Diakui atau tidak setiap bank memiliki kemungkinan sama besar untuk mengalami kejadian fraud. Mengutip Supriyanto (2011) kejahatan bank sudah ada sejak bank itu terbentuk. Hal ini didukung oleh penelitian Association of Certified Fraud Examiners (2004 Report to The Nation on OccupationalFraud & Abuse) yang dilakukan terhadap 500- an kasus fraud perusahaan di Amerika Serikat (AS) pada 2003. Ternyata industri perbankan menduduki peringkat kedua dari 15 klasifikasi industri yang diperiksa.
Secara khusus untuk kasus Indonesia, sederatan bank pernah mengalami kerugian akibat fraud, bahkan beberapa tahun terakhir, juga terjadi di bank syariah. Sebagai lembaga keuangan yang berbasis keyakinan dan penerapan nilai-nilai agama, bank syariah mendapat beban berat karena dianggap seharusnya mampu menjaga nilai dan etika dalam setiap kegiatannya. Kasus terakhir yang menimpa Bank Syariah Mandiri (BSM), dapat dikategorikan sebagai occupational fraud. Yakni kejahatan yang dilakukan karena adanya keterlibatan seseorang yang menduduki posisi tertentu.
Aktivitas ini terjadi meliputi tindakan penggelapan (clandestine), pelanggaran tugas dan tanggug jawab (fiduciary duties), serta kesengajaan melakukan kecurangan untuk kepentingan sendiri dengan membebankan biayanya kepada perusahaan. Tindakan penggelapan dilakukan dengan menempatkan aset tidak sebagaimana seharusnya (asset miss-appropriations), seperti pencurian uang kas (skimming-larceny) atau inventaris perusahaan, dan penipuan terhadap pengeluaran perusahaan (fraudulentdisbursement).
BERITA TERKAIT
Selain itu, bisa juga dilakukan dengan cara menggunakan pengaruhnya dalam transaksi bisnis untuk menguntungkan diri dan orang lain, bukan perusahaan tempat ia bekerja. Berupa suap atau korupsi.
Terakhir bisa dengan melakukan penyampaian laporan keuangan secara tidak benar.
Saring dengan Seleksi Lain
Sebenarnya kasus kejahatan perbankan bisa terjadi di setiap bank. Sebab utamanya terlebih jika hal itu menyangkut urusan kesalahan orang. Siapa saja tentu bisa melakukan kesalahan. Sehingga memilih Sumber Daya Manusia (SDM) dengan kredibilitas terbaik harus menjadi pijakan untuk menciptakan lingkungan dengan risiko kejahatan sekecilnya (low fraudenvironment).
Langkah awalnya, sangat bergantung pada personil yang direkrut. Tidak boleh ada kolusi dan kompromi soal penempatan SDM secara profesional.
Selain itu, rangkaian fit and proper test juga harus dilakukan sedemikian efektif agar mampu mendeteksi pihak-pihak yang berkemungkinan fraud pada kesempatan tertentu.
Pengendalian Internal yang Ketat
Langkah pencegahan fraud di bank perlu dilakukan dengan menciptakan pengendalian internal (internal control) yang yang solid dan komprehensif. Agar seluruh karyawan sadar dan merasa bertanggung jawab. Prosedur pengendalian yang tepat mencakup kontrol fisik atas aset, otorisasi, segregasi tugas, pengecekan independen, dan dokumentasi yang lengkap.
Kejelasan otorisasi dan segregasi, merupakan hal yang utama. Dalam pengawasan dan evaluasinya, hal ini bisa dilakukan secara strategis di antaranya dengan misalnya melakukan rotasi personal secara periodik, termasuk memantau gaya hidup karyawan.
Sehingga dapat diidentifikasi manakala ada perilaku yang agak keluar dari kewajaran. Hal ini contohnya seperti yang dilakukan Nabi Yusuf untuk menguji kebenaran tujuan dari rencana para saudaranya.
Bebas Gratifikasi
Gratifikasi dapat menjadi awal terbukanya kesempatan mengambil keuntungan secara tidak sah yang memicu fraud. Praktiknya di bank hal tersebut dapat membuka peluang untuk memberikan kemudahan pembiayaan di luar standar, korupsi dalam pengadaan barang dan jasa, juga menimbulkan hubungan pemasaran yang tidak benar.
Bank mungkin perlu mengurangi tekanan atas target keuntungan yang mengabaikan aspek kepatuhan terutama pada penerapan nilai syariah. Di sisi lain, bank juga harus menciptakan iklim jera bagi penerimanya. Seperti memberhentikan oknum yang bersangkutan, memberi tahu keluarga atau orang terdekat mengenai perilaku tidak jujurnya, atau bahkan memasukkannya ke dalam daftar banker tercela (DOT).
Pengawasan Berlapis
Pengawasan berlapis dapat dilakukan langsung terhadap kinerjanya, pelaporan kyc nasabah, maupun pantauan khusus kepada personil secara harian, incidental ataupun dengan cara mengawasi gaya hidupnya. Hal itu, lazimnya merupakan tugas dan fungsi dari Direktur kepatuhan dan satuan kerja audit intern (SKAI) bank.
Namun dalam bank syariah peran Dewan Pengawas Syariah diharapkan dapat lebih besar lagi. Terutama terhadap transaksi yang memiliki kecendrungan pelanggaran syariah dengan unsur risiko yang relatif besar.
Membangun Budaya Ihsan
Ihsan berarti selalu merasa diawasi. Dalam bahasa auditing dikenal dengan istilah proactive fraud auditing yakni membangun iklim di mana masingmasing personil setiap saat senantiasa mendapat review atas kinerjanya. Hal ini terutama untuk memastikan kepekaan auditor internal bank dan DPS dalam mendeteksi dan menanggulangi fraud.
Edukasi risiko Fraud
Namun di samping hal tersebut di atas, secara jangka panjang diperlukan upaya pencegahan yang bersifat fundamental melalui pendidikan etika dan penanaman nilai-nilai syariah dalam bentuk kurikulum anti-fraud. Upaya ini dibutuhkan terutama untuk membentuk moral yang baik dan mencegah perilaku penyalahgunaan wewenang professional yang semestinya dihindari.