Kemunculan mata uang yang menjadi alat pembayaran dan juga investasi, bitcoin, mengagetkan pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan ekonomi tak terkecuali Bank Indonesia. Sebagai otoritas moneter, BI jelas harus paham betul soal bitcoin dan beberapa mata uang digital yang muncul beberapa tahun belakangan.
Berdasarkan riset yang dilakukan bank sentral diketahui bahwa uang yang ngetren di kalangan komunitas dunia maya itu memiliki sederet risiko yang tidak kecil. Risiko itu kemudian bertambah karena BI sendiri tidak mengakui itu sebagai alat pembayaran. “Transaksi dengan bitcoin tidak bisa dilacak. Tidak ketahuan. Jadi bitcoin, mulai dari penciptanya saja menggunakan nama samaran sebagai orang Jepang, rupanya orang Amerika,” kata Difi Ahmad Johansyah, kepada wartawan Stabilitas Romualdus San Udika dan Agustaman serta fotografer Judi Hertanto.
Meski demikian BI tidak bisa melarang individu atau komunitas yang ingin menggunakannya, hanya saja tidak ada jaminan jika transaksi atau investasi itu belakangan merugikan konsumen. Bahkan BI mengetahui mulai ada bank di Indonesia yang menerima transaksi bitcoin.
Hingga saat ini BI memang belum mengeluarkan aturan yang mengizinkan atau melarang penggunaan bitcoin. BI hanya mengatakan bahwa sebelum ikut-ikutan mencari dan menggunakan bitcoin, masyarakat harus mempelajari dan memahami dulu risikonya.
Saat ini muncul alat pembayaran digital atau virtual yang tidak ada bentuk uang fisiknya. Bagaimana BI melihat itu?
Pertama, yang namanya alat pembayaran, itu adalah dikeluarkan oleh satu lembaga yang jelas, sehingga jika alat pembayaran tersebut tidak laku, lembaga tersebut akan bertanggung jawab. Jika rupiah ditolak orang, maka BI yang akan bertanggung jawab. Itu kriterianya.
Yang kedua, alat pembayaran itu jelas tempat penukarannya, kita pernah ke food court untuk tukar kupon. Itu namannya token. Itu berlaku hanya di daerah tersebut. Kembali lagi jadi uang. Nah, ini juga harus jelas, ditukarkan ke mana sehingga tidak merugikan nasabah.
Dan soal falsafah uang juga harus jelas. Motif bank sentral mengeluarkan uang ada tiga. Pertama sebagai alat pembayaran dalam transaksi perekonomian. Karena kita dalam menghitung uang beredar pun berdasarkan dari aktivitas perekonomian. Kedua adalah motif berjaga-jaga, jika banjir kita butuh uang tunai, lebaran juga orang butuh uang tunai. Dan ketiga, adalah store of value, yakni investasi. Ada orang menyimpan uang.
Namun yang paling penting adalah harus ada yang menjamin ketiga hal tersebut di atas.
Nah kini, muncul satu dimensi baru. Bahwa falsafah uang itu ada border fisiknya, ada batas lintas negara. Karena uang dilahirkan dengan undang-undang. Misalnya rupiah tidak bisa diperdagangkan di luar daerah Indonesia. Harus dipakai di dalam negeri.
Bagaimanan dengan uang digital semacam bitcoin?
Ini menarik. Ini hal baru namun ada konsekuensinya. Saya mungkin berbeda dengan pendapatan otoritas moneter atau gubernur bank sentral negara lain. Saya lebih tertarik dengan style Amerika dan China bahwa ini adalah fenomena. Karena bitcoin dilarang pun akan muncul alternatif pembayaran yang lain. Karena ini adalah kebutuhan di dunia maya, dan memang menggiurkan.
BERITA TERKAIT
Lalu sikap BI?
Kalau saya pribadi melihat bitcoin ada risikonya. Siapapun harus ada yang bertanggungjawab dengan itu. Kita bisa melihat bitcoin dari sisi kepraktisan. Memang bitcoin ini popular di dunia maya karena kepraktisannya. Sama halnya dengan orang tidak mau lagi menggunakan emas karena ada uang kertas yang lebih diterima dimana-mana. Nah sekarang ini, di online (dunia maya) mata uang fisik seperti rupiah tidak bisa dipakai, sementara online trading semakin banyak. Sehingga lebih praktis ya menggunakan uang seperti bitcoin. Hanya saja, di Indonesia, secara hukum alat transaksi yang legal adalah rupiah. Karena tadi, semuanya harus dilihat dari kaca mata perlindungan konsumen. Kalau rupiah ditolak, orang bisa komplain ke BI, tetapi kalau bitcoin ditolak, orang bisa komplain kemana.
Lalu kalau mata uang seperti rupiah, rekam jejak transaksinya bisa dilacak, ketahuan. Makanya PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dengan gampang melacaknya. Persoalannya, transaksi dengan bitcoin tidak bisa dilacak. Tidak ketahuan. Jadi
bitcoin, mulai dari penciptanya saja menggunakan nama samaran sebagai orang Jepang, rupanya orang Amerika. Kalau demikian, apakah kita mau masuk ke sana?
Apa motif penciptaan bitcoin,menurut Anda?
Saya melihat motif bitcoin ada dua. Pertama ada keinginan orang untuk investasi. Kedua ada yang untuk transaksi, karena memang praktis. Kalau dia murni sebagai alat transaksi pembayaran, oke-oke saja selama itu di dunia maya. Tetapi kalau misalnya orang beli bitcoin untuk investasi, semua orang tahu bahwa tidak ada stock market yang naik terus. Suatu saat akan jebol.
Demikian juga dengan bitcoin, suatu saat ada saingan baru. Karena orang melihat bitcoin menguntungkan, maka mendorong orang untuk membuat yang baru lagi. Maka nilai bitcoin akan berkurang. Kondisi ini sama dengan reksadana dulu, ketika harga turun, semua orang ribut dan panik. Reksadana
juga ditinggalkan orang.
Kenapa ini bisa dijadikan investasi?
Karena menarik. Seperti dalam riset kita, bitcoin ini jumlahnya terbatasi, produksinya dikuota. Masa uang dibatasi? Ini beda dengan rupiah. BI dalam mencetak uang, biasanya ditanyakan dulu ke masyarakat, kebutuhan uangnya berapa banyak di tiap daerah dengan segala macam jenis transaksinya. Ini yang kita cetak. Berapa pun kebutuhan kita, kita harus cetak. Tidak ada rumus BI harus membatasi seperti halnya bitcoin. Jadi kalau bitcoin ada pembatasan, ini bertabrakan dengan falsafah alat pembayaran. Namanya uang tidak boleh dibatasi.
Jadi karena orang melihat bitcoin dibatasi, maka harganya naik terus. Inilah risiko yang pertama.
Risiko yang kedua, kita tidak pernah tahu kalau saat ini jumlahnya sedikit. Tetapi nanti, kemudian bisa dijadikan sebagai money laundry, karena tidak bisa dilacak. Uangny ada di komputer semua.
Lalu arah regulasi BI kemana?
Kemungkinan besar kita tidak akan masuk (mengatur) ke dunia maya. Tetapi ketika dikeluarkan sebagai alat pembayaran, akan kita larang. Ini memang ada di beberapa area regulasi. Di BI adalah area undang-udang mata uang, sementara di Kemenkominfo adalah area UU ITE (Informasi, Transaksi Elektronik). Di mana UU itu mengatakan bahwa semua infrastruktur alat pembayaran itu harus diverifikasi oleh Kemenkominfo. Kita memang akan kerjasama dengan Kemenkominfo. Karena mereka yang punya kewenangan audit dan verifikasi.
Soal sikap bank sentral lain?
Itu tergantung kultur. Amerika sebagai tempat lahirnya bitcoin, itu sangat terbuka. Dan apa pun perkembangannya mereka akan dukung. (Alan) Greenspan (mantan Ketua The Fed) mengatakan inilah future money. Tetapi di sisi lain dia mengingatkan ini akan disalahgunakan sebagai illegal online payment. Sementara Prancis, sampai pada himbauan untuk berhati-hati dan tanggung sendiri risikonya. China, melarang bank untuk bermain di bitcoin, tetapi individu silahkan bermain bitcoin, tetapi risiko tanggung sendiri. Mirip dengan Thailand.
Pilihan Anda?
Saya cenderung mengambil pola Asia. Jadi lebih kepada kesadaran masyarakatnya. Harus dipahami bahwa kalau ada demand untuk bitcoin, siapa yang harus men-supply. Jadi kalau mencetak uang harus ada yang mem-backup dan mengaudit. Bitcoin tidak ada yang backup dan juga tidak bisa diaudit karena tidak bisa dilacak. Ini grey area karena tidak ada batasnya.
Apakah memang perlu dilarang?
Bagaimana cara melarangnya. Harusnya Kemenkominfo yang terlebih dulu melarang, karena verifikasi awal sebagai infrastruktur alat pembayaran ada di mereka. Ini policy dunia cyber.
Jadi memang muncul bitcoin ini oleh karena adanya permintaan di dunia maya. Dan itu permintaannya semakin besar. Cuma saya percaya ada orang yang mengatakan bahwa apapun yang menciptakan investasi, pasti ada saingannya. Suatu saat bitcoin bisa bubble. Di Amerika dikatakan bitcoin sudah melobi White House dengan menyewa lawyer yang hebat. Itu Amerika, karena mereka sangat bebas.
Pesan BI untuk masyarakat?
Pelajari dulu apa itu bitcoin. Kalaupun mau ikut-ikutan sekarang, sudah telat, karena harganya sudah turun. Nah, ada yang memang selalu memakai bitcoin, tetapi itu di komunitas IT seperti hacker, dll, dan mereka sudah memahami risiko bitcoin. Kalau tidak mengerti, sebaiknya tidak perlu ikut-ikutan. Itu irasional.
Kesimpulan?
Jadi intinya, kita ingin pengembangan digital payment itu harus dari permintaan, bukan dari pengembangan agen pemasaran. Kalau sudah seperti itu pasti bermasalah. Bitcoin bisa dilihat sebagai untuk memudahkan transaksi, tetapi saya tidak mau mengatakan uang. Bukan untuk investasi. Jadi dia lebih tepatnya token, seperti Prancis yang menyebutkan token digital.
Di Indonesia ada bank swasta besar yang melayani pembelian bitcoin, melalu cabang mana kita tidak tahu. Apa karena mereka melihat belum ada yang mengatur.
BI dari sisi legal tender, alat transaksi pembayaran. PPATK dari sisi money laundering. Kemenkomnfo yang memverivikasi sebagai online payment. Apakah kita akan audit bareng-bareng. Kita sudah adakan pertemuan.
Orang sadar akan volatilitas bitcoin, tetapi beda dengan rupiah jelas bahwa kalau melemah karena inflasi atau current account deficit, dll. Bitcoin melemah terhadap apa? Tidak jelas. Sebagian besar IT komunitas, dan mereka pada umumnya tidak mau dikenal. Sama halnya dengan pendiri bitcoin, samaran, ini bermasalah.
Proses pembayaran lewat online akan terus berkembang. Tetapi itu ada yang illegal dan legal. Nah, siapa yang mengawasi itu semua?
Keamanan dan kenyamanan itu berbanding terbalik. Kalau Anda ingin nyaman, maka Anda mengorbankan keamanan. Seperti aktivitas klik ketika online gambling. Tidak sadar kita merugi di angka yang sangat besar.
Sebaliknya jika ingin aman, anda akan mengorbankan kenyamanan. Ini memang butuh beberapa tahap, dan memang mengajarkan kita sebagai user untuk berpikir lebih dahulu. Lebih berhati-hati.