Akad adalah akad baru ( uqud mustahdatsah/uqud mustajaddah ) dijelaskan oleh para ahli fkih dalam ijarahmaushufah f adz-dzimmah yang belum ini kitab turats. Oleh karena itu akad ini dikategorikan akad ghairi musamma’. Akad ijarahmaushufah f adz-dzimmah adalah gabungan dari akad ijarah dan akad salam, tetapi yang paling dominan adalah akad ijarah.
Ada beberapa karakteristik ijarah maushufah f dzimmah (IMFZ). Pertama, akad itu adalah akad ijarah dengan harga (upah) dibayar tunai, sedangkan obyek sewa diserahkan pada waktu yang disepakati. Kedua, akad IMFZ itu kombinasi dari dua akad, yaitu akad ijarah dan akad salam.
Disebut akad ijarah karena yang diperjualbelikan adalah jasa. Dan disebut akad salam karena obyek ijarah diserahkan tidak tunai. Oleh karena itu, akad IMFZ sering disebut salam jasa atau forward jasa (salam f al-manaf). Ketiga, manfaat barang atau jasa belum tersedia atau belum bisa dimanfaatkan pada saat akad. Keempat, umumnya dalam praktik kontemporer, penyewa membayar upah secara berangsur.
Rukun dan syarat ijarah ada tiga yaitu pihak-pihak akad (penyewa dan pihak yang menyewakan), shigat dan obyek ijarah (upah dan jasa). Syarat ijarah yang berkaitan erat dengan pembahasan ijarah maushufah f adz-dzimmah adalah syarat yang berkaitan dengan manfaat dan upah, diantaranya obyek ijarah (baik manfaat ataupun layanan) itu harus tersedia saat akad, karena tujuan penyewa adalah mendapatkan manfaat barang.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum IMFZ. Mayoritas ahli fkih berpendapat bahwa akad IMFZ itu boleh. Hanya madzhab Hanafah yang berpendapat bahwa akad IMFZ itu tidak boleh. Perbedaan pendapat ini lahir karena perbedaan pendapat mereka tentang hukum ijarah dan salam. Mayoritas ahli fkih berpendapat bahwa IMFZ itu boleh karena mereka membolehkan ijarah dan salam. Sedangkan Hanafah berpendapat bahwa IMFZ itu tidak boleh karena mereka tidak membolehkan ijarah dan salam.
Menurut standar AAOIFI di atas, transaksi IMFZ boleh jika memenuhi empat syarat. Pertama, obyek Ijarah jelas diketahui spesifkasinya. Jika obyek ijarahnya, tidak jelas, tidak bisa dituliskan ciri-ciri dan spesifkasinya, maka akad IMFZnya tidak sah, karena obyek yang tidak jelas adalah salah satu unsur gharar.
Kedua, manfaat itu bisa dimiliki muajjir (pihak yang menyewakan) dan bisa diserah terimakan pada waktu yang disepakati. Walaupun obyek ijarahnya belum ada, tetapi harus dipastikan bahwa muajjir bisa memiliki barang tersebut, dan muajjir bisa menyerahkannya kepada musta’jir (penyewa) pada waktu yang telah disepakati. Maka jika obyek ijarah tidak atau sulit dimiliki, maka akad IMFZ menjadi tidak sah karena ijarah terhadap barang yang tidak ada dan tidak akan ada.
Ketiga, sebagian barangnya harus wujud. Syarat ini adalah terjemahan dari syarat pertama dan kedua, maka sebagian yang signifkan dari obyek ijarah harus sudah tersedia saat akad, karena jika obyek ijarahnya tidak tersedia sama sekali, maka tidak bisa dijelaskan diepakati, dan sangat mungkin tidak bisa dimiliki dan tidak bisa diserahterimakan, ini adalah salah satu unsur gharar.
Keempat, ujrah boleh dibayar cicilan atau ditunda pembayarankya (tempo). Jika obyek ijrah tidak bisa diserahkan tempo kecuali telah tersedia sebagiannya. Maka dalam bab ujrah, syarat-syaratnya lebih ringan, para ulama membolehkan ujrah itu dibolehkan diserahkan kemudian (tempo). Menurut Hanabilah dan AAOIFI, ujrah boleh diserahkan kemudian, dengan syarat akadnya tidak dengan lafadz salam.
Selanjutnya, kapan muajjir memiliki ujrah (upah)? Prinsip dasarnya, bahwa muajjir berhak atas upah setelah mitranya berhak atau diberi kewenangan atas barangnya. Ujrah berlaku efektif sejak akad ditanda tangani, karena sebagian obyek ijarah sudah ada sejak akad.
Dalam fkih islam, transaksi jual beli (akad al-bai’) termasuk akad yang melahirkan perpindahan kepemilikan (‘uqud al-milkiyah) seperti halnya akad hibah dan akad qardh.Oleh karena itu perpindahan kepemilikan ini menjadi target (muqtadha) akad jual beli. Maksudnya, barang yang di jual menjadi milik pembeli dengan harga sebagai imbalannya secara dawam (at-tamalluk wat tamlik).
Perpindahan kepemilikan yang dimaksud adalah penjual berhak dan memiliki uang / harga barang, dan pembeli berhak memiliki barang obyek beli (attamalluk wa at tamlik). Pihak pembeli memiliki fsik (raqabah) dan manfaat (manfaah) obyek jual beli sekaligus, berbeda dengan akad ijarah, di mana penyewa hanya memilki manfaat barang tetapi tidak memilki barang obyek sewa.
Menurut para ulama, perpindahan kepemilikan tersebut itu terjadi sejak pihak-pihak akad menyepakati (menanda tangani) akad; tanpa harus menunggu barang obyek jual beli telah diterima oleh pembeli. Begitu juga tanpa harus menunggu harga diterima oleh pembeli.
Oleh karena itu, para ulama menjelaskan dalam nadzariyyatul ‘aqd, bahwa dalam akad jual beli, taqabud (serah terima) itu bukan menjadi syarat sah akad dan bukan pula menjadi syarat perpindahan kepemilikan seperti halnya akad Ijarah, wakalah, wasiat, hiwalah.
Maka dengan terjadi kesepakatan dalam akad, maka pembeli sudah berhak atas barang walaupun belum terjadi hiyazah dan qabdh, begitu pula penjual sudah berhak atas harga walaupun belum terjadi hiyazah dan qabdh.