI dan audit kinerja yang dimaksud juga perlu mengacu pada standar internasional lembaga audit negara-negara lain di dunia.
Idealnya KPI yang disusun tidak hanya mampu mengukur perkembangan ekonomi dan sosial dalam konteks mencapai tujuan-tujuan nasional dan pertanggungjawaban keuangan suatu program, namun mampu pula untuk menguji seberapa besar efisiensi dan efektivitas program dalam mencapai tujuan yang ditargetkan.
Semoga BPJS sebagai salah satu lembaga sektor publik nasional yang strategis, bisa melaksanakan KPI-nya secara cemerlang. Semoga