JAKARTA, Stabilitas — Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terkait permodalan minimum konglomerasi, belum mampu menjangkau konglomerasi yang induk usahanya berada di luar negeri.
Direktur Kepatuhan Bank CIMB Niaga, Lydia Wulan Tumbelaka mengatakan, dalam POJK tersebut belum mencakup aspek-aspek penting dalam konglomerasi perusahaan besar yang kebanyakan induk usahanya berada di luar negeri.
Contohnya, sebut Lidya, belum ada aturan tentang merger perusahaan holding di luar negeri sebagai konglomerasi. “Sebagai contoh terpenting adalah merger data center yang saat ini, masih belum dapat dilakukan. Padahal, hal ini dibutuhkan oleh pihak perbankan dalam mengembangkan usaha sektor keuangan,” kata Lydia dalam Seminar dan Workshop dengan tema Konglomerasi di Sektor Keuangan di Hotel Shangrila, Jakarta. Kegiatan seminar dan workshop ini digelar selama dua hari yakni sejak Rabu (13/1) hingga Kamis (14/1).
Lydia berharap, aturan tentang konglomerasi ini dapat melingkupi seluruh aspek. Sebab, hal ini juga dibutuhkan bagi pengembangan bisnis konglomerasi jasa keuangan terhadap persaingan pasar dalam negeri.
50 Konglomerasi
Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai menerapkan fungsi pengawasan konglomerasi atau terintegrasi pada tahun ini. Saat ini terdapat 50 konglomerasi keuangan yang masuk dalam pengawasan konglomerasi.
”Dari hasil kajian analisa dan review yang dilakukan, kita identifikasi ada 50 entitas keuangan sebagai entitas yang masuk ke pengawasan konglomerasi keuangan. Jadi, 50 entitas ini bisa vertikal bisa horizontal, bisa anak usaha bisa sister company, bisa masuk ke level dua dan tiga, ada di peraturan OJK,” papar Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK Irwan Lubis di seminar yang sama.
Dia menambahkan, pertumbuhan konglomerasi keuangan terdapat tiga jenis. Pertama, 14 grup konglomerasi keuangan yang vertikal. Kedua , 29 grup konglomerasi keuangan yang horizontal. Ketiga, tujuh grup yang mix. ”Kalau entitas utama adalah bank, akan lebih mudah dan kita mengetahui bahwa penilaian risiko terintegrasi ada 10 risiko, delapan risiko itu assessment di banking. Risiko antar-grup dan risiko asuransi. Sehingga, ini menjadi tantangan,” ungkapnya.
Irwan menjelaskan, 50 konglomerasi keuangan tersebut menguasai 80% dari total aset industri perbankan yang mencapai Rp5.127 triliun. Dengan demikian, terdapat risiko yang cukup tinggi dan menguasai pangsa pasar yang besar. ”Pengawasan konglomerasi yang selama ini susah disentuh, kalau 50 konglomerasi tersebut bisa diawasi baik, maka stabilitas keuangan bisa dijaga dengan baik. Dari 50 grup, sekitar 45-47 adalah banking, tiga entitas utama nonbank, sekuritas atau multifinance,” kata dia.
Untuk itu, OJK akan membentuksatuankerjapengawasan konglomerasi untuk melakukan supervisory sample. Untuk mempermudah rencananya, OJK akan melakukan analisis konglomerasi yang lebih. ”Sementara untuk kepentingan pengawasan, akan dikirim ke pengawas individual, sehingga tidak membingungkan,” imbuhnya.
Saat ini OJK sudah mengeluarkan tiga peraturan OJK (POJK) dan dua surat edaran (SE) OJK yang mengatur mengenai integrasi terhadap konglomerasi keuangan. Dia memaparkan, POJK pertama adalah mengenai manajemen risiko terintegrasi, kedua POJK mengenai tata kelola terintegrasi, kemudian, dua SE yang merupakan pelaksanaan dari dua POJK ini dan yang baru saja dikeluarkan bulan Desember lalu POJK mengenai kewajiban penyediaan minimum terintegrasi.
Sementara untuk membangun persaingan usaha yang sehat Bank Indonesia (BI) siap membantu Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Khususnya dalam mengawasi konglomerasi di sektor keuangan. “Saya minta agar perusahaan konglomerasi dapat bersikap lebih transparan,”kata Direktur Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI, Linda Maulidina saat berbicara dalam seminar yang sama.
Konglomerasi di perbankan, kata Linda, haruslah transparan. Agar regulator bisa dengan mudah menangkap bentuk bisnisnya. “Akan menciptakan change value dari hulu ke hilir atau tidak,” kata Linda.
Keterbatasan data konglomerasi perbankan, diakui Linda, acapkali menjadi kendala yang dihadapi BI. Alhasil, pengawasan terhadap konglomerasi industri keuangan perbankan dan non perbankan, tidak bisa optimal.
“Tahun lalu kami melakukan kajian terhadap tiga konglomerasi sehingga kami bisa mengetahui mana yang menjadi sumber penggunaan dana luar negeri, tantangan kami pada waktu itu adalah aspek keterbatasan data,” tandas Linda.