JAKARTA, Stabilitas—Perang dagang yang terjadi di antara dua negara raksasa dagang , Amerika dan China rupanya tidak melulu membawa dampak negatif bagi negara lainnya. Salah satunya Indonesia. Menurut INDEF (Institute for Development of Economics and Finance), perang dagang berpotensi membawa berkah bagi investasi Indonesia. Nilai investasi di Indonesia hanya akan bertambah sebesar 0,011 persen.
Alasannya, investor AS maupun di Tiongkok akan lebih memilih negara tetangga untuk berinvestasi. Indonesia dengan potensi pasar domestik yang besar menjadi salah satu kandidat negara yang akan menerima limpahan investasi tersebut. Namun demikian, limpahan investasi tersebut kurang ‘nendang’ bagi Indonesia karena kalah dibandingkan dengan negara-negara tetangga semisal Malaysia, Thailand dan Vietnam. Peringkat daya saing Indonesia pada 2018 berada pada posisi 45, jauh dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand.
Dalam releasenya, INDEF menyatakan,sektor industri dirgantara Indonesia menjadi sektor yang paling diuntungkan dari adanya perang dagang Amerika Serikat – Tiongkok.
Hal ini disebabkan baik AS maupun Tiongkok memilih untuk memberikan tarif impor pesawat terbang dan perlengkapannya. Indonesia memiliki kesempatan memasuki segmen industri pesawat terbang (komponennya).
Selain industri pesawat dan jasa perbaikannya, sektor berikutnya yang mendapatkan dampak positif perang dagang adalah barang hasil pengecoran logam dan barang elektronik, komunikasi dan perlengkapannya.
Selain menyampaikan prediksinya, INDEF juga menyiapkan berbagai straegi guna menghadapi perang dagang yang berdampak bagi perekonomian dunia.
Menurut INDEF, Indonesia perlu melakukan ekspansi pasar dan penguatan pasar regionaldengan cara melakukan perluasan pasar ke negara-negara dagang nontradisional (Afrika & Eropa Timur) dan negara-negara yang teridentifikasi terdampak perang dagang. Indonesia bisa menjadi penyuplai barang substitusi bagi negara tujuan ekspor. Kemudian melakukan penguatan pasar regional dengan pemberian nilai tambah yang tinggi kepada produk-produk ekspor tujuan Asia Tenggara, serta pemberian fasilitas pembiayaan, peminjaman, dan asuransi misalnya penurunan atau pembebasan bea keluar/ekspor.
Selanjutnya, melakukan kebijakan pengendalian impordengan cara menaikkan tarif bea masuk impor produk yang berdampak besar terhadap neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Indonesia juga perlu melakukan optimalisasi peran lembaga peneliitan dan peningkatan investasi (anggaran R&D) sebagai jalan mengoptimalkan inovasi produksi barang dalam negeri yang bernilai tambah tinggi dan mampu bersaing dengan barang luar negeri.