JAKARTA, Stabilitas — Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, pada tahun 2016 Pemerintah melakukan percepatan belanja untuk pembangunan infrastruktur yang direncanakan dapat dimulai sejak awal tahun 2016. Pendanaan untuk membiayai percepatan belanja ini bersumber dari pendapatan negara, dan utang.
Terkait dengan pendanaan yang berasal dari utang, Pemerintah telah menerapkan strategi front loading penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan mempertimbangkan kondisi likuiditas di pasar keuangan domestik agar tidak menimbulkan dampak yang tidak diinginkan yaitu kekeringan likuiditas.
Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah melalui pre-funding APBN 2016 dengan menerbitkan SBN pada akhir tahun 2015 sebesar Rp63,5 Triliun, yang berasal dari penerbitan SUN valas sebesar USD 3,5 Miliar eq. Rp48,5 Triliun dan private placement sebesar Rp15,0 Triliun (dari investor asing sebesar Rp14 Triliun). Selanjutnya, Pemerintah secara reguler melakukan lelang penerbitan SUN dan SUKUK di pasar domestik.
Dalam catatan Kementrian Keuangan, hingga minggu ketiga Februari 2016, total realisasi penerbitan SBN neto telah mencapai Rp102,2 Triliun atau 31,2% dari target APBN, Iebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp104,4 Triliun atau 37,7% dari target. Total realisasi tahun 2016 ini berasal dari penerbitan SBN neto di pasar domestik sebesar Rp66,2 Triliun dan SBN neto valas sebesar Rp36,0 Triliun.
Adapun realisasi penerbitan SBN neto di pasar domestik sebagian diantaranya juga diserap oleh investor asing sebagaimana terlihat pada peningkatan kepemilikan asing dari bulan Desember 2015 hingga Februari 2016 yang mencapai lebih dari Rp30 Triliun.
Dengan memperhatikan realisasi APBN hingga saat ini, penerbitan SBN khususnya di pasar domestik, bukan penyebab utama kekeringan likuiditas. Hal ini disebabkan sebagian besar dana hasil penerbitan SBN ini langsung dimanfaatkan untuk membiayai belanja Pemerintah.
Hingga posisi akhir 5 Februari 2016, realisasi belanja APBN tercatat sebesar Rp164,9 Triliun, atau meningkat 27,73% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, disamping juga digunakan untuk membayar kewajiban utang jatuh tempo yang naik sebesar 90,8% dari Rp17,6 Triliun pada tahun lalu menjadi Rp33,6 Triliun pada minggu II bulan Februari tahun ini.
Adapun kondisi likuiditas di berbagai pasar keuangan hingga pertengahan Februari 2016 terjaga dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada beberapa indikator berikut ini. Di Pasar SBN, terjadi penurunan yield SBN tenor 10 tahun, dari sekitar 9,16% pada akhir tahun 2015 menjadi 7,97% pada pertengahan Februari 2016. Selain itu, bid offer spread (bps) juga menurun, dari sekitar 13,8 bps pada pertengahan tahun 2015 menjadi 7,9 bps pada pertengahan Februari 2016.
Selanjutnya di Pasar Uang Antar Bank, terjadi penurunan rate JIBOR overnight dari 7,59% pada akhir tahun 2015 menjadi 5,16% pada pertengahan Februari 2016. Di Pasar Saham, terjadi kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari 4593 pada akhir tahun 2015 menjadi 4697 pada pertengahan Februari 2016.
Pada minggu IV Desember 2015, sempat terjadi kenaikan suku bunga JIBOR ON yang cukup tajam khususnya pada tanggal 29 – 30 Desember 2015 dari kisaran 5,7% – 5,8% menjadi 7% – 8,25%. Kenaikan suku bunga JIBOR ON tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas di pasar uang secara temporer yang terjadi seiring dengan upaya antisipasi bank dalam rangka memenuhi kebutuhan likuiditas yang meningkat menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru. Namun, memasuki minggu 1 Januari 2016, suku bunga JIBOR ONkembali turun ke kisaran 5,7% 5,8%. Hal ini mengindikasikan bahwa situasi cenderung ketat di pasar uang antar bank bersifat sementara dengan waktu yang terbatas.
Pemenuhan target penerbitan SBN sebagai bagian dari pembiayaan utang yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR, senantiasa dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai hal termasuk kondisi likuiditas pasar keuangan. Hal ini disebabkan SBN tidak hanya digunakan untuk membiayai defisit, tetapi juga digunakan untuk mendukung pengembangan pasar keuangan domestik, memberikan alternatif investasi bagi investor domestik, dan memberikan acuan yield bagi sektor korporasi yang memerlukan pendanaan dari pasar keuangan.