Perbankan syariah dihadapkan oleh pilihan antara memisahkan diri atau tetap menempel pada induknya. Namun demikian apapu pilihannya, yang menentukan kinerja keuangan mereka ke depan adalah praktik tata kelola.
Oleh Syarif Fadilah
Dalam dua dekade terakhir, kinerja perbankan syariah tidak pernah melempem meski ekonomi beberapa kali dihantam kisruh di sektor keuangan. Namun demikian, isu utama tetap menggelayuti: aset yang masih minim.
Padahal dalam kurun waktu lima tahun terakhir sampai Desember tahun lalu, aset perankan syariah meningkat dua kali lipat, menjadi Rp608 triliun. Petumbuhan nyaris berganda juga terjadi di lini pembiayaan dan pengumpulan dana. Pertumbuhan laba tahunan perbankan syariah yang mencapai rata-rata 14 persen per tahun juga hanya bisa diikuti oleh perbankan konvensional paling maksimal separonya.
Biar begitu, berhadapan dengan aset raksasa bank konvensional, apa yang dicapai perbankan syariah itu tentu masih semenjana. Tidak heran jika dibandingkan konvensional, aset syariah masih berkutat di kisaran 6 persen.
Otoritas tidak henti-hentinya mendorong dengan kebijakan sekaligus menaruh harapan besar agar bank syariah bisa lebih ‘terlihat’ di indusri keuangan nasional. Salah satunya dengan kembali mendorong bank untuk segera melakukan pemisahan diri dari induknya dan menjadi entitas bank umum tersendiri atau spin off. Sebagaimana diketahui Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menetapkan bahwa unit syariah yang dimiliki oleh bank konvensional harus melakukan spinoff selambat-lambatnya 15 tahun undang-undang itu terbit. Dengan kata lain, unit syariah harus terpisah dari induknya yang konvensional sebelum tahun 2023 berakhir.
Kewajiban itu juga ditimpali oleh Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 11/10/PBI/2009 tentang Unit Usaha Syariah terkait pemisahan UUS dengan bank umum konvensional mengatakan bahwa pemisahan paling lambat Juli 2023.
Jadi ketika waktu terus berdetak kurang dari dua tahun lagi dari tengat waktu, dan kondisi perekonomian tidak menentu, kebingungan dan kekhawatiran dari pelaku perbankan teraduk menjadi satu.
Namun begitu tidak banyak bank yang menyegerakan mengikuti aturan tersebut. Direktur Jasa Keuangan Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) Taufik Hidayat mengatakan KNEKS menilai dari 20 unit syariah yang ada saat ini, terdapat 9 hingga 12 unit masih belum siap spin-off tahun 2023. Jumlah tersebut didominasi oleh unit usaha syariah (UUS) Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Penilaian kesiapan itu bisa dilihat melalui indikator total aset, modal inti, dan tingkat kesehatan bank yang dipantau per 2019 dan 2020. Kendala yang muncul dalam mempersiapkan spin-off akibat pandemi pun tak terhindarkan. Kondisi pandemi memaksa bank induk harus melakukan pencadangan sebagai akibat dari restrukturisasi kredit yang berpotensi jatuh menjadi pembiayaan macet setelah masa relaksasi berakhir.
“Hal ini akan memberatkan BUK (Bank Umum Konvensional) ketika harus menyetor modal kepada UUS yang di-spin off pada masa recovery. Walaupun batas minimal modal BUS (Bank Umum Syariah) sebesar Rp500 miliar, namun untuk bisa bersaing dalam industri perbankan, BUK paling tidak harus menyetorkan modal kepada BUS baru minimal Rp1 triliun,” jelas Taufik.
Memang harus diakui juga beberapa faktor yang melandasi keengganan bank melakukan spin off sehingga sempat muncul keiginan agar atuan itu tidak diwajibkan atau minimal tengat waktunya diundur lagi. Pertama, kinerja BUS yang ada saat ini rupanya kalah jauh dari UUS. Kedua, sebagian besar UUS terutama yang merupakan BPD masih terkendala dari sisi permodalan.
Pandemi Covid-19 dinilai semakin menambah tantangan bagi bank untuk melepaskan unit syariah mereka. Bank saat ini harus mengalokasikan banyak pencadangan untuk mengantisipasi risiko yang muncul dari kredit yang tengah direstrukturisasi saat ini. Bank harus mengorbankan laba untuk pencadangan tidak melannggar aturan permodalan yang ditetapkan regulator. Kondisi ini tentu akan semakin memberatkan bank jika harus melakukan penambahan modal inti UUS mereka sebelum spin off.
Pernyataan itu segendang sepenarian dengan data yang dimiliki oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana mengakui, spin off sulit dilakukan bagi beberapa bank, terutama Bank Pembangunan Daerah (BPD). “Banyak yang bertanya, apakah spin off akan dilanjutkan? Karena spin off butuh permodalan bagi induknya untuk sediakan modal. Itu memang tidak mudah terutama bagi beberapa bank termasuk BPD,” kata Heru.
Oleh karena itu, dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Sektor Keuangan yang tengah disusun pemerintah tengah dipertimbangkan bahwa aturan spin off bank syariah tak lagi menjadi kewajiban (mandatory), melainkan secara sukarela (voluntary). “Bagi yang kuat silakan spin off, bagi yang belum silakan gabung dengan induknya untuk tetap melakukan kegiatan sebagai anak usaha atau UUS,” kata Heru.
Bank memang seperti memakan buah simalakama saat harus memilih spin off atau tidak. Jika harus menaati peraturan, terbayang sebuah risiko dimana kinerja mereka menurun karena harus melakukan penyesuaian menyeluruh dan butuh waktu untuk kembali on the track. Sebaliknya jika tidak melakukan seperti yang diminta oleh regulator terbayang risiko kepatuhan dan reputasi.
GCG Menentukan
Akan tetapi penelitian dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) bisa menjadi acuan bagi pengelola perbankan. Berdasarkan riset hubungan antara kinerja bank syariah dengan praktik good corporate governance (GCG), ditemukan bahwa pilihan strategi antara melakukan spin off atau tidak bukanlah faktor utama yang mempengaruhi kinerja bank syariah.
“Kami di LPPI sering ditanya manakah yang akan lebih baik, spin off atau konversi. Berdasarkan data-data yang kami peroleh, apapun pilihannya tidak menentukan baik buruk kinerja bank syariah selanjutnya. Berdasarkan analisis kami yang menentukan kinerja baik atau tidak ke depannya adalah penerapan GCG,” jelas Mulya Effendy Siregar, Direktur LPPI, saat membuka webinar dengan tema “Bank Syariah: Spin Off atau Leveraging?” pertengahan Oktober lalu.
Menurut mantan Komisaris Utama BSI ini, praktik tata kelola perusahaan yang baik berpotensi mendorong pertumbuhan kinerja bank syariah lebih cepat dibandingkan yang tidak menerapkannya. Berdasarkan riset GCG yang dilakukan LPPI terdapat hubungan antara skor GCG yang kecil (artinya penerapannya semakin bagus) dengan pertumbuhan kinerja Bank Umum Syariah.
LPPI adalah satu-satunya lembaga yang dipercaya otoritas perbankan sejak masih di bawah Bank Indonesia untuk mendapatkan laporan GCG bank-bank yang beroperasi di Tanah Air. Bank juga wajib mengirimkan laporannya kepada otoritas setiap tahunnya.
Berdasarkan analisis datai dari 2007 hingga 2018, menunjukkan, Bank yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) melakukan konversi menjadi Bank Syariah memiliki nilai rata-rata peringkat komposit (PK) di atas rata-rata industri perbankan syariah dan masuk ke dalam PK BAIK. Sementara Bank yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) melakukan Spin Off menjadi Bank Umum Syariah (UUS) memiliki nilai rata-rata peringkat komposit di bawah rata-rata industri perbankan syariah, namun masih mendapat predikat BAIK.
Perbankan wajib menjalankan GCG sejak Bank Indonesia menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan PBI No. 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 Kemudian sejak 2016, peraturan mengenai GCG merujuk kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 55/POJK.03/2016 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No. 13/SEOJK.03/2017 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.***
Tabel Perkembangan Aset, Pembiayaan yang Disalurkan (PYD), dan DPK (Rp Triliun)
Periode Aset PYD DPK
Des ’15 304,0 218,8 236,0
Des ’16 365,7 254,7 285,2
Des ’17 435,0 293,5 341,9
Des ’18 489,7 329,3 380,0
Des ’19 538,3 365,1 425,3
Des ’20 608,9 394,6 475,8
(sumber: OJK)