JAKARTA, Stabilitas–Otoritas Jasa Keuangan menyusun road map sustainable finance untuk mendorong jasa keuangan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang menghasilkan keselarasan bukan hanya profit namun juga dampak positif bagi sosial dan lingkungan. Kebijakan ini akan diterapkan mulai 2017 setelah disusun sejak Desember 2014.
Sustainable finance mengacu pada prinsip ekonomi berkelanjutan yang mencakup aspek ekonomi, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Hal ini sejalan dengan pengelolaan perubahan iklim melalui pengelolaan sumber daya alam, pengembangan sumber daya alternatif, serta pemeliharaan ekosistem yang terancam.
“Sustainable growth tidak bisa dilihat dari kredit dan sustainable economy saja. Pimpinan bank tidak hanya bisa melihat keuntungan. OJK menjelaskan ada kriteria baru, sustainable baru, lembaga bank orientasinya harus berubah,” terang Ahli Ekonomi sekaligus Ahli Lingkungan Hidup, Emil Salim pasa Media Workshop di Jakarta, Selasa (15/11).
Jauh sebelum OJK menyusun sustainable finance, Cina telah menerapkan regulasi bagi lembaga keuangan untuk memerhatikan dampak lingkungan dan sosial bagi masyarakat, hal tersebut bisa menjadi pertimbangan bagi Indonesia khususnya OJK untuk merubah sistem keuangan yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi.
“Ketika pembagunan itu akan berjalan maka perlu financing maka perlu sustainable finance atau 3 pilar. Ekonomi, people, lingkungan. Gak bisa berorientasi hanya pada profit, karena bisa aja pertumbuhan GDP tinggi tapi sosial rusak. Walaupun sudah ada di AMDAL masih banyak proyek yg berdampak negatif bagi sosial dan lingkungan. Cina sudah memasukkan regulasi ke lembaga jasa keuangan. Kita melihat itu bisa jadi pertimbagan, karena dampak lingkungan di Cina besar,” terang Deputi Komisioner Pengawas Perbankan, Mulya Efendi Siregar.
OJK akan memberi konsekuensi dan insentif bagi industri jasa keuangan yang memberikan kredit kepada industri berdampak pada lingkungan. OJK juga berharap agar regulasi ini nantinya industri jasa keuangan sadar akan dampak lingkungan dan sosial.
“Tentu ada konsekuensi dari OJK kepada bank yg memberi kredit pada perusahaan berdampak buruk. Bukan hanya sanksi, tapi insentif. Harapan kami dengan adanya regulasi itu antara profit dengan dampak sosial dan lingkungan, sebagai guidance di OJK ada pengawasan di masing2 sektor. Induknya akan ada POJK mengenai sustainable finance, pertengahan 2017. Bukan menutupi kelangsungan perusahaan yg beroperasi, namun jika ada kesadaran maka tidak akan sulit,” tutur Mulya.
Program keuangan berkelanjutan ini didukung oleh beberapa peraturan yaitu Undang-undang Perseroan Terbatas Nomor 40 tahun 2007, Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009, dan PBI tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum nomor 14/15/PBI/2012. OJK juga pernah bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menyelenggarakan Training Analisis Lingkungan (TAL) pada tahun ini, tujuannya untuk meningkatkan portofolio industri jasa keuangan pada sektor ekonomi ramah lingkungan khususnya sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi. (Ima)