Tidak banyak orang yang seberuntung Tribuana Tunggadewi. Tidak juga, orang lain dalam posisinya sekarang. Sebagai seorang yang dipercaya menjadi juru bicara sebuah bank milik negara, dia bisa belajar langsung dari pimpinan. Bahkan sebaliknya dia juga bisa sekaligus belajar memimpin.
Ya, sebagai Sekretaris Perusahaan BNI 1946, perempuan berkerudung ini tentunya sering mengikuti rapat bersama jajaran direksi karena ditugaskan sebagai notulen. Dari situlah dia merasa dapat langsung mengambil ilmu terutama soal kepemimpinan. “Nah di situ saya belajar banyak, terutama karena saya harus memahami apa yang saya catat sebagai hasil notulensi rapat tersebut,” kata perempuan yang akrab dipanggil Dewi ini.
Bahkan karena sudah bertahun-tahun mengikuti rapat direksi, Dewi mulai memahami secara umum bagaimana bisnis perbankan bekerja. Misalnya saja, bagaimana seorang top manajer itu memutus sebuah masalah, apa pertimbangan yang harus dipikirkan, juga bagaimanan cara menjalankan bank ini, dan hal-hal lainnya. “Apalagi direksi di BNI itu ada 10, dan masing-masing memilki karakter yang berbeda. Ini menjadi poin pembelajaran saya.”
BERITA TERKAIT
Dewi yang sudah menjalankan tugas sebagai juru tulis rapat selama masa kepemimpinan tiga orang direktur utama pun mengaku keranjingan atas pekerjaan sampingannya itu. Saefuddin Hasan, Sigit Pramono dan terakhir Gatot M Suwondo adalah deretan direktur utama yang sudah merasakan ‘servisnya’.
Namun di sisi lain, perempuan berusia 45 tahun ini juga mengaku tengah belajar dari jabatan yang diembannya. Sebagai Corporate Secretary, dirinya membawahi beberapa divisi, seperti divisi hubungan investor, corporate branding, divisi hukum dan good corporate governance (GCG), serta fungsi kepatuhan. “Saya awalnya seorang spesialis di legal, kepatuhan dan GCG. Karena sejak masuk BNI, lingkungan itu yang menjadi fokus pekerjaan saya, yang tentu cocok dengan latar belakang pendidikannya di bidang hukum,” tutur Dewi yang mendapatkan gelar sarjana hukum dari Universitas Indonesia.
Ketika menjalankan tugasnya, dia dituntut untuk menerapkan prinsip GCG dan berbagai model kepatuhan yang sebelumnya hanya berupa konsep baginya. “Dulu saya hanya membuat program, menilai kepatuhan direksi seperti apa, namun kini saya harus menerapkannya sendiri,” katanya.
Lantas bagaimana Dewi harus menerapkan itu semua ketika harus membawahi divisi yang begitu banyak? Bagi Dewi, seorang pemimpin itu harus memahami karakter anak buahnya sekaligus juga berupaya memahami setiap materi dari pekerjaan bawahannya. “Artinya kita tidak buta soal apa yang mereka buat, tetapi kita juga memahami apa yang mereka kerjakan. Sehingga keputusan yang diambil itu benar. Kalaupun ada hal-hal baru, saya pasti undang diskusi anak buah saya dan diskusi dan mencari kesepahaman sehingga keputusan cepat diambil,” ungkap Dewi.
Yang tidak kalah pentingnya adalah cek dan ricek. Tujuannya agar semua pekerjaan berjalan benar, dan apa yang sudah dilakukan sesuai target atau tidak. “Ini tidak hanya melalui telepon, tetapi saya biasanya terjun langsung bergabung dengan mereka.”
Melandasi semua itu, Dewi rupanya sangat menaruh kepercayaan kepada tim kerjanya. Dengan pekerjaan yang cukup beragam, Dewi selalu memberikan kepercayaan kepada bawahannya, dan yakin bahwa mereka akan berbuat yang terbaik. “Karena teman-teman di Corporate Secretary BNI secara teknis sudah sangat menguasai. Tinggal saya melakukan pengecekan dari sisi prosedurnya, apakah sudah sesuai,” ungkap Dewi.
Melihat antusias dan kegembiraan Dewi dalam melakoni pekerjaannya saat ini mungkin tidak ada yang menyangka bahwa awalnya dia tidak terlalu yakin dalam menjalani pilihan berkarier di bank. “Awalnya hanya ingin merasakan bagaimana berkarier di bank. Ternyata, saya menyenanginya dan banyak aspek legal yang terkait dengan transaksi perbankan, kepatuhan terhadap peraturan BI (Bank Indonesia, pasar modal, dan lain-lain,” tutur Dewi. SP/Romualdus