Prayogo P. Harto*
Emas, logam mulia yang telah dikenal manusia sejak empat ribu tahun sebelum masehi ini, memang spesial. Bukan saja karena harganya yang mahal. Juga bukan semata karena dapat dibentuk menjadi perhiasan yang dapat memperindah wanita. Tak pula karena benda galian ini sekarang tengah jadi komoditas investasi primadona yang diburu para investor. Yang membuat emas spesial karena ada selaksa makna yang berada di balik logam berkode kimia Au ini.
Emas, bagi pasangan kekasih adalah lambang ikatan cinta, yang sering diterjemahkan dalam bentuk cincin pertunangan atau pernikahan. Dalam ilmu komunikasi ada juga istilah diam itu emas (silence is gold), yang maknanya lebih kurang adalah lebih baik tidak berbicara daripada banyak omong tetapi isinya cuma tong kosong.
BERITA TERKAIT
Di dunia olah raga, emas mengandung makna prestasi tertinggi. Atlet yang meraih juara pertama, umumnya akan diberi penghargaan berupa mendali emas. Emas juga bisa dikaitkan dengan usia. Golden age atau usia emas, biasanya diidentikkan dengan umur ketika seseorang sedang produktif-produktifnya. Contohnya, bagi seorang atlet atau olahragawan, golden age adalah di kisaran 20 – 30 tahun. Masih terkait usia, emas dapat pula berarti lamanya waktu yang telah ditempuh. Misalnya, konotasi perkawinan emas diartikan pernikahan yang sudah berlangsung selama 50 tahun.
Oleh karena itu, ketika berbicara tentang Golden Banks atau Bank-bank Emas, konteks yang terkandung semestinya tidak tunggal. Dari sisi usia, bank emas memang dapat berarti bank yang telah berusia 50 tahun atau lebih, seperti yang selama ini sudah dipahami banyak orang. Namun, menurut saya, arti dari bank emas seharusnya tak terbatas pada lamanya umur bank saja.
Paling tidak, ada dua makna yang terkandung dari Bank Emas. Pertama, seperti telah kita kenal selama ini, adalah bank yang sudah berdiri selama 50 tahun atau lebih. Dalam konteks ini, bank-bank seperti BRI (117 tahun), OCBC NISP (71 tahun), BTN (70 tahun), BNI (67 tahun), BCA (55 tahun) atau Bank DKI (51 tahun) dapat digolongkan sebagai bank emas.
Kedua, bank yang sedang sarat dengan prestasi meski belum berusia 50 tahun. Jika memakai definisi ini maka, bank seperti Bank Mandiri yang baru berusia 14 tahun, namun merupakan bank yang memiliki sejumlah prestasi, salah satunya sebagai bank dengan aset terbesar nasional, dapat dimasukkan juga sebagai bank emas.
Bahkan, hemat saya, makna bank emas semestinya lebih tepat mengacu pada yang kedua atau disematkan kepada bank-bank yang mampu mengukir kinerja ciamik. Ketimbang kepada bank yang telah menginjak usia setengah abad, namun performanya rata-rata saja, terlebih jikalau di bawah industri.
Saya bukannya menafikan bahwa pencapaian bank hingga berumur 50 tahun adalah sebuah prestasi juga. Akan tetapi ukuran kegemilangan terbukti tak selalu berbanding lurus dengan kuantitas umur. Sebab, soal pertambahan umur bank, menyitir iklan yang sempat populer di awal hingga pertengahan tahun 2000, itu sudah pasti. Namun soal bagaimana mengukir prestasi dalam kawah candradimuka perbankan adalah tergantung bagaimana bank itu sendiri, tidak ada hubungannya dengan pertambahan usia.
Tantangan Emas
Menjadi bank emas, dalam arti pertambahan usia sejalan dengan capaian prestasi, tentu cita-cita semua bank. Bank-bank pembangunan daerah (BPD) misalnya, yang rata-rata sedang menuju atau telah mencapai usia 50 tahun, kini tengah galak-galaknya menyosialisasikan diri menjadi regional champion bank atau sebagai bank terdepan di daerahnya masing-masing.
Hanya saja, perjalanan untuk menggapai misi sebagai bank emas bukanlah perjalanan mudah. Akan ada banyak sekali jalan terjal, kerikil bahkan karang, yang menghadang di depan. Tantangan itu bisa berasal dari dalam (internal) bank, atau faktor-faktor di luar sana. Ancaman krisis Eropa, serbuan bank-bank asing, hingga perubahan paradigma konsumen, adalah beberapa faktor yang potensial membuat cita-cita bank tadi kandas di tengah jalan.
Namun bukan berarti bank lantas mengubur impian untuk menjadi bank emas. Sebab, menyitir kata-kata Fisikiawan Albert Einstein, di balik setiap tantangan sejatinya tersimpan peluang. Bahkan di dalam Kitab Suci pun Allah telah berfirman, bahwa “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al Insyirah: 5), dan “Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan” (QS. Ath Tholaq: 7).
Lagi pula, sejarah telah membuktikan. Faktanya, tak terbilang perusahaan-perusahaan global yang kini meraksasa, seperti Google, Apple, Microsoft, General Electric, Hewlett-Packard, Disney, Hyatt, MTV, CNN, atau Burger King, justru berkembang pesat ketika masa resesi ekonomi. Misalnya saja Google, perusahaan teknologi informasi berbasis intenet, yang malah tumbuh dengan sangat pesat tatkala gelembung dotcom meletus dan memusnahkan sebagian besar perusahaan sejenisnya.
Catatan sejarah perbankan nasional juga dipenuhi dengan bukti, betapa bank-bank yang tergolong kategori emas teratas, pernah mengalami badai krisis yang tak jarang nyaris menenggelamkan mereka. Bank Mandiri, contohnya, bangkit dari puing-puing bank-bank pelat merah yang luluh lantak dihantam krisis ekonomi pada tahun 1998.
Bagitu pun dengan bank-bank papan atas nasional saat ini, seperti BRI, BNI, atau BCA. Semuanya pernah menjadi pesakitan dan mendapat perawatan ekstra oleh Bank Indonesia, sebelum kemudian mampu melewati usia setengah abad dan tetap berkibar seperti sekarang ini.
Prinsip Emas
Charles Darwin, yang disebut-sebut sebagai bapak teori evolusi, bertamsil bahwa bukan mereka yang terkuat namun mereka yang adatif yang akan bertahan hidup. Tyrannosaurus (T-Rex) dan kecoa adalah buktinya. Dua binatang ini pernah hidup di jaman yang sama. T-Rex adalah makhluk terkuat dan menduduki posisi rantai makanan tertinggi di zaman dinosourus. Sebaliknya, kecoa adalah hewan mungil yang tak pernah masuk hitungan selain sebagai serangga kotor yang mengganggu. Namun, T-Rex sudah jutaan tahun lalu punah, sementara kecoa, tetap bertahan hingga detik ini.
Analogi T-Rex dan kecoa ini ternyata berlaku juga dalam dunia bisnis. Mungkin sekarang tak banyak yang kenal Smith Corona. Padahal sekitar dua dekade lalu, produsen mesin tik merek Remington ini merupakan salah satu perusahaan raksasa paling menguntungkan di dunia, dengan mencatat rekor laba 500 juta dollar AS (1989), tertinggi dalam sejarah perusahaan di AS kala itu. Namun, lima tahun setelah prestasi spektakulernya tersebut, Smith Corona menyatakan diri bangkrut.
Di dunia perbankan global, para ‘T-Rex’, seperti Lehman Brothers (salah satu bank investasi terbesar di AS), Rasuna Bank (bank terbesar kelima di Jepang), dan Barings Bank (bank tertua di Inggris), juga telah ‘punah’. Sementara di Indonesia, sejumlah bank emas, seperti Bank Duta, Bank Bali, atau Bank Lippo, namanya telah hilang dari kancah perbankan nasional.
Lantas, bagaimana agar bank mampu bertahan sebagai bank emas di tengah evolusi (atau malah revolusi) perubahan yang sering kali menimbulkan chaos dan ketidakpastian? Jawabannya, bank harus mampu beradaptasi dengan berbagai skenario perubahan layaknya kecoa. Alih-alih tergerus badai perubahan, daya adaptif akan membantu bank berselancar dengan sempurna meniti ombak kekacauan dan bertransformasi jadi bank emas.
Paling tidak, ada tiga prinsip yang wajib dimiliki bank agar sukses beradaptasi dengan perubahan zaman. Pertama, memiliki alasan atau tujuan beradaptasi dengan perubahan (purpose of change). Sebelum melakukan adaptasi terhadap perubahan, bank seharusnya tahu mengapa muncul perubahan. Misalnya, ketika bank sentral mengeluarkan aturan baru terkait rasio kecukupan modal inti bank minimal 8 persen dari aset, yang harus dipatuhi oleh seluruh pelaku perbankan.
Selain itu, yang tak kalah penting juga adalah bank perlu menetapkan tujuan beradaptasi dengan perubahan tersebut. Intinya, bank harus paham adaptasi seperti apa yang ingin ia lakukan untuk menjawab tantangan perubahan yang sudah diketahui. Untuk itu, manajemen bank wajib merumuskan kondisi seperti apa yang semula ada, dan kondisi seperti apa yang kelak ingin dicapai dari adaptasinya tersebut. Dengan demikian, maka jika ada perubahan aturan BI yang mengharuskan bank memiliki kecukupan modal inti 8 persen dari aset, maka bank dapat menetapkan tujuan beradaptasinya adalah agar dapat memenuhi ketentuan otoritas perbankan itu.
Kedua, mengetahui risiko dari adaptasi terhadap perubahan (risk of change). Ketika melakukan adaptasi terhadap perubahan, bank seharusnya paham dampak apa saja yang akan terjadi karena melakukan adaptasi tersebut. Secara teoritis, ada empat area kritis yang perlu mendapat fokus ekstra bankir ketika merencanakan suatu perubahan, yaitu risiko negatifnya terhadap keuangan, sistem dan prosedur, produk dan pemasaran, dan SDM.
Ambil contoh, perubahan yang terjadi dalam aspek teknologi informasi di industri perbankan hingga memaksa bank perlu berinvestasi besar pada perangkat TI. Dari sisi keuangan, investasi TI dapat memangkas keuntungan bank; implementasi TI juga bakal mengubah secara radikal standar operasional prosedur (SOP) bank; ragam produk dan strategi pemasaran bank pun harus mengalami penyesuaian dengan aplikasi TI; dan ada kemungkinan penerapan TI baru akan menghilangkan peran sejumlah karyawan, yang pada akhirnya berisiko menimbulkan ketidaksenangan dari pegawai yang terkena dampaknya tersebut.
Dengan mengetahui risiko-risiko yang mungkin timbul akibat adaptasi tersebut, bank bisa mempersiapkan antisipasinya, atau paling tidak memperkecil peluang terjadinya risiko tersebut. Misalnya, implementasi TI yang berpotensi menyebabkan ketidakpuasan SDM yang kehilangan perannya, dapat disiasati dengan memberi mereka peran lain plus pemberlakuan insentif tertentu yang akan membuat mereka tetap bertahan.
Ketiga, menjalankan adaptasi perubahan (action of change). Pada akhirnya, langkah terpenting untuk beradaptasi terhadap perubahan adalah dengan terjun mempraktikkannya. Mengetahui alasan, menetapkan tujuan, menyusun rencana, membuat strategi antisipasi risiko, dan sebagainya, semuanya hanya kesia-siaan belaka, andai bank hanya NATO, No Action Talk Only. Alias cuma berangan-angan untuk berubah tetapi tak punya inisiatif menjalankannya.
*Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Stabilitas / Dosen STIE Islamic & Banking School / Indika & Paramadina Fellowship