Bank Indonesia merilis aturan yang memperketat pengelolaan utang luar negeri, setelah melihat fakta bahwa pinjaman valuta asing dari korporasi nonbank mulai mengkhawatirkan. Utang swasta pada Agustus 2014 mencapai 156,2 miliar dollar AS atau 53,8 persen dari total utang luar negeri. Angka tersebut meningkat dari posisi 2010 yang masih sebesar 83,8 miliar dollar AS, atau 41,4 persen dari total utang valas.
Jika dirinci lagi, ternyata utang valuta asing sektor swasta didominasi oleh utang dari korporasi non bank, dengan kontribusi sebesar 126,9 miliar dollar AS. Angka ini melampaui pinjaman valas pemerintah yang sebesar 126,2 miliar dollar AS. Sektor perbankan sendiri hanya menarik utang valas sebesar 29,3 miliar dollar AS.
BI pun bertindak cepat sebelum semuanya terlambat. Otoritas tidak mau mengambil risiko sekecil apapun yang bisa mengantar ekonomi kepada krisis seperti yang pernah kita alami 16 tahun lalu. Utang luar negeri yang melonjak jika bertemu dengan nilai dollar AS yang menguat tentu akan membuat ekonomi terperosok.
Setelah itu, dalam hitungan hari bahkan jam krisis moneter akan meledak dan trauma yang cukup panjang itu akan kembali dialami ekonomi Indonesia.
Oleh karena itu, BI mengambil langkah preventif agar korporasi mengelola utang dengan lebih pruden dan otoritas meminta mereka melakukan sederet ketentuan untuk memperketat pengelolaan utang luar negerinya. Tahun depan korporasi diperkirakan juga akan menghadapi keketatan likuiditas. “Likuiditas global diperkirakan akan mengetat dengan tingkat suku bunga yang meningkat seiring berakhirnya kebijakan moneter akomodatif di negara-negara maju, khususnya di Amerika Serikat,” ujar Gubernur BI, Agus DW Martowardojo.
Untuk meminimalisir hadirnya risiko-risiko yang dipicu oleh utang luar negeri, BI mewajibkan korporasi nonbank yang memiliki utang untuk memenuhi tiga hal, yaitu rasio lindung nilai minimum untuk memitigasi risiko nilai tukar, rasio likuditas valas minimum untuk memitigasi risiko likuiditas, dan peringkat utang minimum untuk memitigasi risiko overleverage. “Tapi, kewajiban ini tidak diterapkan terhadap utang valas yang berupa utang dagang (trade credit),” ucap Agus.
Peraturan Nomor 16/20/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank akan berlaku efektif 1 Januari 2015. Ada tiga hal pokok yang diatur, yakni rasio likuiditas, rasio lindung nilai, dan peringkat utang. Rasio likuiditas dan rasio lindung nilai diberlakukan bertahap, yaitu periode 1 Januari-31 Desember 2015 dan mulai 1 Januari 2016.
Sementara terkait rasio likuiditas, pada 1 Januari-31 Desember 2015 korporasi nonbank yang memiliki utang luar negeri berbentuk valas harus melakukan lindung nilai minimal 20 persen dari selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas yang jatuh tempo dalam enam bulan berikutnya.
Korporasi juga harus menambah rasio lindung nilai sebesar 20 persen terhadap selisih negatif antara aset valas dan kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya sehingga secara efektif rasio menjadi 40 persen. Kemudian mulai 1 Januari 2016, rasio ditingkatkan menjadi 25 persen sehingga untuk utang yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya, korporasi harus memiliki rasio lindung nilai sebesar 50 persen.
Terkait rasio likuiditas, korporasi harus menyediakan minimal 50 persen valas dari total kewajiban valas yang akan jatuh tempo dalam tiga bulan berikutnya. Rasio itu ditingkatkan menjadi 70 persen mulai 1 Januari 2016.
Risiko Mengintai
BI kali ini memang sangat concern untuk mengendalikan utang swasta nonbank agar tidak meledak sewaktu-waktu. Terkait dengan utang valas swasta bank, BI sudah membuat ketentuan-ketentuan atau mandatory yang mewajibkan utang hanya 30 persen dari modal bank. Dengan demikian, utang perbankan sudah ada rambu-rambunya sehingga tidak perlu dikhawatirkan.
Nah, untuk utang swasta dan nonbank, BI sebagai otoritas moneter tidak mampu mengendalikan. Pasalnya, ketentuan-kentuan yang mewajibkan pengendalian ULN nonbank belum dibuat oleh pemerintah sehingga utang nonbank mudah melonjak cepat. Biasanya perusahaan swasta ingin memanfaatkan ULN ini untuk mengurangi biaya modal perusahaan dan meningkatkan harga sahamnya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual menjelaskan, pertumbuhan utang luar negeri swasta terjadi sejak suku bunga acuan bank sentral AS, turun pada 2008. Kebijakan itu memicu suku bunga acuan antarbank di pasar uang London (Libor) menjadi rendah pula. Sedangkan di Indonesia, ada bank yang menetapkan suku bunga pinjaman korporasi hingga 13,5 persen. Di sisi lain, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR) industri perbankan pada September 2014 telah mencapai 92,12 persen. Bank domestik kian selektif mengucurkan kredit untuk menjaga likuiditas.
Kombinasi yang kontras, suku bunga rendah di luar negeri dengan ketatnya likuiditas perbankan di dalam negeri ini membuat korporasi swasta memilih opsi meminjam kepada pihak di luar negeri dan menawarkan obligasi.”Untuk utang jangka pendek, saya melihat obligasi korporasi swasta lebih dominan. Imbal hasil obligasi swasta cukup tinggi, mengikuti tren imbal hasil surat utang negara yang juga tinggi. Kondisi ini menarik bagi investor global,” kata David.
Ekonom Standard Chartered Indonesia, Eric Alexander Sugandi mengamini apa yang disampaikan David. Ia mengatakan, korporasi tertarik meminjam utang di luar negeri, karena kondisi pada waktu itu disana, dana melimpah sementara bunganya rendah. Tentu, dengan kenyataan seperti itu banyak perusahaan dalam negeri yang tergiur untuk meminjam dengan sedikit mengabaikan risiko dibalik itu.Menurutnya, perusahaan di Indonesia menggunakan utang luar negeri untuk belanja modal.”Akan tetapi, peralihan dari korporasi yang tidak mengambil pinjaman dalam negeri lalu mengambil utang luar negeri tidak banyak,” kata Eric.
Eric menambahkan, sayangnya ketika melakukan pinjaman dari luar negeri tidak banyak perusahaan yang melakukan hedging, atau meski di-hedging, hanya sepersekian persen saja. Padahal, cara aman mengelola utang luar negeri adalah dengan melakukan lindung nilai (hedging) seperti yang baru saja diatur Bank Indonesia. Dengan cara ini, potensi risiko nilai tukar terhadap utang luar negeri bisa ditekan. Semakin lemah rupiah, rupiah yang diperlukan untuk mendapatkan dollar AS menjadi kian banyak.
Selain risiko nilai tukar, beragam risiko lainnya juga mengintai ketika korporasi memutuskan untuk mengambil dana pinjaman dari luar negeri. di antaranya adalah risiko pembiayaan, risiko likuiditas, risiko default dan yang lainnya. (lihat boks).
Bank Indonesia (BI) memang tengah memantau 25 persen utang luar negeri swasta yang tidak dilindung nilai. Padahal penerimaannya dalam rupiah dan sumber pinjaman bukan dari induk usaha.Persentase utang swasta yang tidak di-hedging juga mengembang.Pada akhir tahun lalu, Gubernur BI Agus Martowardojo sempat mengemukakan besaran utang swasta tanpa hedging sebesar 12 persen.Sementara utang swasta yang telah di-hedging pun tetap berpotensi menimbulkan risiko.Sebabnya, debitur tidak meng-hedging seluruh utang.“Lindung nilainya tidak 100 persen. Ada yang hanya sepertiganya, setengahnya,” ucap Agus.
Otoritas menegaskan bahwa yang dilakukan pihaknya bukan untuk membatasi pengajuan utang luar negeri. BI mengaku hanya ingin memberikan rambu-rambu bagi perusahaan yang mau melakukan pinjaman. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia, Doddy Zulverdi mengatakan, Bank Indonesia belum pernah secara eksplisit mengatur kehati-hatian korporasi nonbank. “Yang benar-benar kita enforce baru sekarang. Bagaimana memonitornya, kita ada mekanisme sistem pelaporan,” ujar Doddy di Gedung BI.
Aturan tersebut bertujuan memitigasi berbagai risiko yang mungkin ditimbulkan oleh utang valas swasta, khususnya korporasi nonbank. Risiko-risiko tersebut adalah risiko nilai tukar (currency risk), risiko likuditas (liquidity risk), dan risiko beban utang yang berlebihan (overleverage risk).
Pengamat ekonomi Aviliani pun menyoroti membengkaknya utang luar negeri swasta saat ini. Menurutnya, bila tidak dikelola dengan pruden, utang valas akan berdampak buruk, terutama soal keringnya likuiditas dan tertekannya nilai tukar rupiah. Bahkan, jatuh tempo dari utang tersebut mau tidak mau akan menekan keras cadangan devisa Indonesia. “Pemerintah harus hati-hati tentang utang luar negeri. Pinjaman utang luar negeri swasta sekarang sudah naik dua kali lipat. Jatuh temponya itu bisa 40 jutadollar AS per tahun,” kata Aviliani.
Aviliani berpandangan, pemerintah perlu menyikapi dengan baik dan mencari solusi yang memadai, sehingga utang luar negeri swasta tidak memengaruhi secara signifikan keseimbangan perekonomian Indonesia. Bila dibiarkan akan menggerus cadangan devisa.“Cadangan devisa bisa jatuh kalau dibiarkan. Lagi pula itulah yang membuat rupiah melemah terus menerus hingga sekarang ini,” kata pengamat dari Indef itu.
Cadangan devisa berdasarkan data BI masih terus menunjukkan peningkatan dari posisi terendahnya pada Juli tahun lalu. Sampai Oktober jumlahnya mencapai 111,9 miliar dollar AS, sementara Juli 2013 jumlahnya 92,67 miliar dollar AS.