BERITA TERKAIT
Sepertinya masalah memang tidak mau pergi dari tubuh perusahaan pelat merah yang satu ini. Berbagai kemelut silih berganti menerpa pengelola pelabuhan Tanjung Priok atau yang dikenal dengan Pelindo II dalam dua tahun belakangan.
Kisruh terakhir terjadi bulan lalu ketika serikat pekerja melakukan aksi mogok kerja selama dua hari pertengahan Januari lalu. Mogok kerja untuk kedua kalinya itu juga dilakukan di beberapa cabang pelabuhan yang dikelola Pelindo II seperti, Banten, Cirebon, Sunda Kelapa, Tanjung Mas, Palembang, Teluk Bayur, Jambi. Mogok kerja pertama digelar pada 23-24 Desember 2013. Pada bulan Desember juga, serombongan pejabat perusahaan itu juga memutuskan mundur.
Kedua peristiwa itu didorong oleh tuntutan yang sama yaitu tidak sesuai lagi dengan kebijakan Richard Joost Lino dan meminta sang direktur utama itu untuk mundur.
Sebelumnya, pertengahan tahun lalu, pelabuhan Tanjung Priok juga sempat berhenti beroperasi karena diterpa aksi mogok. Namun kali itu yang melakukan mogok adalah pengusaha logistik dan angkutan khusus pelabuhan.
Aksi mogok yang paling akhir itu dipicu juga oleh belum jelasnya penyelesaian atas tuntutan pegawai tentang Laporan Penyimpangan dan Tuntutan Pekerja. Karena itu serikat pekerja meminta Kementerian BUMN untuk mencopot Richard Joost Lino sebagai Direktur Utama. Mereka merasa cara Lino memimpin perusahaan tidak sesuai dengan prinsip Good Coorporate Governance (GCG).
“Aksi demo yang dilakukan bukan bentuk tekanan kepada negara, namun bentuk pernyataan ketidakpuasan terhadap model kepemimpinan RJ Lino yang cenderung banyak melanggar aturan dan adanya kekhawatiran terhadap keberlangsungan hidup perusahaan,” Ketua Serikat Pekerja Kirnoto.
Malahan desakan mundur RJ Lino tidak hanya datang dari Serikat Pekerja Pelindo II tapi juga disampaikan oleh Asosiasi Logistik Indonesia (ALI). Ketua ALI Zaldy Masita mengungkapkan ada tiga hal yang membuat pihaknya menilai kinerja Pelindo II buruk. Antara lain, pemogokan sejumlah asosiasi pengusaha di Tanjung Priok selama dua hari beberapa waktu lalu. Kemudian, stagnasi parah Tanjung Priok yang membuat arus barang terhambat selama dua minggu saat Idul Fitri lalu. Dan, mundur massal karyawan serta petinggi Pelindo II. “Posisi Lino itu sudah sangat lemah karena tidak didukung secara eksternal dan internal. Paling tidak kita minta pimpinan Pelindo II diganti,” kata Zaldy. Ia menambahkan, setiap hari pengusaha logistik mengalami kerugian sekitar 20 ribu dollar AS per kapal. Ini lantaran Pelindo II belum bisa mengatasi masalah dwelling time di Tanjung Priok. “Bisa dibayangkan berapa kerugian seluruhnya.”
Namun demikian aksi mogok kerja itu dibalas dengan ancaman untuk memberhentikan para pekerja itu karena sudah membuat aktifitas di salah satu terminal Pelabuhan Tanjung Priok berhenti. Otoritas Pelabuhan (OP) mengancam akan mengambil wewenang kepanduan yang selama ini dipegang Pelindo II. Wewenang kepanduan adalah wewenang yang diberikan kepada Pelindo II untuk mengatur masuk keluarnya kapal di pelabuhan.
Wewenang itu diberikan oleh Otoritas Pelabuhan berdasarkan kebijakan dari pemerintah. Aksi mogok yang dilakukan serikat pekerja ini pun telah membuat antrean truk kontainer cukup panjang dan total kerugian perusahaan mencapai Rp22 triliun.
Kisruh yang bertubi-tubi di Pelindo II juga mendapat perhatian dari Komisi VI DPR. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP, Hendrawan Supratikno, mengatakan, kemelut persoalan yang melibatkan Serikat Pekerja PT Pelabuhan Indonesia II (SPPI II) dengan manajemen internal Pelindo II harus segera diselesaikan karena telah mengganggu kepentingan perekonomian nasional. Pelabuhan merupakan tempat perputaran ekonomi di Indonesia. Ketika pelabuhan mengalami gangguan maka persoalan logistic Indonesia akan terancam. ”Priok itu jendela ekonomi nasional, karena tiap hari terjadi kegiatan ekspor-impor yang nilainya sangat besar. Jika terganggu, apalagi sampai menimbulkan kerentanan sistem logistik, maka akan sangat fatal akibatnya,” kata Hendrawan.
Selesaikan Internal
Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menyatakan, konflik internal yang terjadi di PT Pelabuhan Indonesia II harus diselesaikan oleh internal sendiri. Namun PT Pelindo II yang merupakan representasi negara tidak boleh kalah oleh tekanan. “Kita berikan kesempatan bagi korporasi untuk menyelesaikan konfliknya sendiri,” kata Dahlan. Mantan Dirut PLN itu juga berpendapat, aksi mogok kerja yang dilakukan karyawan PT Pelindo II merupakan bentuk tekanan kepada negara. Negara tidak boleh kalah oleh segala bentuk tekanan yang muncul. ”Kalau negara kalah, ya, negara akan hancur,” ujarnya.
Konflik internal di PT Pelindo II muncul karena adanya mosi tidak percaya karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Pelabuhan Indonesia II terhadap Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino. Mereka menuntut Lino diganti dengan menyampaikannya kepada Kementerian BUMN. Namun, hingga kini Kementerian BUMN tidak mengabulkan tuntutan tersebut. “Saya tidak mungkin menghukum orang yang tidak bersalah. Lagi pula jika seseorang tidak diberhentikan dari jabatannya, berarti dia bekerja bagus,” kata Dahlan.
Belum adanya keputusan strategis yang dikeluarkan Kementerian BUMN untuk mengurai masalah yang dihadapi Pelindo II. Kemudian lambannya pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN menyelesaikan persoalan di Pelindo oleh sebagian pihak dianggap sebagai bentuk pembiaran.
Indonesian Cabotage Advocation Forum (INCAFO) Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) menyesalkansikap Kementerian BUMN tersebut. Sikap seperti itu justru kontraproduktif dan merugikan masyarakat. ”Seharusnya Menteri BUMN bijak dan mendengar akar masalahnya dari kedua belah pihak (manajemen dan karyawan),” kata Koordinator INCAFO, Idris Sikumbang dalam keterangan persnya.
Ia melanjutkan, saat ini Menteri BUMN terkesan memihak kepada manajemen Pelindo II dan cenderung mengabaikan bahkan ikut melawan karyawan. Padahal sikap tersebut bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru berpotensi melemahnya kepercayaan pasar terhadap kemampuan PT Pelindo II (Persero).
INCAFO juga menilai, rapor PT Pelindo II (Persero) sejauh ini masih merah. Indikatornya sudah jelas dimana pelayanan kepelabuhanan di Tanjung Priok dan pelabuhan lainnya tidak mengalami perbaikan sesuai harapan, bahkan banyak masalah yang muncul dan disertai dengan kenaikan biaya-biaya kepelabuhanan yang tinggi. Dia menambahkan manajemen PT Pelindo II juga dinilai gagal dalam menciptakan iklim kondusif bagi pelaku usaha maupun karyawannya sendiri. “Saya khawatir, pelaku usaha dan karyawan hilang kepercayaannya kepada manajemen, yang pada akhirnya pelabuhan Indonesia makin terpuruk,” ujarnya.
INCAFO juga menyoroti Menteri BUMN yang terlalu mendorong PT Pelindo untuk berorientasi kepada profit, bukan pelayanan. “Seharusnya kinerja Pelindo itu diukur dari sisi pelayanannya, bukan profit yang justru akan memberatkan masyarakat karena biaya menjadi mahal akibat supply chain di pelabuhan yang tidak efektif,” ujarnya.
Mundur Massal
Pada pertengahan Desember tahun lalu, ada 60 pejabat di seluruh cabang Pelindo II yang mengundurkan diri. Salah satu pemicunya adalah karena para pejabat tersebut tidak sepakat dengan keputusan Direktur Utama yang berencana ingin berutang sebesar Rp20 triliun kepada World Bank untuk pembangunan proyek Kali Baru. Para pejabat itu meminta RJ Lino mengevaluasi ulang proyek tersebut. Namun RJ Lino tetap melanjutkan rencana itu tanpa terlebih dahulu melakukan evaluasi.
Mantan Sekretaris Perusahaan PT Pelindo II Yan Budi Santoso yang juga turut mengundurkan diri, mengakui memang itu pemicunya. Pemicu lainnya adalah pada proses penunjukan konsultan pelabuhan yang tidak melalui mekanisme tender. “Kemudian terdapat biaya-biaya investasi di bagian keuangan perusahaan yang semakin meningkat,” jelasnya.
Ia juga sangat menyayangkan langkah dirut yang hingga saat ini tidak mampu menempuh solusi komunikasi yang baik dalam menyelesaikan kekisruhan yang terjadi. “Beliau malah mengambil langkah otoriter, memecat pegawai yang mengundurkan diri. Sejak awal, beliau telah gagal membentuk komunikasi yang baik dengan pegawai. Dalam perusahaan, jika terjadi masalah atau kekurangan dari kinerja pegawai, tentu itu dapat dikritisi dengan cara-cara santun, ada dialog. Bukan langsung ambil keputusan sepihak,” kata Yan Budi.
Selain masalah tersebut, mundurnya puluhan pejabat Pelindo II dipicu karena solidaritas pengunduran diri yang dilakukan Direktur Personalia dan Umum, Cipto Pramono. Untuk masalah ini, Direktur Utama PT Pelindo II, Richard Joost Lino menjelaskan, penyebab pertama karena adanya protes dari Serikat Pekerja mengenai potongan arisan Perispindo (Persatuan Istri Pelindo) dalam slip gaji. “Saya panggil Cipto untuk meminta konfirmasi,” kata Lino. Menurut Lino, saat itu yang bertanggung jawab terhadap potongan itu adalah senior manajer. Namun, Cipto justru melindunginya dengan tak memberikan surat peringatan yang sudah dia tanda tangani.
Kemudian sebab kedua adalah acara peringatan ulang tahun PT Pelindo. Lino mempermasalahkan tindakan Cipto yang membiarkan ketua Serikat Pekerja untuk ikut bicara dan melakukan peresmian. Dua hal tersebut yang kemudian membuat Lino memberikan dua pilihan, yaitu mempersilahkan Cipto mengundurkan diri, atau melaporkannya pada Menteri BUMN. Akhirnya Cipto memilih untuk mengundurkan diri. “Tak ada paksaan bagi Cipto untuk mengundurkan diri,” ujar Lino.
CEO Khusus
Benarkah aksi mogok kerja yang dilakukan Serikat Pekerja PT Pelabuhan Indonesia II (SPPI II) demi perbaikan masa depan perusahaan. Rhenald Kasali mempunyai pandangan sendiri mengenai kemelut yang terjadi di Pelindo II. Pakar manajemen dari Universitas Indonesia itu berpendapat, apa yang terjadi dengan Pelindo II harus dilihat dalam konteks perubahan. “RJ Lino, sama seperti Ignatius Jonan (Dirut PT KAI) dan Emirsyah Satar (Garuda Indonesia), adalah CEO yang khusus direkrut Kementerian BUMN beberapa tahun lalu untuk melakukan perubahan.”
Rhenald melanjutkan, mereka bertiga ditempatkan dalam medan yang supersulit. Di antara kesulitan itu adalah SDM perusahaannya sudah tua-tua (rata-rata usia pegawai 45-47 tahun), kultur korupsi dan guyubnya sangat kental, serikat pekerjanya sangat solid, dan diisi orang-orang lama yang butuh perhatian dan kekuatan kelompok.
Selain itu, pendapatan perusahaan, ketika mereka masuk sudah tidak optimal, cashflow-nya disimpan di bank (bukan diinvestasikan), tak ada investasi-investasi baru, dan masalah baru terus bermunculan. Bahkan perusahaan rugi pun tak ada yang peduli. “Anehnya, turnover pegawai amat rendah,” jelas Rhenald. Para change leader itu pun masuk dengan seribu satu ancaman. Padahal, mereka sudah mapan di posisi sebelumnya.
Pendiri Rumah Perubahan itu menjelaskan, pemimpin perubahan itu seperti emas, ada ukuran karatnya. Itu bisa diukur dengan memeriksa sejumlah elemen. Setidaknya ada tiga hal : integritas, end-result, dan popularitas. “Dan integritas tak bisa diukur dari popularitas, bahkan keduanya bisa sangat bertolak belakang,” ucap Rhenald. Semakin kuat integritas seseorang, kalau ia memimpin perubahan dalam organisasi tua yang berbudaya guyub, maka sangat mungkin ia akan menjadi tidak populer. Jadi, integritas dapat dilihat dari kegigihannya menegakkan aturan, dari ada tidaknya bukti-bukti pelanggaran hukum. “Integritas hampir pasti berhubungan dengan hasil (end result) yang dicapai,” jelasnya.