JAKARTA, Stabilitas—Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Hendrikus Passagi, mengatakan hingga saat ini baru 1 fintech yang mengantongi ijin dari OJK sedangkan 99 lainnya masih berstatus terdaftar.
“Jumlah ini sudah banyak daripada akhir 2018 kemarin baru 11 penyelenggara terdaftar,”kata Hendrikus di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Rabu (6/3/2019).
Menurutnya, untuk mengantongi status berijin, fintech peer-to-peer lending harus menunggu selama setahun namun kerap penyelenggara menemui kendala dalam mendaftarkan perusahaannya ke OJK. Dalam paparannya, Hendrik menambahkan, tak hanya melengkapi data administrasi, pihak penyelengara juga perlu memenuhi 3 syarat lainnya agar terdaftar secara resmi di bawah OJK.
“Yang pertama tentu saja teknologi dan sarana yang memadai dari pihak penyelenggara,”kata Hendrik.
Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai menurutnya merupakan unsur mutlak terselenggaranya usaha yang baik dan menjadi kekuatan utama usaha fintech pendanaan. Selain memiliki sarana, fintech juga harus terdaftar di Kementerian Komunikasi dan Informasi.
“kalau ada teknologi yang baik, konsumen aman dan ada jaminan perlindungan dan keamanan bagi penggunanya,”papar dia,
Selain itu, syarat kedua yang harus dipenuhi adalah perusahaan harus memiliki tata kelola perusahaan atau Good Corporate Governance (GCG) yang baik. Dalam pelaksanaannya, pihaknya selalu mewajibkan penyelenggara memiliki rangkaian sistem prosedur operasi yang dikelola dengan baik. Karena menurut Hendrik, pihaknya selalu melihat bagaimana perusahaan mengelola risiko yang ditimbulkan pada saat usaha yang diselenggarakan berjalan, mengelola lembaga, model bisnis serta mengatasi adanya potensi pencucian uang dalam usaha.
“Kita harus bisa lihat semuanya. Mampu atau tidak mereka jalankan usahanya. Itu jadi pertimbangan yang penting juga,”imbuh Hendrikus.
Sedangkan syarat yang ketiga, kata Hendrik, setelah memiliki teknologi dan tata kelola yang baik, penyelenggara tentu harus memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai dan handal di bidang ini.
“Ini yang sering jadi masalah di pintech lending, penagihan tidak beretika kan dilakukan oleh SDM yang tidak kompeten di bidangnya,”kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya meminta asosiasi untuk membuat pelatihan dan menciptakan code of conduct (CoC) sebagai panduan dalam menjalankan usaha peminjaman ini serta menghimbau agar asosiasi membuat peraturan yang berbeda dengan China.
“Kita punya sistem yang berbeda dan tentu caranya juga beda,”pungkas Hendrikus.