Oleh: Didik Kristanto*
Beberapa waktu lalu terlontar gagasan dari Dirut PT Bank Negara Indonesia (BNI) Tbk Gatot Mudiantoro Suwondo bahwa bank pelat merah itu akan mengakuisisi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) atau anaknya usahanya yaitu PT Bahana Sekuritas. Cara yang dilontarkan oleh Sang Dirut BNI adalah dengan membeli saham negara di perusahaan tersebut namun tidak memakai uang tunai melainkan menggunakan obligasi rekapitalisasi (recap bonds) yang dimiliki BNI.
Ide inipun menjadi polemik. Sebagian ekonom ada yang menganggap rencana akuisisi ini sebagai hal yang ngawur. Alasannya, kondisi BPUI, terutama Bahana Sekuritas, yang tengah menanggung beban setelah menjadi penjamin emisi dengan komitmen penuh (full commitment) saat PT Garuda Indonesia melepas saham perdana beberapa bulan lalu. Pelepasan saham yang banyak tidak terserap pasar membuat Bahana harus menanggung beban itu.
BERITA TERKAIT
Sementara gagasan skema akuisisi tersebut oleh Kementerian Keuangan juga agaknya masih diterima setengah-setengah karena berpotensi dapat menabrak ketentuan dan aturan yang berlaku.
Terlepas dari adanya benturan dengan regulasi, ide akuisisi dengan memakai recap bonds tersebut sejatinya dapat menguntungkan kedua pihak: pemerintah dan BNI. Ide tersebut juga harus diyakini tidak serta-merta muncul dari seorang Dirut BNI semata, melainkan tentu sudah melalui perhitungan matang para analis dan finance expert yang ada di belakangnya. Dan di atas semua itu, ide ini diharapkan tidak semata bertujuan mencari keuntungan hanya dari sisi BNI saja.
Lalu apa untungnya bagi pemerintah atau bagi negara? Izinkan saya sedikit menganalisisnya. Dengan skema akuisisi macam itu, artinya sebagian obligasi rekap yang dipegang BNI akan lunas tanpa negara harus mengeluarkan uang. Karena tentu kita boleh tidak lupa bahwa recap bonds itu adalah utang pemerintah kepada bank-bank peserta program penyehatan perbankan pasca krisis 1997/1998 silam yang selama ini terus membebani APBN.
Beban Rekapitalisasi
Setelah tetap limbung kendati sudah dikucuri triliunan rupiah dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), pada masa krisis lebih dari 10 tahun lalu itu, perbankan terus membutuhkan suntikan modal akibat kerugian usaha dan penarikan dana besar-besaran (rush). Tak cukup uang untuk setor modal, pemerintah pun ketika itu mengeluarkan surat utang atau obligasi yang bersifat sebagai pemelihara modal (Capital Maintenance Notes).
Obligasi yang diterbitkan saat itu berjumlah sekitar Rp 659 triliun, yang mana Rp 430 triliun di antaranya untuk program rekapitalisasi perbankan. Selain itu, sebesar Rp 144,5 triliun untuk “menyehatkan” neraca Bank Indonesia akibat program BLBI, dan sisanya untuk kredit program dan penjaminan Dana Pihak ketiga (DPK).
Saat itu, tak kurang dari 16 bank disuntik recap bonds seperti Bank Mandiri, BNI, BCA, BRI, BII, Danamon, BTN, Lippo, Niaga, Bank Bali, dan bank lainnya. Setelah itu meningkatlah modal atau ekuitas bank-bank tersebut lantaran disuntik dengan obligasi rekap. Secara akuntansi transaksi ini dicatat oleh bank-bank dengan memasukkan obligasi rekap yang diterima ke dalam aktiva bank. Bank mendebet pos atau rekening (Investasi pada) Surat Berharga–Obligasi Rekap dan mengkredit Ekuitas/Modal. Perlu diingat bahwa dalam akuntansi, peningkatan aktiva dicatat di sisi debet (Dr) dan penambahan modal dicatat di sisi kredit (Cr).
Waktu pun berjalan. Sejak era Menkeu Boediono, pemerintah “hanya” mampu mengulur waktu pembayaran pokok utang. Melalui debt switching, profil jatuh tempo recap bonds senilai Rp376,9 triliun yang semula pada 2004-2009 digeser secara lebih merata ke tahun-tahun berikutnya. Atau lewat cara lain: mengonversi jenis obligasi dari berbunga tetap (fixed rate/FR) menjadi berbunga mengambang (VR).
Namun, itu jelas tak menyelesaikan akar masalah. Meski berubah wujud, obligasi rekap tetap menjadi bagian terbesar dari utang dalam negeri pemerintah. Tanpa pengurangan nilai pokok, beban bunga utang dalam negeri dalam APBN terus meningkat bahkan hingga 100 persen dalam kurun waktu 10 tahun, dari Rp40 triliun (2005) menjadi menjadi Rp80 triliun (2010).
Dan mulai saat ini, bahkan seharusnya sejak beberapa tahun belakangan, seiring dengan pulihnya kepercayaan masyarakat dan meningkatnya keuntungan bank-bank hasil rekapitalisasi tadi, maka sudah saatnya obligasi rekap tadi ditarik kembali agar tidak terus membebani anggaran negara. Melunasi atau membeli kembali (buyback) akan menyulitkan APBN karena tentu dibutuhkan dana sangat besar. Namun juga tak mudah untuk serta-merta menghapus tagihan berupa obligasi itu. Para pemegang obligasi, termasuk bank-bank persero, akan menderita kerugian hapus buku (write-off).
Penyelesaian Cerdas
Dalam konteks tersebut, rencana akuisisi BNI terhadap BPUI seperti ide dari Sang Dirut BNI Gatot M Suwondo bisa menjadi salah satu model pelunasan obligasi rekap yang cerdas karena sedapat mungkin tidak membebani negara. Dengan model tersebut, recap bonds diselesaikan melalui pertukaran dengan saham (debt-to-share swap). Kepemilikan saham di suatu BUMN dibeli menggunakan recap bonds. Dari sudut pandang pemerintah, itu artinya negara melunasi atau membeli kembali (buyback) obligasi rekap dengan sahamnya.
Tentu hanya sebagian kecil dari Rp 17 triliun obligasi rekap BNI saat ini, yang akan terlunasi dengan membeli Bahana. Banyak BUMN yang harus dicaplok agar recap bonds di bank-bank persero terselesaikan. Bersama Bank Mandiri dan BRI, tiga bank persero ini masih memegang obligasi rekap senilai lebih dari Rp100 triliun. Padahal bank tidak bisa memiliki lini usaha di luar bidang keuangan. Saham pemerintah juga bisa jatuh ke tangan swasta lantaran beberapa bank swasta pun masih memegang surat utang ini.
Oleh karena itu, konsep tadi selayaknya dikembangkan menjadi skema yang lebih besar. Obligasi-obligasi rekap terlebih dahulu dikumpulkan di satu BUMN, terutama di bidang investasi. Caranya, bank dan institusi-institusi pemegang recap bonds menukar surat utang pemerintah yang dimiliknya itu dengan saham baru yang diterbitkan pemerintah melalui perusahaan investasinya misalnya. Saat ini perusahaan itu bernama Perusahaan Investasi Pemerintah (PIP). Bank-bank itu mendapatkan saham PIP dan PIP memperoleh recap bonds. Harus dipastikan kepemilikan mayoritas PIP tetap di tangan negara, bukan di tangan institusi-institusi itu sekalipun bank persero.
Dengan memegang seluruh recap bonds, mulailah PIP memborong saham-saham pemerintah di berbagai badan usaha dengan valuasi yang sama hingga seluruh surat utang itu habis. Dengan begitu, utang negara lunas, PIP berganti memegang saham di BUMN-BUMN tadi, dan eks-pemegang recap bonds ikut memiliki sebagian saham di PIP.
Bagaimana dengan swasta pemegang obligasi rekap? Apakah mereka juga menjadi pemegang saham PIP dan menikmati keuntungan dari perusahaan itu? Dengan teknik keuangan (financial engineering) tertentu, kepemilikan investor di luar negara dapat didilusi. Menengok hakikat lahirnya recap bonds tadi, sesungguhnya tidak ada alasan bagi investor pemegang obligasi rekap, atau hasil konversinya, untuk tetap memegang surat utang “darurat” itu karena kondisi sudah berubah.
Lewat skema penyelesaian tersebut, negara tidak kehilangan kendali atas BUMN-BUMN yang dijual karena tetap mengendalikan PIP. Model ini sesungguhnya serupa dengan skema reorganisasi bisnis melalui akuisisi internal: memindah-pindah komposisi maupun struktur kepemilikan atas perusahaannya sendiri (yang dalam hal ini dilakukan untuk melunasi utang induk) namun tetap mengendalikan perusahaan-perusahaan tadi.
Jadi ada dua keuntungan besar: menciptakan sinergi melalui konsolidasi BUMN sekaligus membereskan utang raksasa pemerintah: Obligasi Rekap.
Pelajaran Masa Lalu
Sebelum ke sana, rencana akuisisi BNI terhadap Bahana tadi bisa direalisasikan dengan tetap disertai pertimbangan-pertimbangan matang dari berbagai aspek. Bagi BNI, melepas sebagian recap bonds dapat membuat neraca bank ini kian baik dengan menukarnya menjadi penyertaan saham. BNI juga berpeluang mengembangkan BPUI menjadi anak usaha yang besar dan profitable sehingga akan membantu menopang kinerja bank tersebut secara konsolidasi.
Beban penjaminan emisi IPO Garuda yang ditanggung Bahana yang konon sekitar Rp700 miliar—di luar tanggungan underwriter lain: Danareksa dan Mandiri Sekuritas—masih managable untuk “ditolong” oleh BNI. Bank terbesar ke-4 itu juga bisa menyuntikkan dana tunai sehingga prospek bisnis BPUI dan Bahana Sekuritas dapat membaik.
Penolakan terhadap ide semacam ini tidak selayaknya hanya disebabkan oleh pemahaman yang keliru. Dalam konteks tertentu, ilmu keuangan bisa memberi solusi yang lebih baik untuk masalah-masalah mikro.
Jangan sampai kesalahan besar penjualan BCA beberapa tahun lalu, terulang kembali. Kacamata ekonomi makro hanya mampu memberi solusi divestasi saham pemerintah untuk menyetor kas negara dan kesetiaan buta dalam menjalankan dogma liberal: memperkecil peran negara. Jika hanya dogma liberal itu yang dikukuhkan maka tidak mengherankan jika penjualan 51 persen saham pemerintah di BCA yang dilepas dengan harga Rp5,3 triliun, akan terjadi lagi. Padahal bank itu memiliki tagihan recap bonds senilai Rp 60 triliun!
Obligasi rekap di BCA sebenarnya bisa diselesaikan terlebih dahulu. Pemerintah bisa mengonversi obligasi rekap di Bank Mandiri menjadi mandatory exchangable bonds (MEB) agar ketika jatuh tempo bisa ditukar dengan saham negara di BCA. Artinya, BCA dicaplok Mandiri.
Namun lagi-lagi konsep semacam ini akan terbentur dengan dogma-dogma liberal dan–seringkali, regulasi ataupun kesepakatan-kesepakatan internasional yang sesungguhnya tidak memihak rakyat.
Tidakkah kita seharusnya memilih cara-cara terbaik dalam mengelola pemerintahan? Atau, akankah pertimbangan sempit dan perdebatan-perdebatan soal aspek legal harus menghambat upaya menyelamatkan APBN dan masa depan negara tercinta ini?
*) Penulis adalah pemerhati masalah ekonomi makro dan analis keuangan PaninBank, peneliti tamu di Indef. Isi artikel merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi.
Bank-bank Besar Pemegang Obligasi Rekap
Bank Nilai Recap Bond Awal Nilai Recap Bond Saat Ini
Mandiri Rp 173,93 triliun Rp 78 triliun
BNI Rp 61,8 triliun Rp 17,15 triliun
BCA Rp 60,88 triliun ±Rp 21 triliun
BRI Rp 29,06 triliun Rp 13,63 triliun
BII Rp 23,65 triliun ±Rp 3,63 triliun
Danamon Rp 20,12 triliun n.a.
BTN Rp 14 triliun n.a.
CIMB Niaga (d.h. Lippo & Niaga) Rp 6-7 triliun + Rp 9,46 triliun n.a.
Permata (d.h. Bank Bali) Rp 11,89 triliun n.a.
Dari berbagai sumber, termasuk laporan keuangan perseroan