Jakarta – PT Bank Central Asia Tbk tidak membuka kesempatan untuk kredit dalam denominasi valuta asing baru sejak akhir tahun lalu untuk menjaga likuiditas valasnya. Hal tersebut dilakukan karena bank tersebut menjaga likuiditas valas di kala krisis global.
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, banknya sengaja tidak agresif dalam menggunakan mata uang asing. "Jaga likuiditas valas. Kalau saya, saya sediakan US$500 juta yang likuid, untuk kesediaan setiap saat," kata Jahja ketika berbuka puasa bersama media di Jakarta kemarin.
Di sisi lain, kredit valas BCA hanya diberikan untuk komitmen yang ditandatangani tahun lalu. Itu pun dibatasi dengan plafon US$2,5 miliar. "Tidak lebih dari itu dan dari akhir tahun lalu tidak ada yang baru," tegas Jahja.
BERITA TERKAIT
Pemberian kredit valas BCA tersebut tidak sampai 8% dari keseluruhan portofolio kredit bank tersebut. Kebanyakan kredit valas tersebut diberikan pada eksportir manufaktur.
Kekhawatiran terhadap likuiditas valas sendiri, kata Jahja, tidak hanya karena negara maju mengalami krisis. Neraca perdagangan yang negatif bisa membuat devisa semakin tergerus sehingga nilai tukar sulit untuk dijaga.
Sumber likuiditas valas BCA saat ini, kata Jahja, lebih banyak berasal dari simpanan valas. Bank tersebut tidak banyak menerima devisa hasil ekspor dari eksportir sebab bank memang tidak terlalu tertarik masuk ke sektor itu.
Jahja tidak melihat term deposit valas sebagai tempat yang menarik untuk mengelola likuiditas valasnya selama tidak menyalurkan kredit. Bunga yang kecil tidak dapat mengkompensasi bunga yang diberikan bank, ditambah perhitungan-perhitungan giro wajib minimum (GWM), serta iuran LPS. "Buat apa, kita tidak salurkan valasnya? Nanti malah spread negatif. Deposit valas saja kita beri 0,75%," kata Jahja.