JAKARTA, Stabilitas.id – Bank of England menyatakan bahwa Inggris akan jatuh ke resesi yang disebabkan oleh kenaikan suku bunga terbesar dalam 27 tahun terakhir.
Perekonomian Inggris diperkirakan menyusut dalam tiga bulan terakhir dan akan terus menyusut hingga akhir 2023.
Sementara itu, suku bunga naik menjadi 1,75% sebagai cara untuk membendung kenaikan harga, dengan prediksi inflasi mencapai lebih dari 13%.
Alasan utama inflasi adalah melonjaknya tagihan energi yang dipicu oleh invasi Rusia ke Ukraina. Bank tersebut menyatakan, biaya energi pada Oktober bisa mencapai £ 300 atau Rp 5,4 juta per bulan untuk satu rumah tangga.
Resesi ini diperkirakan menjadi yang terpanjang sejak 2008, di mana saat itu sistem perbankan Inggris menghadapi keruntuhan.
Meski kemerosotan ekonomi Inggris tidak akan separah 14 tahun lalu, tetapi diperkirakan kali ini akan berlangsung lama.
Dilansir dari BBC, Gubernur Bank Sentral Inggris, Andrew Bailey mengatakan, jika tidak menaikkan suku bunga, akan membuat kondisi semakin memburuk. Disamping itu, ia menyadari harga bahan pokok dan biaya hidup yang semakin tinggi.
“Saya tahu bahwa mereka akan merasa, ‘Nah, mengapa Anda menaikkan suku bunga hari ini, bukankah itu membuatnya lebih buruk dalam hal konsumsi?’
Saya khawatir jawaban saya untuk itu adalah, tidak karena saya khawatir alternatifnya bahkan lebih buruk dalam hal inflasi yang terus-menerus,” ungkap Andrew, pada Jumat (5/8/22)..
Sekarang, harga telah naik 1,75%, katakanlah cicilan KPR naik sekitar £ 167 atau Rp 3 juta lebih banyak sebulan dibandingkan dengan sebelum Desember 2021.
Bahkan, suku bunga telah naik enam kali berturut-turut sejak akhir tahun lalu. Suku bunga yang lebih tinggi juga menandakan kenaikan biaya untuk kartu kredit, pinjaman bank, dan pinjaman mobil.
Lebih lanjut, Kepala Ekonom di Joseph Rowntree Foundation, Rebecca McDonald mengatakan inflasi yang sangat tinggi akan berdampak besar pada keluarga berpenghasilan rendah di Inggris.
“Banyak yang mengambil kredit untuk membayar tagihan mereka dan tertinggal dalam pembayaran mereka.
Ini akan jauh lebih sulit untuk dilunasi dengan suku bunga yang lebih tinggi yang menempatkan lebih banyak keluarga dalam bahaya finansial,” kata Rebecca.***