Tahun ini muncul harapan bahwa pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi dibandingkan tahun ini. Namun demikian ancaman dari varian baru Omicron, inflasi, dan defisit fiskal bisa memupus harapan itu
Oleh Tim Riset Stabilitas
Ramalan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2022 oleh pemerintah dan beragam lembaga riset menunjukkan adanya sinyal kuat pemulihan ekonomi. Pemerintah Indonesia melalui APBN 2022 menargetkan pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5 hingga 5,5 persen persen, sementara Bank Indonesia memprediksi 5,5 persen. Namun demikian, ramalan tersebut masih terhadang merebaknya varian baru corona, yakni Omikron. Pun jika Omikron terkendali, kebangkitan ekonomi nasional bersiap menghadapi dua pukulan ganda yakni beban fiskal dan inflasi.
Bank Dunia memprediksikan Indonesia akan tumbuh 5,2 persen di 2022. Sejalan dengan itu, Asian Development Bank dan International Monetary Fund masing-masing meramal sebesar 4,8 persen dan 5,9 persen. Proyeksi IMF yang tertuang dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2021, menempatkan pertumbuhan Indonesia lebih rendah dibandingkan trio Vietnam, Filipina dan Malaysia yang masing-masing diramal tumbuh 6,6 persen, 6,3 persen dan 6 persen.
Lebih lanjut, lembaga riset dan asosiasi nasional seperti Indef, LPEM, dan Asosiaso Pengusaha Indonesia (Apindo) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 masing-masing sebesar 4,3 persen, 5,1 – 5,4 persen dan 4 – 5 persen. Beragam prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tersebut di atas menggambarkan optimisme ekonomi 2022 berada di atas capaian 2021 yang diekspektasikan hanya tumbuh di angka 3 persen.
Tabel 1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022
Tiga Pukulan
Optimisme yang membuncah terhadap pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan perlu dibarengi dengan kewaspadaan. Kewaspadaan tersebut adalah merebaknya varian baru Omicron, beban fiskal dan ancaman inflasi. Kehadiran varian covid-19 Omikron telah memuat negara-negara di dunia, terutama Eropa melakukan lockdown kota mereka semisal kota Rotterdam Belanda dan London pasca Natal 2021.
Keberadaan varian Omicron yang penyebarannya 4,2 lebih dari penyebaran varian Delta, menghantam dua sisi sekaligus yakni pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Proyeksi OECD terhadap pertumbuhan ekonomi global 2022 turun dari 5,7 persen menjadi 5,6 persen (per September 2021). Omikron juga diprediksi menghambat laju pertumbuhan China dan Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, rantai pasok dunia terganggu di mana saat ini sudah terasa dengan adanya kelangkaan kontainer.
Inflasi global bisa terjadi pada musim semi tahun depan di mana laju permintaan barang dan jasa lebih cepat dibandingkan suplainya. Hal ini mengingat musim semi dan juga musim panas -dengan asumsi Omicron sudah bisa terkendali-, mendorong aktivitas ekonomi. Alhasil, permintaan barang dana jasa meningkat. Bagi Indonesia, hal tersebut bisa memunculkan imported inflation. Itulah pukulan pertama.
Pukulan kedua adalah beban fiskal. Tahun 2022 adalah tahun terakhir di mana defisit APBN melebihi 3 persen PDB diperkenankan. Hal ini selaras dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.
Lebih lanjut, pada 2022, defisit APBN terhadap PDB ditarget 4,85 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun 2020 sebesar 6,14 persen (realisasi 2020) dan 5,82 persen (outlook 2021). Jika pada 2023 defisit kembali ke angka maksimal 3 persen, maka akan beban fiskal yang berat. Beban fiskal yang paling kentara adalah rasio utang terhadap PDB akan meningkat menjadi sekitar 37 persen. Angka ini jauh lebih tinggi 7 persen dibandingkan dengan posisi rasio utang terhadap PDB pada tahun 2019 sebesar 30,2 persen.
Kenaikan rasio utang ini akan berefek pada beban pembayaran beban bunga. Pada tahun 2013, beban belanja bunga sebesar 9,94 persen terhadap total belanja pemerintah pusat. Angka tersebut naik menjadi 18,41 persen pada 2019. Semasa covid-19 tahun 2020 angkanya rasionya turun menjadi 17,14 persen.
Gambar 1. Perkembangan Rasio Utang Pemerintah Pusat 2013-2023
Lebih lanjut, penurunan angka rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap total belanja pemerintah pusat ada 2020 ini disebabkan oleh peningkatan belanja pemerintah pusat sebesar Rp336,6 triliun dari Rp1.496,3 triliun di 2019 menjadi Rp1.832,9 triliun di tahun 2020. Di sisi lain, belanja beban bunga pemerintah di 2020 sebesar Rp314,08 atau meningkat Rp39 triliun dibandingkan tahun 2019 sebesar Rp275,5 triliun. Pada APBN 2022, pemerintah mematok belanja beban bunga utang sebesar Rp405,86 triliun atau naik menjadi 20,87 persen. Pada tahun 2023, diproyeksikan angka beban pembayaran bunga utang sebesar Rp421,3 triliun. Apabila belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.019,7 triliun pada 2023.
Beban belanja Covid-19 pada tahun anggaran 2020 yang berimplikasi pada peningkatan belanja pemerintah pusat meningkat Rp336,6 triliun berimplikasi pada risiko pembayaran beban bunga utang pasca 2022 di mana defisit APBN harus kembali ke angka maksimal 3 persen. Implikasinya adalah pemerintah harus memutar otak untuk mencari sumber pendapatan yang pada 2023 diprediksi masih belum optimal.
Pukulan berikutnya adalah inflasi. Meski pada tahun 2021 inflasi terkendali di angka tidak lebih dari 2 persen (asumsi Desember 2021 tidak lebih dari 0,3 persen), namun pada 2022 angka inflasi bisa mencapai 3 persen dengan beragam guncangan pada beberapa komoditas. Pemerintah mematok angka inflasi 2022 di angka 3 persen sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.
Target angka inflasi 2022 perlu dimaknai lebih dalam tidak hanya sekadar angka 3 persen namun lebih dari itu. Berkaca pada 2021, adanya ketidakseimbangan supply shock dan demand shock telah mengerek harga komoditas energi dan kelangkaan kontainer. Terkait dengan kenaikan komoditas energi, hal ini berimplikasi pada kenaikan CPO dunia (sebagai salah satu komoditas substitusi energi). Pada akhirnya, kenaikan komoditas andalan ekspor Indonesia ini mendorong kenaikan harga minyak goreng domestik.
Terkait dengan kelangkaan kontainer guna keperluan ekspor impor antar negara di dunia, dampak tidak langsung tidak akan terasa bersamaan, namun ada time lag. Dampak dengan jeda waktu ini tidak terasa di tahun 2021, namun bisa terjadi pada 2022. Lebih lanjut, dampak kelangkaan kontainer ini tidak akan terlalu besar pada inflasi apabila pemulihan permintaan cepat. Namun apabila pemulihan permintaan lebih cepat dari yang diduga, maka inflasi global bisa semakin tertekan. Hal ini akan berpotensi menimbulkan imported inflation. Sejalan dengan itu, ancaman inflasi bagi Indonesia datang dari pelemahan nilai tukar rupiah akibat kebijakan tapering off The Fed pada 2022.
Dari sisi domestik, pasokan pangan yang terganggu akibat la nina berpotensi mengancam produksi pangan terutama padai. Puncak la nina yang diprediksikan terjadi Desember 2021 – Januari 2022, berpotensi mengancam musim tanam padi untuk masa panen Maret 2022. Jika la nina menyebabkan musim tanam terganggu dengan tergenangnya area lahan padi yang berpotensi merusak panen, maka panen raya Maret 2022 bisa terancam tidak optimal. Jika ini terjadi, maka produksi beras nasional bisa terganggu yang pada akhirnya membawa dampak psikologis kelangkaan beras mengingat panen Maret/April merupakan panen raya.
Mengamankan Penerimaan
Pemerintah telah mengamankan penerimaan tahun 2022 dan seterusnya dengan menaikkan cukai rokok pada tahun 2022 dengan rata-rata kenaikan 12 persen. Kenaikan terbesar terjadi pada rokok yang diproduksi dengan mesin baik Sigaret Kretek Mesin (SKM) maupun Sigaret Putih Mesin (SPM). Pada tipe sigaret kretek mesin, kenaikan terbesar ada di SKM jenis II B sebesar 14,3 persen. Sedangkan pada rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) kenaikan terbesar terjadi pada cukai jenis SPM II B yang naik sebesar 14,4 persen. Pemerintah memproyeksikan dengan kenaikan cukai rokok rata-rata 12 persen maka penerimaan cukai rokok di tahun 2022 diprediksikan sebesar Rp 193 triliun atau hampir 10 persen dari penerimaan negara.
Tabel 2 Tarif Cukai Rokok Tahun 2022
Selain kenaikan cukai rokok, potensi penerimaan negara berasal dari piutang BLBI sebesar Rp110 triliun. Melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, pemerintah membentuk satgas untuk menagih piutang BLBI kepada para obligor. Tugas satgas yang berakhir di tahun 2023, memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk mengoptimalkan penagihan piutang BLBI yang dengan kata lain bisa menjadi tambahan energi APBN 2022-2023.
Sumber penerimaan alternatif berikutnya adalah tax amnesty jilid II yang berlaku di tahun 2022. Apabila merefer pada capaian target tax amnesty jilid I, penerimaan negara tidak akan lebih dari Rp150 triliun. Lebih lanjut, aturan tax amnesty jilid II yang tertuang dalam UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memuat dua skema tarif yang berbeda.
Skema pertama, untuk wajib pajak orang pribadi dan badan yang merupakan peserta tax amnesty jilid I. Ini untuk harta yang diperoleh hingga 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan pada tax amnesty sebelumnya. Tarif PPh Final untuk skema pertama ini adalah 11 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri, 8 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi ke dan aset dalam negeri dan 6 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA)
Skema kedua, berlaku hanya bagi wajib pajak orang pribadi yang hartanya belum diungkapkan dalam SPT tahun pajak 2020. Ketentuan kedua ini memuat tarif PPh final 18 persen untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri, 14 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri, dan 12 persen untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.
Di sisi lain, pemerintah juga telah mengamankan sisi belanja. Pengesahan Undang-Undang HKPD (Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah). Undang-Undang HKPD merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Dalam UU HKPD, ada satu perubahan signifikan yakni penghapusan klausul angka Dana Alokasi Umum (DAU) sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. Sebelumnya klausul tersebut diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UU No 33 Tahun 2004 yang berbunyi Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN.
Dampak dari penghapusan klausul tersebut adalah pemerintah pusat memiliki fleksibilitas dalam mentransfer DAU ke daerah tanpa mengacu pada kewajiban angka sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto. Hasilnya, pemerintah pusat setidaknya memiliki fleksibilitas pengelolaan fiskal yang bisa mendorong tingkat kepercayaan diri pemerintah dalam mengelola risiko fiskal 2023.
Meski kebijakan fiskal untuk tahun 2022 sudah mengadopsi kebijakan alternatif yang bisa mendorong penerimaan negara, pemerintah perlu memperhatikan belanjanya. Salah satu fokus belanja fiskal nasional yang masih mengganggu publik adalah penumpukan penyerapan anggaran di semester II, terutama di daerah, dan masih besarnya SiLPA. Tercatat pada ABPN 2022, SiLPA tahun 2020 mencapai Rp216,4 triliun. Meski demikian, SiLPA tahun 2021 diproyeksi lebih kecil dimana hingga November 2021, SiLPA berada di angka Rp 31,6 triliun.
Berikutnya adalah mengantisipasi kenaikan harga-harga baik akibat imported inflation maupun ketidakseimbangan suplai shock dan demand shock domestik. Pemetaan daerah rawan inflasi akibat kenaikan harga bahan pokok menjadi salah satu kebijakan yang bisa ditempuh pemerintah untuk melakukan upaya mitigasi pengendalian harga apabila perkiraan imbalance supply-demand terjadi seiring wabah covid-19 yang semakin terkendali.
Terakhir yang tidak kalah penting adalah pengendalian covid-19. Kita tidak tahu apakah akan ada varian baru selain varian Delta dan Omicron.***