Dunia tengah berada dalam ancaman baru di masa Covid-19 ketika bank sentral AS berencana menormalisasi kebijakan ketat yang selama dua tahun belakangan ini diterapkan. Lalu apa saja mitigasi yang harus dilakukan otoritas Tanah Air?
Oleh Tim Riset Stabilitas.
Di tengah tren pelonggaran Covid-19, dunia menghadapi ancaman pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat. Di tengah tren pelonggaran kebijakan terkait covid-19 di seluruh dunia, perekonomian dunia dan Indonesia dihadapkan pada risiko tapering off Amerika Serikat. Kondisi ini menambah ketidakpastian pemulihan ekonomi dunia. Gejolak nilai tukar, kekeringan likuiditas, dan inflasi menjadi problem yang harus secara sadar dihadapi negara-negara di dunia, terutama negara berkembang seperti Indonesia.
Pertambahan kasus Covid-19 secara global menurun. Pun demikian dengan pertambahan kasus baru di belahan dunia lain mulai dari Afrika, Asia, Australia, Eropa dan Amerika Utara. Per Februari 2022, hampir semua kontinen yang disebutkan di atas semuanya menunjukkan tren penurunan pertambahan kasus harian Covid-19. Imbasnya, beberapa negara di Eropa sudah mulai menerapkan hidup “normal”. Hingga Februari 2022, setidaknya ada lima negara yang telah dan akan menerapkan kehidupan new normal pasca pandemi yakni Inggris, Norwegia, Irlandia, Swedia, Belanda dan Finlandia.
Gambar 1. Pertambahan Kasus Harian Covid-19 2021-2022
Pengetatan Moneter
Namun begitu, sinyal pelonggaran moneter dunia tidak semakin kuat. Salah satu indikatornya adalah perkembangan ekonomi Amerika Serikat. Per Januari 2022, angka inflasi tahunan di Amerika Serikat meningkat tajam, menyentuh angka 7,5 persen tertinggi dalam 39 tahun terakhir atau sejak Februari 1982. Angka inflasi tersebut disumbang oleh kenaikan harga BBM, shortage tenaga kerja serta disrupsi supply chain yang diiringi dengan permintaan yang tinggi. Sebagai contoh, harga pembasmi gulma di Amerika Serikat pada februari 2021 hanya 16 dollar AS/gallon. Pada Februari 2022, harganya melonjak tajam menjadi 60 dollar AS/gallon.
Gambar 2 Pergerakan Inflasi Amerika Serikat dan The Fed Fund Rate
Sumber : tradingnomics.com
Pertanyaan berikutnya adalah kapan The Fed akan menaikkan suku bunganya? Tidak ada yang tahu pasti kecuali FMOC (Federal Open Market Committee). Rapat terakhir FMOC dilaksanakan pada 26 Januari 2022 dengan keputusan menjaga The Fed Fund Rate (FFR) pada rentang 0-0,25 persen. Rapat selanjutnya akan dilakukan pada 16 Maret 2022. Banyak pengamat menduga bahwa FMOC akan menaikkan suku bunga.
Hasil jajak pendapat Reuters terhadap 73 ekonom menyebutkan FFR akan dinaikkan pada Maret 2022. Polling dilakukan dua kali sebelum dan setelah pengumuman inflasi Amarika Serikat yakni pada tanggal 7-10 Februari 2022 (sebelum pengumuman inflasi Januari) dan pada 11-15 Februari 2022 (setelah pengumuman inflasi Januari 2022). Pada polling sebelum pengumuman angka inflasi, 68 responden (93 persen) memprediksikan FFR akan naik sebesar 25 basis poin (menjadi 0,25 persen – 0,50 persen). Sedangkan 3 responden mengatakan tidak akan ada kenaikan FFR dan 2 responden mengatakan FFR akan naik 50 basis poin.
Hasilnya berubah ketika polling berubah Ketika poling dilakukan setelah pengumuman angka inflasi Januari 2022 yang mencapai 7,5 persen. Pasca pengumuman angka inflasi 17 responden (bertambah 15 responden dibanding poling sebelumnya) mengungkapkan FFR diperkirakan naik sebesar 0,5 basis poin. Kemudian sebanyak 56 responden mengatakan FFR akan meningkat sebesar 25 basis poin. Tidak ada responden yang tidak mengatakan FFR akan tetap setelah pengumuman angka inflasi Januari 2022.
Lebih lanjut, berapa besaran kenaikan dan sampai kapan? JPMorgan Chase & Co., memproyeksikan Federal Reserve akan menaikkan suku bunga acuan hingga 25 basis poin dalam sembilan pertemuan berturut-turut hingga awal 2023 atau naik sebesar 2,25 basis poin. Angka ini tidak jauh berbeda dengan tahun 2018.
Gambar 3. Polling Reuters tentang Perubahan FFR pada Maret 2022
Sumber : Reuters.
Kenaikan FFR
Melihat perkembangan di atas, maka tim riset Stabilitas memproyeksikan FFR akan meningkat pada Maret 2022 dengan besaran 25 basis poin. Jika demikian, apa yang harus dilakukan oleh Indonesia, terutama otoritas? Bisa dipastikan kenaikan FFR akan berdampak setidaknya pada dua hal pertama gejolak pasar keuangan dan likuiditas. Berkaca pada taper tantrum 2013, kebijakan the Fed memiliki dampak bagi emerging market, tidak terkecuali Indonesia. Dana asing keluar yang menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.
Secara kuartalan, lonjakan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS terjadi antara kuartal 2 dan kuartal 3 2013 dengan pelemahan sebesar 11,4 persen dari angka 9.817 per dollar AS menjadi 10.938 dollar AS. Pelemahan ini terus berlanjut hingga saat ini dimana rupiah belum pernah kembali ke angka sekitaran 9 ribu – 10 ribuan. Dampak pelemahan rupiah ini menggerus cadangan devisa Indonesia. Pada kuartal keempat 2012, angka cadangan devisa Indonesia berada pada level 112,8 juta dollar AS. Angkanya turun drastis sebesar 17 miliar dollar AS menjadi 95,6 miliar dollar AS pada kuartal ketiga 2013.
Hingga Januari 2022, cadangan devisa jauh di atas kondisi kuartal ketiga 2013. Pada Januari 2022, cadangan devisa Indonesia mencapai 141,3 miliar dollar AS, lebih rendah 3,6 miliar dollar AS dibandingkan angka Desember 2021. Penurunan angka cadangan devisa Januari 2022 dibandingkan Desember 2021 disebabkan pembayaran utang pemerintah dan berkurangnya penempatan valas perbankan di Bank Indonesia. Lebih lanjut, angka ini setara dengan 7,6 bulan impor dan pembayaran utang pemerintah dan 7,4 bulan impor.
Namun demikian kondisi 2013 dan 2022 berbeda. Secara kelembagaan, otoritas dinilai lebih siap dalam merespons kebijakan The Fed. Kesiapan ini salah satunya di dorong keterbukaan informasi antar pemangku kepentingan, terutama moneter, dunia. Hal ini yang oleh banyak kalangan dinilai Indonesia lebih siap dalam menghadapi pengetatan moneter Amerika Serikat.
Namun demikian, terdapat kondisi berbeda lain yang sangat membedakan antara 2013 dan 2022. Pada tahun 2022, tekanan terhadap nilai tukar tidak hanya berasal dari kebijakan moneter AS tapi juga faktor lain yakni harga komoditas yang tinggi dan ketegangan Russia-Ukraina. Bagi Indonesia yang masih mengimpor beberapa komoditas pangan, kenaikan harga akan menambah tekanan pada nilai tukar. Pada saat bersamaan, tidak semua komoditas ekspor Indonesia harganya sebaik sebelum 2013 ketika terjadi bom komoditas.
Gambar 4. Cadangan Devisa dan Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) 2010-2021
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Bank Indonesia
Selain dari indikator cadangan devisa, kesiapan Indonesia dalam menghadapi tapering off adalan transaksi berjalan. Pada 2013, ketika terjadi capital outflow, current account Indonesia berada pada masa-masa defisit, pasca boom commodities. Defisit transaksi berjalan ini menimbulkan tekanan ganda pada nilai tukar. Pada 2022, transaksi berjalan Indonesia diprediksi mengalami defisit minimal akibat pemulihan ekonomi yang belum maksimal. Alhasil kebutuhan akan barang impor tidak sederas pada 2013. Hal ini sedikit menolong rupiah, namun demikian pertolongan ini berdiri pada kinerja ekspor-impor yang kurang baik dan itu bisa dimaklumi ditengah pemulihan ekonomi nasional.
Gambar 5. Transaksi Berjalan (Miliar USD) dan Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) 2010-2021
Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Bank Indonesia
Capital outflow akan menekan pasar Surat Berharga Negara. Capital outflow yang terjadi 2022 selain disebabkan kenaikan FFR tapi juga kenaikan imbal hasil US Treasury. Hal ini bisa mendorong aliran modal asing keluar di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Namun demikian, SBN 2013 dan 2022 memiliki perbedaan, dimana rasio kepemilikan asing lebih rendah di tahun 2021 dibandingkan tahun 2013. Kepemilikan asing pada SBN di tahun 2013 sebesar 32 persen. Pada tahun 2021 angkanya turun menjadi sebesar 21 persen.
Meski angka kepemilikan SBN turun, pemerintah kehilangan ‘kartu penting’ seperti yang dimiliki pada 2013 yakni pertumbuhan ekonomi 6 persen. Dengan pertumbuhan 6 persen ini, pemerintah memiliki celah untuk mengurangi defisit fiskal dalam rangka mengurangi beban kebutuhan pendanaan di tengah tekanan yield SBN. Sedangkan posisi 2022, pemerintah perlu mendapatkan pendanaan lebih dari SBN dalam rangka menambal defisit APBN yang masih diperkenankan di atas angka 3 persen. Perburuan dana ini mendorong kenaikan imbal hasil Surat Utang Negara [SUN] 10 tahun naik 13 basis poin [bps] secara tahun berjalan.
Imbal hasil SBN yang meningkat dan capital outflow akan menekan likuiditas domestik. Pada titik ini, perbankan bisa terdampak di tengah kebutuhan akan perbankan terhadap perannya dalam menyalurkan kredit. Imbal hasil SBN akan mendorong perebutan dana masyarakat antara pemerintah dan perbankan di tengah tren kenaikan kepemilikan domestik pada SBN.
Hingga kuartal keempat 2021, angka LDR perbankan umum di angka 77,9 persen. Angka ini di bawah sedikit rentang ideal kriteria LDR di antara 78 persen-92 persen. Perebutan dana antara pemerintah dan perbankan akan mendorong LDR meningkat dimana perbankan akan kekurangan dana di tengah kebutuhan pembiayaan di tengah perbaikan ekonomi pasca Covid-19.
Gambar 6. Loan to Deposit Ratio (LDR dan Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) 2010-2021
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, OJK dan Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia.
Lebih lanjut kenaikan LDR yang dibarengi dengan potensi kenaikan suku bunga akan mendorong cost of fund perbankan. Pada ujungnya, kondisi ini akan menekan penyaluran kredit akibat adanya kenaikan suku bunga kredit sebagai hasil penyesuaian kenaikan suku bunga bank sentral. Hal ini akan mengancam pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.
Jika memang begitu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Pertama pemerintah bisa mengoptimalkan LCS (local currency settlement) dalam pembayaran ekspor-impor. Kebijakan LCS ini perlu dioptimalkan oleh Indonesia dengan negara mitra dagang yang memiliki porsi perdagangan internasional yang besar dengan Indonesia. Saat ini LCS dengan China sudah dilakukan dan perlu diperluas dengan negara-negara lain, terutama di kawasan Asia.
Kedua meningkatkan koordinasi KSSK dalam menyinergikan kebijakan fiskal-moneter yang optimal, terlebih di tengah usaha kembali ke defisit 3 persen. Kementerian Keuangan dalam KSSK sangat didorong untuk meningkatkan koordinasi dengan otoritas moneter. Ketiga, mengamankan kontrak jangka panjang komoditas pangan impor. Pengamanan ini bertujuan untuk memastikan pasokan pangan impor terjaga seperti gandum, kedelai, bawang putih dan daging sapi. Lebih baik mahal sedikit tapi kesediaan terjamin dibandingkan harga fluktuatif dan pasokan tidak terjamin.***