Sejarah tercipta pada 1 November ini ketika perusahaan alumunium terbesar di Asia Tenggara yang selama 35 tahun berada dalam penguasaan Jepang kembali ke pangkuan pemerintah RI. Setelah melalui negosiasi alot nan berliku akhirnya perusahaan yang berdiri 6 Januari 1976 itu menjadi perusahaan negara nomor 105.
Pada awal pendirian, Jepang menguasai hingga 90 persen saham PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Namun sejak 1998 hingga saat ini, setelah terjadi peninjauan ulang, saham Indonesia meningkat menjadi 41,13 persen.
Pemerintah, karena itu harus membeli kepemilikan 58,87 saham Jepang yang nilainya mencapai 558 juta dollar AS merupakan penawaran final yang diajukan Indonesia.
BERITA TERKAIT
Angka tersebut sejatinya lebih rendah dari perhitungan awal nilai buku versi Nippon Asahan Aluminium (NAA), pemegang saham dari Jepang, yang mencapai 626,1 juta dollar AS. Akan tetapi angka itu lebih tinggi dari perhitungan auditor pembangunan negara yang sebesar 424 juta dollar AS. Untuk itu pemerintah akan mentransfer dana sesuai yang disepakati dalam Master Agreement (MA), yaitu sebelum 1 November 2013 ke bank yang sudah ditentukan di Tokyo.
Untuk menguasai saham Inalum, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp7 triliun untuk mengantisipasi flutuasi nilai tukar. Bila masih ada sisa, maka dana tersebut akan dikembalikan kepada negara. “Dana sebesar Rp7 triliun sudah dialokasikan kepada Kementerian Keuangan, Rp5 triliun sebagai plafon, dan Rp2 triliun dititipkan kepada Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Angka 558 juta dollar AS sudah fix, sisa yang dianggarkan pasti akan dikembalikan kepada pemerintah nanti,” jelas Menteri Perindustrian, MS Hidayat.
Sementara itu, lembaga legislatif, melalui Komisi VI telah menandatangani enam butir kesepakatan pengalihan saham sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Dengan kesepakatan ini, pemerintah bisa segera bertindak sesuai dengan aturan yang berlaku. Pertama, Komisi VI DPR memberikan persetujuan usaha tim perunding proyek Asahan melalui Keputusan Presiden RI nomor 27 tahun 2010 dan meminta proses pengambilalihan bisa terlaksana. “Dengan demikian Inalum menjadi 100 persen milik Indonesia terhitung sejak 1 November 2013,” kata Ketua Komisi VI Airlangga Hartarto saat rapat kerja Inalum di Jakarta.
Kedua, Komisi VI DPR menyetujui transfer langsung atas nama pemerintah Indonesia sesuai kesepakatan dengan NAA yang tertuang dalam kesepakatan induk beserta addendum-nya dan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga, Komisi VI DPR juga meminta pengelolaan Inalum setelah berakhirnya perjanjian, berada di bawah pembinaan Kementerian BUMN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keempat, Komisi VI menerima keinginan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara dan 10 pemerintah kabupaten atau kota sekawasan Danau Toba dan Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan atau daerah strategis proyek Asahan untuk berpartisipasi memiliki saham Inalum dengan catatan saham pemerintah dipertahankan minimal 70 persen. Kelima, Komisi VI akan mengawasi pelaksaan hasil rapat kerja ini melalui Panja Inalum.
“(Keenam) Komisi VI juga meminta pemerintah segera merealisaasikan pembayaran annual fee dan dana lingkungan yang tertunggak kepada pemerintah provinsi atau pemerintah daerah Sumatra Utara dan kabupaten atau kota terkait,” tambah Airlangga. Tepis Keraguan
Inalum adalah usaha patungan pemerintah Indonesia dengan Jepang. Proyek ini didukung aset dan infrastruktur dasar, seperti pembangkit listrik tenaga air dan pabrik peleburan aluminium berkapasitas 230-240 ribu ton per tahun. Pada awal pendirian, Jepang sampai menguasai 90 persen saham. Kemudian sejak 1998 hingga saat ini, setelah terjadi peninjauan ulang, saham Indonesia bertambah lebih dari 300 persen (41,13).
Lalu yang menjadi pertanyaan adalah, setelah lepas dari Jepang, apakah sumber daya manusia Indonesia cukup mumpuni mengelola ase-aset sebesar Inalum? Saat ini memang muncul banyak keraguan terkait pengelolaan perusahaan sebesar Inalum oleh Kementerian BUMN.
Dahlan Iskan, orang nomor satu di kementerian itu mengakui memang ada isu yang berkembang, bahwa Inalum tak akan sukses diambil pemerintahan Indonesia. Namun menurut Dahlan, kekhawatiran ini tidak perlu terjadi, karena manajemen Inalum sudah mempunyai strategi. Termasuk kontrak penjualan produk Inalum juga sudah diatur, dan jelas pembelinya.
“Memang ada isu yang berkembang, terutama yang tidak suka kepada Pak SBY, bahwa jika nanti dipegang Indonesia, pabrik ini akan gagal. Baik mendapat bahan baku, maupun menjual produk Inalum,” jelas Dahlan.
Kemampuan mengelola memang menjadi concern dari banyak pihak. Pasalnya selama dua dekade terakhir, Inalum menghadapi beberapa persoalan, seperti penurunan debit air Danau Toba dan rendahnya tenaga listrik yang dihasilkan PLTA Asahan II. Akibatnya, produksi Inalum merosot, hanya mampu memproduksi 82,2 persen dari total kapasitas yang ditargetkan sebesar 225.000 ton.
Namun demikian, Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Inalum, Nasril Kamarudddin mencoba menepis keraguan banyak pihak terhadap masa depan pengelolaan Inalum setelah sepenuhnya dikuasai Indonesia. Ia mengatakan, manajemen telah siap mengelola Inalum sepenuhnya, bila memang dipercaya. “Kami siap mengambilalih manajemen Inalum dari Jepang,” tegasnya.
Nasril menegaskan, putra-putri Indonesia yang bekerja di Inalum selama ini sudah menguasai semua teknologi perusahaan. Termasuk mengoperasikan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan peleburan aluminium. “Orang Jepang sendiri sudah sangat sedikit yang masih bergabung di Inalum, hanya beberapa orang saja. Salah satunya Presiden Direktur,” katanya.
Nasril menambahkan, masyarakat belum banyak yang mengetahui, sebenarnya sejak 1990-an operasional Inalum sudah sepenuhnya ditangani putra-putra Indonesia. Perusahaan sudah tidak lagi bergantung dengan tenaga ahli dari Jepang. Bahkan sistem perawatan pabrik pun mampu dijaga dengan baik. “Justru pihak Jepang khawatir kalau Inalum tidak mau lagi memakai suku cadang pabrik dan pembangkit listrik dari mereka,” ujarnya.
Nasril mengemukakan, menjelang pengambilalihan Inalum oleh Pemerintah Indonesia, kinerja perusahaan peleburan aluminium satu-satunya di Indonesia ini tetap berjalan baik. Tidak hanya kesiapan SDM yang sudah jauh-jauh hari direncanakan, manajemen juga telah mempersiapkan alih teknologi sejak beberapa tahun yang lalu.
Hal itu terlihat dari kinerja bisnis dan keuangan yang hingga saat ini begitu kinclong dan tetap mempunyai prospek menguntungkan. Sepanjang 2004–2012, perusahaan berhasil membukukan laba bersih 178 juta dollar AS atau rata-rata 97,5 juta dollar AS per tahun, serta demand domestik yang jauh lebih besar dari kemampuan produksi. Manajemen juga terus menjaga dan menjalankan operasional pabrik peleburan dan PLTA dengan sangat baik melalui sistem pemeliharaan atau perawatan, renewal, peningkatan teknologi pada fasilitas dan peralatan secara berkala, di pabrik peleburan maupun PLTA guna mempertahankan jumlah produksi secara efektif dan efisien.
Sebetulnya, jumlah produksi perusahaan masih bisa ditingkatkan lagi karena semua infrastruktur yang ada telah mendukung itu serta fasilitas dan peralatan yang ada dalam masih prima. Hal itu dapat dibuktikan dengan melonjaknya kemampuan produksi sudah terjadi beberapa tahun ini. Awalnya, kapasitas produksi aluminium didesain 225.000 ton per tahun, tetapi pada saat ini bisa mencapai 250.000 ton.
Tidak hanya faktor produksi yang patut diacungi jempol. Perusahaan juga telah berhasil mengantongi beberapa sertifikat. Sejak 1998, perusahaan sudah memiliki sertifikat ISO 9001, kemudian SPS Code sejak 2005 dan akreditasi laboratorium ISO 17025 sejak 2010. Inalum juga berhasil meraih berbagai sertifikasi di bidang lingkungan seperti ISO : 14001, bendera emas untuk SMK 3, serta Certification of Emision Reduction (CER) dari UNFCCC pada 19 Maret 2013. Kemudian perusahaan mampu melakukan penghematan energi pada pemakaian air baku di pabrik peleburan aluminium Kuala Tanjung, mengefisiensikan pemakaian air di PLTA dan mengefisiensikan energi listrik.
Perusahaan pencetak batangan aluminium (ingot) ini juga telah melunasi utang investasi pada 2009 dan meraih laba bersih 878 juta dollar AS sejak 2004-2012 atau rata-rata 97,5 juta dollar AS per tahun. Kemudian sepanjang 2006-2011, perusahaan memberikan pajak perusahaan senilai 203 juta dollar AS kepada Negara. Selain itu ada juga annual fee sepanjang 1982-2011 sebesar 145 juta dollar AS dan dana penanggulangan lingkungan 1999-2011 senilai 82 juta dollar AS. “Ini merupakan bentuk kontribusi Inalum kepada negara dan daerah di Sumatra Utara,” kata Nasril.
Rencana Ke Depan
Setelah sepenuhnya berada dalam genggaman penuh pemerintah, rencana penawaran saham perdana alias Initial Public Offering (IPO) yang pernah terbetik beberapa waktu yang lalu bisa diwujudkan. Dengan strategi itu, dipastikan tambahan modal dari pembagian saham yang dijual ke publik akan semakin cepat mendongkrak kinerja perusahaan. Memang, pemerintah pernah mengemukakan rencana mendorong Inalum untuk IPO. Karena pemerintah memahami, jika Inalum ingin menjadi raksasa di Asia.
Pemerintah telah memperkirakan total kebutuhan dana yang dibutuhkan untuk pengembangan Inalum hingga 2025 diperkirakan mencapai 3,9 miliar dollar AS. Data riset PT Redmond mencatat, perusahaan menunjukkan pertumbuhan laba bersih cukup tinggi, sebesar 171 persen compounded annual growth rate (CAGR) untuk periode 2010-2012. Deny Chen, Ekonom Redmond, mengatakan Inalum tergolong perusahaan yang diprediksi akan banyak menarik investor. Karena memang satu-satunya perusahaan peleburan aluminium di Indonesia yang memiliki fasilitas lengkap.
Tidak hanya itu, Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bauksit cukup besar yang merupakan salah satu komponen yang dibutuhkan untuk memproduksi aluminium. “Potensi bauksit ini mendukung ketersediaan bahan baku produksi dan mempertegas posisi perusahaan bila benar-benar sudah masuk di bursa,” kata Deny.
Dia mengakui, pertumbuhan laba bersih Inalum memang baru kelihatan beberapa tahun terakhir. Sebelumnya perusahaan ini pernah mencatatkan kerugian akibat rendahnya tingkat produksi rata-rata seiring kekurangan daya listrik dan rendahnya harga aluminium di pasar dunia. Selain itu, laba bersihnya sebelumnya dipergunakan untuk menutupi jumlah hutang jangka panjang yang baru selesai dibayarkan pada tahun 2009 silam.
Namun setelah itu kinerja korporasi semakin positif. Pada 2012, sebelum audit, Inalum sudah mampu mencatatkan laba bersih 61 juta dollar AS. Bahkan pada tahun sebelumnya, dividen yang dibagikan pun sudah mencapai 57 juta dollar AS. Laporan keuangan positif ini didapat sejak 2011. Setelah Inalum tidak lagi harus membayar utang jangka panjang dari pinjaman modal operasional selama ini. Kinerja keuangan korporasi semakin menggembirakan selama beberapa tahun terakhir. Sejak 2004 sampai 2012, total laba bersih kita sudah 878 juta dollar AS atau rata-rata 97,5 juta dollar AS per tahun. Potensi Inalum dalam negeri cukup memadai karena memiliki comparative advantage terhadap produk impor, terutama dalam biaya produksi, kualitas, transportasi dan jarak.