JAKARTA, Stabilitas – OJK mencermati stabilitas sektor jasa keuangan hingga April tercatat masih dalam kondisi terjaga ditengah tendensi pelemahan sektor riil dan potensi pelemahan sektor keuangan melalui tunggakan pembayaran pokok dan bunga. Namun, beberapa indikator intermediasi sektor jasa keuangan masih membukukan kinerja positif dan profil risiko industri jasa keuangan tetap terkendali. Demikian pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso melalui siaran pers usai Rapat Berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Senin (11/5).
Wimboh juga menyebut, memasuki bulan April 2020, volatilitas global mulai menurun. Dibarengi dengan kebijakan penanganan yang baik, telah membantu perbaikan kondisi pasar finansial domestik, gejolak pasar finansial mulai mereda. Tekanan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, serta yield obligasi yang dialami selama bulan Maret 2020, mulai mereda di bulan April 2020.
Di sektor pasar modal, memasuki bulan Mei tahun 2020, IHSG secara ytd telah terkoreksi 27,02% ytd (8 Mei 2020) ditutup di 4.597,4. Setelah mencapai titik terendahnya pada 24 Maret di level 3.937,6, kini volatilitas terpantau lebih rendah. Investor nonresiden di pasar saham masih mencatatkan net sell sebesar Rp20,79 T ytd. – Pasar SBN terlihat masih mengalami tekanan, dimana yield SBN per 8 Mei kembali melemah dengan yield naik sebesar 70,9 bps ytd dan mencatatkan net sell Rp139,1 triliun (6 Mei 2020).
Stabilitas sektor jasa keuangan yang masih terjaga diidukung dengan tingkat permodalan yang tinggi. Pada Maret 2020, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) mengalami penurunan namun masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72% (Desember 2019: 23,31%). Sedangkan, RBC Asuransi Jiwa dan Asuransi Umum masih terjaga di atas treshold namun menurun, masing-masing menjadi 642,7% (Des-19: 789%) dan 297,3% (Des-19: 345%).
Risiko kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross sedikit meningkat namun masih terjaga di 2,77% (Desember 2019: 2,53%). Beberapa sektor pendorong tingginya NPL adalah sektor transportasi, pengolahan, perdagangan dan rumah tangga.
Indikator kecukupan likuiditas juga menunjukkan kondisi yang cukup baik sebagaimana terlihat dari: – rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga per 29 April 2020 terjaga di 24,54% (22 April 2020: 22,36%, Desember 2019: 20,86%), masih di atas threshold-nya yang sebesar 10%. – AL/NCD secara industri juga terpantau masih tinggi dimana 28 April berada di level 114,91% (22/04: 104,89%) dengan threshold 50%. Selain itu, volume dan suku bunga PUAB tercatat masih stabil.
Sementara itu, OJK mencatat kinerja intermediasi lembaga jasa keuangan hingga Maret 2020 masih menunjukkan peningkatan dengan didukung ketahanan perbankan, likuiditas, dan stabilitas pasar uang.
Kredit perbankan tumbuh sebesar 7,95% yoy (Desember 2019: 6,08% yoy) terutama berasal dari pertumbuhan kredit valas, diiringi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 9,54% yoy (Desember 2019: 6,54% yoy).
Dari jenis penggunaan, pertumbuhan kredit didukung oleh kenaikan kredit investasi (13,65% yoy) dan kredit modal kerja (6,63% yoy).
Piutang Perusahaan Pembiayaan sedikit termoderasi namun tetap tumbuh sebesar 2,49% yoy (Desember 2019: 3,66% yoy).
Pertumbuhan premi di industri Asuransi turun signifikan khususnya Asuransi Jiwa. Premi asuransi jiwa terkontraksi -13,8%yoy (Des-19: -0,38%) dan premi asuransi umum tumbuh rendah di 3,65%yoy (Des-19: 15,65%).
Penghimpunan dana di pasar modal melalui penawaran umum per 5 Mei telah mencapai Rp31,88 Triliun atau secara nilai turun 11,9% yoy. Namun, jumlah IPO dan Penawaran Umum mengalami kenaikan signifikan, dimana jumlah Penawaran Umum naik 34,2% secara yoy. Di dalam pipeline per 5 Mei terdapat 61 emiten yang akan melakukan penawaran umum dengan total indikasi penawaran sebesar Rp29,1 triliun.
Dalam merespon pelemahan aktivitas ekonomi di masa Covid-19 ini, untuk melengkapi bauran kebijakan fiskal dan moneter, OJK telah mengeluarkan serangkaian kebijakan yang bersifat pre-emptive. Yakni, pertama, meredam volatilitas di pasar keuangan melalui berbagai kebijakan dalam menjaga kepercayaan investor dan stabilisasi pasar. Kedua, memberi nafas bagi sektor riil dan informal untuk dapat bertahan di masa pandemik covid-19 melalui relaksasi restrukturisasi kredit/pembiayaan. Ketiga, memberikan relaksasi bagi industri jasa keuangan agar tidak perlu membentuk tambahan cadangan kerugian kredit macet akibat dampak covid-19 yang dapat menekan permodalan melalui relaksasi penetapan kualitas kredit/pebiayaan satu pilar dan relaksasi restrukturisasi. Keempat, memberikan ruang likuiditas yang memadai untuk menopang kebutuhan Likuiditas dalam mengantisipasi penarikan oleh deposan dan menjalankan kebijakan Pemerintah dalam memberikan stimulus bagi sektor riil melalui penyiapan penyangga likuiditas bersama Pemerintah dan Bank Indonesia. Dan kelima, resolusi pengawasan yang lebih efektif dan cepat diantaranya melalui Cease and Desist Order dan Supervisory actions/resolutions lainnya.
Untuk memitigasi potensi peningkatan risiko kredit dan memberikan kemudahan kepada pelaku usaha dan masyarakat agar dapat melanjutkan kegiatan usahanya di tengah bencana Covid-19, OJK memberikan relaksasi pengaturan penilaian kualitas aset kredit/pembiayaan yang direstrukturisasi langsung digolongkan “lancar” di perbankan dan lembaga pembiayaan dengan jangka waktu maksimum satu tahun bagi debitur yang terdampak Covid-19.
“Dapat kami sampaikan progress kebijakan restrukturisasi, untuk industri perbankan hingga 10 Mei 2020 terdapat 88 Bank yang telah merealisasikan kebijakan restrukturisasi, dengan 3,88 juta debitur dengan nilai Rp336,97 triliun. Sebagian besar merupakan kredit UMKM sebesar Rp167,1 triliun dari 3,42 juta debitur,” papar Wimboh.
Sedangkan untuk perusahaan pembiayaan, hingga 8 Mei 2020, jumlah kontrak restrukturisasi yang disetujui sebanyak 1.328.096 dengan nilai Rp43,18 triliun, sementara 743.785 kontrak sedang dalam proses.