JAKARTA, Stabilitas–Pada 15 November, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan BI 7-Days Repo Rate (BI-7DRR) sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6 persen. Keputusan itu dikeluarkan melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang diselenggarakan di Kantor Bank Indonesia, Jakarta Pusat pada Rabu-Kamis, 14-15 November 2018.
Keputusan tersebut sebagai langkah lanjutan Bank Indonesia untuk memperkuat upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke dalam batas yang aman. Tercatat, sepanjang 2018, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 bps.
“Nilai tukar rupiah dan mata uang rupiah telah menguat di tengah perbaikan sentimen EM, hilangnya momentum dolar AS dan anjloknya harga minyak. Sejak awal bulan, rupiah telah menguat sebesar 2,7% dan merosot ke bawah level kunci 15.000. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun turun sebesar 40 basis poin dan tampaknya telah stabil sedikit di atas 8%.”, ungkap Duncan Tan, Strategist DBS Group Research.
Penguatan ini luar biasa besar dibandingkan dengan yang dialami EM lain di kawasan Asia. Bahkan, pelemahan rupiah di pasar luar negeri telah mereda secara signifikan (1M mengimplikasikan tingkat suku bunga di luar negeri telah terhubung kembali dengan tingkat suku bunga dalam negeri). Penguatan rupiah dan berkurangnya tekanan di pasar aset Indonesia seharusnya memberi Bank Indonesia (BI) peluang untuk mempertahankan kebijakan suku bunga hari ini.
Berdasarkan hasil riset DBS Group, Meskipun terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa suku bunga Indonesia telah keluar dari zona berbahaya, obligasi pemerintah Indonesia tampil menonjol sebagai salah satu yang paling menarik di antara obligasi dengan imbal hasil tinggi lain di Asia. Investor asing tampaknya sepakat dengan pandangan ini dan melakukan pembelian setiap kali terjadi dislokasi.
Sejak pertengahan September, kepemilikan asing telah meningkat sebesar USD3,3 miliar menjadi USD59,6 miliar. Perlu dicatat bahwa pembelian oleh investor asing tidak mereda bahkan saat rupiah melemah pada akhir September/awal Oktober.
“Indikator Valuasi Tingkat Bunga Asia (ARVI) kami masih menunjukkan nilai valuasi cukup rendah untuk obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun, walau dari sudut pandang teknis, kenaikan tajam menuntut kehati-hatian dalam jangka pendek”, imbuh Radhika Rao, Economist DBS Group.Radhika menambahkan, secara fundamental, defisit transaksi berjalan (2,8% dari PDB pada kuartal ke-3) patut dicermati. Perbaikan metrik ini, mungkin akan terjadi menyusul langkah-langkah yang diambil pihak otoritas dan jatuhnya harga minyak, akan diperlukan agar imbal hasil turun”