Aset-aset kripto yang tengah naik daun memiliki peluang untuk dijadikan alat pembayaran meski otoritas keuangan meski enggan mengakui peredarannya. Namun demikian regulator di Tanah Air harus bersama-sama memahamkan khalayak mengenai posisi kripto dalam dunia keuangan agar tidak ada misinformasi
Oleh Tim Riset
Dunia keuangan di Indonesia, dan juga dunia diramaikan oleh kehadiran cryptocurrency yang memanfaatkan teknologi blockchain sebagai infrastruktur utamanya. Hingga Maret 2021, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) merekam terdapat Rp126 triliun transaksi aset kripto di Indonesia, termasuk bitcoin. Jumlah transaksi yang setara 0,8 persen PDB Indonesia tahun 2020 ditopang oleh pelanggan aset kripto sebesar 4,4 juta orang. Di tengah harum semerbak wangi kripto, terdapat dua catatan utama yang perlu diperhatikan. Pertama masalah kelembagaan dan kedua masalah infrastruktur pendukung kripto.
Magnet Kripto
Kripto menjadi magnet untuk instrumen investasi. Data dari Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) memperkirakan jumlah investor kripto di Indonesia pada akhir 2021 bisa tembus 10 juta. Angka tersebut diperkirakan akan terus meningkat menjadi 6,5 kali lipat atau 26 juta investor dalam dua hingga empat tahun ke depan. Namun demikian, ada satu syarat yakni harga yang dianggap masih menarik. Di sisi lain, dilihat dar data kripto yang ada, terdapat fakta menarik yaitu sebanyak 40 persen investornya adalah milenial yang memiliki rentang usia usia 25-34 tahun.
Beberapa sebab penyulut kepopuleran aset-aset kripto antara lain harga yang terus naik, dukungan teknologi blockchain, dan kepastian hukum. Sebagai gambaran, berdasarkan harga bitcoin terhadap dollar AS secara year to date (hingga 9 Juni 2021) nilainya mengalami kenaikan nilai sebesar 26,16 persen. Di sisi lain,indeks harga saham utama dunia semisal Nasdaq, Dowjones, S&P 500 dan bahkan Indeks saham gabungan bursa efek Indonesia, tidak ada yang bisa menyamai kenaikan harga bitcoin terhadap aset dollar AS.
Indeks Nasdaq, Dowjones, S&P dan IDX tidak jauh di bawah kenaikan nilai bitcoin terhadap dollar AS. Secara year to date, Nasdaq hanya mencatat kenaikan 8,24 persen, Dowjones 13 persen, S&P500 sebesar 12,64 persen dan IDX justru mencatatkan pertumbuhan negatif 6,5 persen. Apabila ditarik data serial lebih panjang, maka harga bitcoin akan sangat terlihat lonjakannya. Pada kurun waktu 1 tahun (9 Juni 2020 – 9 Juni 2021), bitcoin mencatatkan kenaikan nilai 365,35 persen.
Lebih lanjut, apabila ditarik lebih jauh ke belakang yakni 5 tahun, maka terjadi kenaikan harga bitcoin sebesar 5.919,69 persen. Sungguh sebuah kenaikan yang luar biasa besarnya. Tren kenaikan inilah yang menjadi magnet kenapa kripto sangat diminati oleh banyak orang, Terlebih Ketika Elon Musk, inovator kargo luar angkasa, mulai merambah ke kripto. Hal ini semakin menambah seksi mata uang digital ini dikaitkan dengan misi besar manusia dalam menjelajah luar angkasa.
Faktor pemikat penyebab berikutnya adalah infrastruktur blockchain yang digunakan untuk kripto. Hingga saat ini, blockchain dinilai paling aman dalam hal mengamankan transaksi finansial secara digital. Dilansir dari digitalbisnis.id, setidaknya terdapat empat keuntungan blockchain. Pertama meminimalkan kemungkinan penipuan. Alasan utamanya adalah teknologi blockchain bekerja seperti buku besar yang terbuka. Hal ini memungkinkan setiap transaksi dipublikasikan secara publik.
Kedua, sistem yang terdesentralisasidimanateknologi blockchain menggunakan jaringan node terdistribusi untuk menyimpan data blockchain. Hal ini bermakna sebagian besar data blockchaintersimpan di ribuan bahkan jutaan perangkat berbeda dalam jaringan yang tersebar luas. Keberadaan sistem ini memungkinkan data yang tersimpan lebih tahan terhadap kegagalan teknis.
Faktor pemikat berikutnya adalah sifat stabil blockchain. Ciri ini memungkinkan untuk tidak bisa membalikkan atau mengubah blok yang telah dikonfirmasi. Setelah data transaksi terdaftar ke dalam sistem, nyaris tidak mungkin bagi siapapun untuk menghapus atau membalikkannya. Sifat ini menjadikan blockchain menjadi teknologi yang andal dan efisien yang dapat digunakan untuk menyimpan catatan keuangan dan transaksi bisnis lainnya.
Faktor keempat adalah sistem yang peer to peer. Hal ini berarti transaksi dalam blockchain dilakukan tanpa perantara pihak ketiga, tapi langsung antar person to person. Hal ini berbeda dengan sebagian besar sistem pembayaran atau transaksi non-blockchain yang masih memerlukan pihak ketiga. Misal pembelian mobil melalui leasing dan semisalnya.
Daya magnet berikutnya adalah dukungan legal formal di Indonesia yang dalam hal ini perihal transaksi aset kripto berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan, bukan di otoritas moneter atau perbankan semisal Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia.
Perang Otoritas
Hingga tulisan ini, terdapat perbedaan pandangan antara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan. Garis besar pandangan OJK mengenaikripto adalah adanya risiko yang tinggi akibat ketiadaan underlying ekonomi dari transaksi yang dilakukan.
Sedangkan dari pandangan Bappebti, kripto dianggap sebagai komoditas digital seghingga masuk dalam komoditas dengan kontrak berjangka. Hingga kini setidaknya ada empat aturan legal formal yang menjadi dasar jual beli kripto di Indonesia. Aturan tersebut adalah, pertama, Peraturan Bappebti No.2 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pasar Fisik Komoditi di Bursa Berjangka, (ii) Peraturan yang kedua adalah Peraturan Bappebti No.3 Tahun 2019 tentang Komoditi yang Dapat Dijadikan Subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah dan/atau Kontrak Derivatif Lainnya yang Diperdagangkan di Bursa Berjangka, (iii) Peraturan ketiga adalah peraturan Bappebti No.4 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Emas Digital di Bursa Berjangka.
Ketiga peraturan tersebut menjadi landasan operasional penyelenggaraan pasar fisik emas digital di bursa berjangka. Peraturan ini mengatur kelembagaan pasar fisik emas dengan persyaratan yang lebih spesifik (khusus) terkait kelembagaan. Peraturan ini juga mengatur persyaratan teknis emas yang dapat disimpan di tempat penyimpan emas yang mencakup standar mutu dan kemurnian. Pedagang fisik komoditi emas digital diwajibkan menjadi anggota bursa dan juga anggota kliring. Dengan kewajiban ini, diharapkan mereka dapat melakukan lindung nilai di bursa berjangka (secara fisik dan futures), dan menjadi penyedia likuiditas di bursa berjangka
Peraturan terakhir adalah Peraturan BappebtiNo.5 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto (crypto asset) di Bursa Berjangka. Aturan ini secara lebih jelas mengatur kripto. Beleid ini merupakan landasan operasional penyelenggaraan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka. Peraturan ini mengatur persyaratan yang lebih spesifik (khusus) terkait perdagangan aset kripto, antara lain persyaratan permodalan bagi bursa berjangka, lembaga kliring berjangka, dan pedagang fisik aset kripto; serta sistem dan/atau sarana perdagangan daring yang digunakan yang wajib memenuhi beberapa persyaratan teknis seperti sertifikasi ISO 27001 (Information Security Management System).
Pada tahun 2020, Peraturan Bappebti No.5 Tahun 2019 diganti dengan Peraturan Bappebti No. 3 Tahun 2020 (Peraturan Bappebti). Sama seperti halnya bursa saham, bursa kripto ini merupakan badan usaha yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk kegiatan jual beli (dalam hal ini komoditi aset kripto).
Adanya keempat aturan tersebut di atas, maka maka kegiatan usaha aset kriptodiatur dan diawasi oleh Bappebti. Hal ini menunjukkan bahwa kripto dianggap lebih sebagai komoditas, bukan mata uang atau alat pembayaran. Hal ini dipertegas oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang menyatakan dalam sepuluh tahun ke depan bank sentral tidak berencana untuk memberikan izin penggunaan aset kriptosebagai alat pembayaran (cryptocurrency).
Selain itu Undang-Undang No 7 tahun 2011 tentang Mata Uang tidak menyebutkan kripto sebagai mata uang. Ketentuan dalam Undang-Undang ini dipertegas dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/40/PBI/2016 Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran. Ketentuan dalam Pasal 34 huruf a dalam peraturan tersebut melarang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran untuk melakukan pemrosesan transaksi pembayaran dengan menggunakan virtual currency (termasuk bitcoin).
Peluang Kripto
Di tengah polemik apakah aset kripto itu alat pembayaran atau komoditas, ada tiga landasan kenapa kripto bisa dipertimbangkan menjadi alat pembayaran. Pertama investasi aset kripto diminati oleh perusahaan besar. Korporasi semisal BNYMellon, Tesla, dan Mastercard melihat aset kripto sebagai investasi yang menguntungkan.
Tesla, pada awal Februari 2021 mengumumkan telah membeli bitcoin senilai 1,5 miliar dollar AS atau setara Rp21 triliun dengan kurs Rp14 ribu/dollar AS). Hal ini menjadi penanda bahwa Tesla mulai menerima mata uang kripto sebagai metode pembayaran untuk produk-produknya di tengah ketentuan/regulasi dan persediaan terbatas. Penggunaan bitcoin ini mendapuk Tesla sebagai perusahaan otomotif pertama yang menerima bitcoin sebagai alat pembayaran.
Alasan kedua adalah aset kripto sebagai inflation hedge. Selama ini, emas dan logam mulia lainnya dianggap sebagaiaset investasi yang tidak terdampak besar oleh inflasi seperti uang fiat. Kripto digadang-gadang bisa mengikuti jejak si emas. Meskipun volatilitas aset kripto secara umum memang fluktuatif, akan tetapi banyak analisis terhadap aset digital ini yang positif. Oleh karenanya, semakin kuat dorongan masyarakat untuk berinvestasi aset kripto.
Alasan ketiga adalah perkembangan ekonomi digital. Tidak bisa dipungkiri, kripto yang tidak bisa hidup tanpa infrastruktur digital, sangat lekat dengan perkembangan ekonomi digital. Selain itu, perkembangan cashless society, menjadi pupuk penyubur penggunaan kripto.
Meskipun terdapat banyak peluang pengaplikasian kripto untuk alat pembayaran terdapat risiko yang perlu diperhatikan. Pertama, risiko sistem pembayaran dan pengelolaan uang rupiah apabila crypto asset digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Risiko ini didasari pada belum meratanya infrastruktur digital di Indonesia.
Risiko kedua adalah adanya capital outflow yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter Bank Indonesia. Ketiga, risiko stabilitas sistem keuangan dalam hal transaksikriptosemakin membesar dan kompleks serta melibatkan perbankan. Keempat, risiko pelanggaran prinsip Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT).
Pada akhirnya, pamor kripto yang menjulang tinggi di tengah keterbatasan ruang gerak, mengharuskan otoritas moneter, otoritas pengawas perbankan dan otoritas perdagangan komoditas berjangka duduk bersama dengan kepala dingin mengawasi kripto. Sudah tepat OJK dan Bank Indonesia dengan standing pointnya yang menyatakan kripto bukan mata uang dengan merujuk pada aturan legal formal berupa undang-undang. Namun demikian bukan berarti otoritas berlepas tangan.
Bank Indonesia, OJK dan Bappebti harus bersama-sama memahamkan kepada khalayak mengenai posisi kripto dalam dunia keuangan Indonesia agar tidak ada misinformasi. Hal ini penting agar masyarakat tidak hanya tahu potensi aset kripto tapi juga risikonya untuk saat ini. Di sisi lain, Bappebti juga memastikan agar rencana pembukaan bursa penjualan kripto tidak menimbulkan gelembung ekonomi karena ketiadaan underlying asset. Ketiganya harus bersinergi, tidak boleh jalan sendiri-sendiri.***