Oleh Taufan Sukma
Di mata pebisnis, setiap momen politik selalu diibaratkan pisau bermata dua. Di satu sisi panasnya atmosfer persaingan berpotensi berpotensi memantik risiko stabilitas keamanan. Jika hal itu benar terjadi, tentu iklim dunia usaha bakal kena getahnya. Aktifitas jual-beli menjadi tak lagi nyaman dengan situasi sosial di masyarakat yang kurang kondusif.
Tahun 2018 ini, sedikitnya ada 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota yang bakal melakukan pemilihan kepala daerah secara berbarengan. Jika pemerintah tak hati-hati dalam menjaga keamanan dan ketertiban, bukan tidak mungkin panasnya tensi persaingan di masing-masing daerah menimbulkan ancaman yang mengganggu stabilitas perekonomian nasional.
Namun bicara momen hajatan politik tak melulu soal kekhawatiran. Di balik potensi instabilitas yang mengancam, terselip juga potensi penggerak dunia usaha berupa kemungkinan melonjaknya aktifitas belanja di masyarakat seiring dengan dibutuhkannya berbagai pasokan atribut pendukung kampanye, seperti kaos partai, baliho, umbul-umbul hingga kebutuhan terhadap konsumsi dan tak ketinggalan pula produk-produk jasa keuangan yang sekiranya tahan terhadap goncangan-goncangan insidentil seperti tahun politik ini. Peluang booster ekonomi ini pula yang juga tengah ditunggu oleh para pelaku bisnis syariah nasional dari hiruk-pikuk gelaran Pilkada serentak.
Menurut Pengamat Ekonomi Syariah, Adiwarman Azwar Karim, di setiap penyelenggaraan kegiatan politik biasanya tingkat likuiditas di masyarakat bakal meningkat. Perputaran uang berjalan lebih kencang dibanding momen biasa lantaran terdorong oleh pembelanjaan berbagai ragam peranti kampanye. Hal ini kemudian membuat daya beli masyarakat meningkat, sehingga kebutuhan terhadap produk keuangan jangka panjang juga turut terkerek naik. “Pada titik ini, industri jasa keuangan bakal kelimpahan dana segar yang bisa menjadi tenaga baru untuk memacu bisnisnya. Hal ini juga berlaku untuk pelaku (industri jasa keuangan) syariah,” ujar Adiwarman, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lebih Menarik
Ketika terjadi lonjakan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap produk jasa keuangan seperti itu, menurut Adiwarman, produk jasa keuangan syariah memiliki keunggulan dibanding produk konvensional lain. Keunggulan tersebut berupa kondisi masyarakat Indonesia saat ini yang telah mulai sadar terhadap kebutuhan aktifitas hidupnya, termasuk juga aktifitas keuangan, yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip syar’i.
Pun, masyarakat secara umum kini disebut Adiwarman juga cenderung lebih tertarik pada produk jasa keuangan syariah dibanding konvensional lantaran tidak melulu mengedepankan azas profitabilitas semata, melainkan juga azas kebersamaan dan juga sosial. “Produk asuransi syariah, misalnya, lebih diminati karena lebih menonjolkan azas saling membantu antar sesama nasabah, bukan ditanggung sepenuhnya oleh perusahaan asuransi seperti yang ada di (produk asuransi) konvensional,” tutur Adiwarman.
Pandangan Adiwarman ini diamine oleh Ketua Umum Asosiasi Asuransi Syariah (AASI), Ahmad Sya’roni. Menurut dia, asuransi syariah kini kian mendapatkan tempat di masyarakat karena dianggap lebih memiliki azas keadilan dibanding produk asuransi konvensional. Azas keadilan tersebut menurut Sya’roni muncul dari konsep saling bantu antar nasabah yang diterapkan oleh asuransi syariah.Hal itu setidaknya menafikan kemungkinan adanya pihak yang menerima keuntungan lebih dibanding pihak lainnya. “Dengan adanya prinsip keadilan inilah Saya yakin prospek industri (asuransi syariah) ke depan bakal lebih menggairahkan,” tutur Sya’roni.
Ritel dan Mikro
Dengan optimisme yang serupa, baik Adiwarman maupun Sya’roni sepakat memperkirakan potensi pertumbuhan industri asuransi syariah di sepanjang tahun 2018 ini bakal berada di kisaran 15 persen 20 persen hingga akhir tahun. Potensi pertumbuhan lebih besar terutama dimiliki oleh jenis asuransi jiwa, seperti halnya tren pertumbuhan yang telah terjadi di tahun 2017 lalu. Sedangkan bila ditilik secara sektoral, ceruk pasar di segmen mikro dan bisnis ritel dianggap masih menyimpan potensi besar yang belum banyak tergarap.
Selain itu, peluang besar lain juga terpampang di segmen kuliner dan juga pariwisata seiring dengan kian diminatinya pariwisata dan kuliner halal oleh masyarakat Indonesia. “Dan dengan adanya tahun politik ini secara tidak langsung menjadi promosi gratis bagi asuransi syariah. Juga dengan tren halal food dan halal tourism. Ini biasanya jadi ‘jualan’ para calon kepala daerah bahwa wilayahnya memiliki potensi pengembangan untuk itu (halal food dan halal tourism),” ungkap Sya’roni.
Tak hanya segmen mikro dan ritel, jenis produk asuransi syariah lain yang berpeluang kian digemari masyarakat di tahun 2018 adalah produk asuransi wakaf. Jenis produk ini menurut Sya’roni lebih berpotensi digemari karena juga merupakan salah satu jenis portofolio investasi. Yang menarik, jenis produk ini hanya tersedia di asuransi syariah dan tidak dimiliki oleh produk asuransi konvensional. Dengan begitu, ceruk asuransi wakaf ini dinilai menjadi satu kekuatan tersendiri bagi pertumbuhan industri asuransi syariah secara keseluruhan. “Tinggal ke depan produk (wakaf) ini harus didorong lebih dalam, lalu sisi manfaatnya lebih terstruktur, maka Saya sangat yakin dia (produk wakaf) bisa jadi unggulannya asuransi syariah,” tegas Sya’roni.
Sebagaimana diketahui, produk wakaf sendiri memang pada dasarnya merupakan produk investasi baru yang belum begitu dikenal luas oleh masyarakat. Wakaf sendiri merupakan salah satu instrument keuangan syariah yang diyakini dapat diandalkan dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs)., seperti pengurangan tingkat kemiskinan melalui upaya penyejahteraan masyarakat luas. Selain itu, wakaf juga dapat diandalkan perannya dalam penyediaan fasilitas umum serta peningkatan kualitas Pendidikan dan kesehatan masyarakat. Wakaf memiliki beragam bentuk, meski yang kini telah familiar dikenal masyarakat baru untuk jenis wakaf tanah. Selain tanah, jenis wakaf lain yang memiliki karakteristik cukup fleksibel adalah wakaf uang.
Sejauh ini Indonesia dipercaya memiliki potensi pengembangan produk wakaf yang demikian besar. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 263 juta jiwa dengan sekitar 87 persen diantaranya merupakan pemeluk Agama Islam, Indonesia dianggap memiliki potensi aset yang sangat besar yang dapat dihimpun dan dikembangkan guna mendorong pembangunan nasional dan juga kesejahteraan masyarakat. Bank Indonesia (BI), misalnya, dalam satau risetnya menyatakan bahwa sektor sosial Islam yang juga mencakup diantaranya sistem wakaf memiliki potensi hingga Rp217 triliun atau setara dengan 3,4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Dengan potensi sebesar itu, produk wakaf diyakini dapat diandalkan guna mempercepat pembangunan ekonomi, bahkan dalam rangka menjaga stabilitas keuangan nasional.
Tantangan
Dengan segala potensi yang dimiliki, produk wakaf dapat menjadi salah satu solusi dari sekian banyak tantangan industri syariah di masa mendatang, yang salah satu diantaranya adalah terkait keterbatasan instrument investasi dalam bentuk syariah. “(Wakaf) Ini menjadi salah satu solusi penting. Bagaimana asuransi berbasis syariah ini bisa mengemas produk yang berbeda dengan yang dimiliki oleh (asuransi) konvensional. Yaitu diantaranya dengan penambahan fitur wakaf,” tutur Sya’roni.
Selain keterbatasan instrumen investasi, dalam catatan Sya’roni, tantangan lain industri adalah terkait masih rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap asuransi syariah. Berdasarkan catatan AASI, dikatakan dia, dari total sekitar 15 persen masyarakat Indonesia yang ‘melek’ asuransi, hanya sekitar tujuh persen saja yang menjadi pengguna produk asuransi syariah. “Masih banyak yang harus dijelaskan ke masyarakat. Masih perlu edukasi secara intensif. Masih perlu ada penjelasan tentang apa sih keuntungannya berasuransi. Ke situ saja dulu. Baru kalau sudah paham tentang asuransi, baru selanjutnya (penjelasannya) ke asuransi syariah. Ini belum sampai ke level akar rumput,” keluh Sya’roni.